Persoalan mengenai keberadaan Pura Tambora di Kecamatan Tambora kembali disuarakan Forum Umat Islam (FUI) Bima. Ormas Islam pimpinan Asikin ini mendatangi Kantor DPRD
Persoalan mengenai keberadaan Pura Tambora di Kecamatan Tambora kembali disuarakan Forum Umat Islam (FUI) Bima. Ormas Islam pimpinan Asikin ini mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Bima, Kamis (15/1) bersama Pengurus Daerah Muhammadiyah Bima. Mereka menyampaikan aspirasi mengenai tidak diresponnya tuntutan mereka yang meminta ijin Pura Tambora dicabut.
Padahal menurut FUI, tuntutan itu sudah lama disampaikan sesuai mekanisme dan aturan berlaku. Beberapa waktu lalu misalkan, telah berulang kali menggelar dialog dan pertemuan dengan sejumlah pihak. Seperti Kepolisian, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama (Kemenag) bahkan Pemerintah Kabupaten Bima, tetapi belum membuahkan hasil.
“Permintaan kami tidak pernah direspon, padahal sudah sering disampaikan. Upaya prosedural dari mulai Kepolisian di Bima hingga ke Gubernur sudah kami tempuh. Ini aspirasi umat yang disampaikan kepada kami dan wajib kami perjuangkan,” tegas Ketua FUI Bima, Ustad Asikin kepada Anggota DPRD Kabupaten Bima.
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 1 Tahun 1969 kata Asikin, secara tegas disebutkan bahwa sebelum rekomendasi pembangunan atau pemugaran tempat ibadah harus memenuhi syarat. Diantaranya, mendapat ijin dari Kementerian Agama (Kemenag) dan masyarakat di sekitar lingkungan tempat dibangunnya tempat ibadah.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bima, Sulaiman, MT, SH mengaku telah mengecek dokumen administrasi terkait masalah Pura Tambora. Tahun 2009 katanya, memang ada surat dari Perstuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang menyampaikan informasi bahwa Pura Tambora telah dibangun sejak Tahun 1984 sebelum adanya persoalan saat ini.
Selain itu lanjutnya, pada Tahun 2007 juga ada surat dari PHDI perihal permohonan penggunaan lahan hutan di lokasi setempat. Namun kebenaran surat itu perlu ditelusuri kembali sebagai bahan evaluasi. Sementara dari Pemerintah Kabupaten Bima saat masih dijabat Bupati Bima, Drs. H Zainul Arifin diketahuinya hanya mengeluarkan rekomendasi pemugaran Pura Tambora Tahun 2004 bukan pembangunan baru.
“Saya sepakat karena ini bersinggungan dengan masalah agama, maka harus segera disikapi jangan dibiarkan karena dikuatirkan akan menimbulkan persoalan lain yang tidak kita inginkan,” kata mantan pengacara ini.
Sementara Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Syaiful mengaku, sejak awal DPRD punya komitmen yang sama dengan FUI dan Ormas Islam lainnya untuk menolak keberadaan Pura Tambora. Meski pernyataan itu baru disampaikan secara lisan melalui media massa. Hanya saja, untuk mencari solusi persoalan tersebut butuh tahapan dan mekanisme yang harus ditempuh. (KS-13)
Padahal menurut FUI, tuntutan itu sudah lama disampaikan sesuai mekanisme dan aturan berlaku. Beberapa waktu lalu misalkan, telah berulang kali menggelar dialog dan pertemuan dengan sejumlah pihak. Seperti Kepolisian, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama (Kemenag) bahkan Pemerintah Kabupaten Bima, tetapi belum membuahkan hasil.
“Permintaan kami tidak pernah direspon, padahal sudah sering disampaikan. Upaya prosedural dari mulai Kepolisian di Bima hingga ke Gubernur sudah kami tempuh. Ini aspirasi umat yang disampaikan kepada kami dan wajib kami perjuangkan,” tegas Ketua FUI Bima, Ustad Asikin kepada Anggota DPRD Kabupaten Bima.
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 1 Tahun 1969 kata Asikin, secara tegas disebutkan bahwa sebelum rekomendasi pembangunan atau pemugaran tempat ibadah harus memenuhi syarat. Diantaranya, mendapat ijin dari Kementerian Agama (Kemenag) dan masyarakat di sekitar lingkungan tempat dibangunnya tempat ibadah.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bima, Sulaiman, MT, SH mengaku telah mengecek dokumen administrasi terkait masalah Pura Tambora. Tahun 2009 katanya, memang ada surat dari Perstuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang menyampaikan informasi bahwa Pura Tambora telah dibangun sejak Tahun 1984 sebelum adanya persoalan saat ini.
Selain itu lanjutnya, pada Tahun 2007 juga ada surat dari PHDI perihal permohonan penggunaan lahan hutan di lokasi setempat. Namun kebenaran surat itu perlu ditelusuri kembali sebagai bahan evaluasi. Sementara dari Pemerintah Kabupaten Bima saat masih dijabat Bupati Bima, Drs. H Zainul Arifin diketahuinya hanya mengeluarkan rekomendasi pemugaran Pura Tambora Tahun 2004 bukan pembangunan baru.
“Saya sepakat karena ini bersinggungan dengan masalah agama, maka harus segera disikapi jangan dibiarkan karena dikuatirkan akan menimbulkan persoalan lain yang tidak kita inginkan,” kata mantan pengacara ini.
Sementara Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Syaiful mengaku, sejak awal DPRD punya komitmen yang sama dengan FUI dan Ormas Islam lainnya untuk menolak keberadaan Pura Tambora. Meski pernyataan itu baru disampaikan secara lisan melalui media massa. Hanya saja, untuk mencari solusi persoalan tersebut butuh tahapan dan mekanisme yang harus ditempuh. (KS-13)
COMMENTS