Camat Soromandi, Yusuf,S.Sos diduga telah melakukan tindakan yang tidak mendidik terhadap warganya di Soromandi.
Camat Soromandi, Yusuf,S.Sos diduga telah melakukan tindakan yang tidak mendidik terhadap warganya di Soromandi. Pasalnya, sarung songket yang digunakan warga untuk kegiatan pawai pada kegiatan Festival Keraton Nusantara (FKN) ke IX di Bima, Minggu lalu, ditarik oleh Camat Soromandi dari tangan warga. Padahal sarung tersebut, sudah menjadi hak milik warga yang mengikuti pawai.
Pemerintah Kabupaten Bima dalam menyambut kegiatan FKN telah menyediakan anggaran sebesar Rp.21 Milyar. Salah satu item penggunaan anggarannya adalah untuk membeli seragam pawai di masing-masing kecamatan, termasuk sarung songket yang digunakan warga Desa Punti Kecamatan Soromandi untuk mengikuti pawai.
Awalnya, Camat Soromandi mendata sejumlah warga untuk menampilkan seni budaya Bima berupa Gantao. Alhasil, 6 warga Desa Punti terkumpul dan diberikan seragam lengkap dengan rebana. Sebelum acara berlangsung, camat berjanji akan menjemput dan mengantar kembali peserta Gantao. Namun setelah ditunggu lama, pak camat tidak kunjung datang, dan terpaksa warga berangkat dan pulang sendiri. “kita sewa sendiri mobil untuk ke Bima, makan juga kita tanggung sendiri, padahal awalnya dijajikan semua biaya ditanggung camat, ternyata semuanya bohong, camat tidak nonggol pada saat acara berlangsung,” ujar Ahmad salah satu warga Punti, yang kesal dengan ulah pak camat.
Kalau masalah transportasi dan makan tidak terlalu mereka persoalkan. Namun masalah sarung songket yang mereka pakai pada saat acara, diminta kembali oleh camat, itu yang tidak mereka terima. Sebab menurutnya, sebelum pawai, panitia FKN memberitahukan kepada mereka, bahwa sarung yang mereka pakai itu akan menjadi hak milik mereka, dengan catatan, setiap ada kegiatan yang menyangkut budaya, seperti HUT Bima, sarung itu harus mereka pakai.
“Baru sebentar kita sampai rumah, sudah datang utusan pak camat yang meminta sarung. Alasannya sih untuk dipinjamkan ke peserta Kareku Kandei di desa Bajo, namun sampai sekarang tidak dikembalikan. Informasi yang kami dapat, sarung songket yang harganya mencapai Rp.250.000 itu disimpan dirumah pak camat,” bebernya.
Ahmad tidak terima dengan sikap pak camat, karena selain menelantarkan 6 orang warga desa Punti yang menjadi peserta pawai sekaligus menampilkan Gantao, mereka juga merasa ditipu oleh camat. “Sudah kita tidak di antar jemput dan tidak dikasih makan, sarung milik kita juga diambil. Padahal panitia sudah jelas-jelas memberikan seragam itu kepada kita. Pak camat tidak mengambil baju dan topi, hanya mengambil sarung, ada apa,” tuturnya.
Sementara itu, Camat Soromandi Yusuf, S.Sos yang dikonfirmasi Koran ini mangakui meminta kembali sarung songket dari tangan warga, namun dirinya membantah jika sarung tersebut disimpan dirumahnya. “Memang sarung itu kita tarik kembali, karena itu asset daerah, dan akan dipergunakan pada acara-acara berikutnya. Dan sarung itu tidak disimpan dirumah saya, saya suruh amankan staf saya di kantor camat,” elaknya.
Ketika ditanya kenapa hanya sarung saja yang diminta untuk dikembalikan ke camat, sementara baju dan topi tidak diminta kembali. Camat mengaku, selain sarung ada rebana juga yang diminta kembali, mengenai baju kenapa tidak ditarik juga, camat enggan berkomentar. “Kita minta sarung pada saat itu, karena mau dipinjam oleh warga Desa Baju yang mau menampilkan Kareku Kandei,” ujarnya dengan nada gagap. (KS-02)
Pemerintah Kabupaten Bima dalam menyambut kegiatan FKN telah menyediakan anggaran sebesar Rp.21 Milyar. Salah satu item penggunaan anggarannya adalah untuk membeli seragam pawai di masing-masing kecamatan, termasuk sarung songket yang digunakan warga Desa Punti Kecamatan Soromandi untuk mengikuti pawai.
Awalnya, Camat Soromandi mendata sejumlah warga untuk menampilkan seni budaya Bima berupa Gantao. Alhasil, 6 warga Desa Punti terkumpul dan diberikan seragam lengkap dengan rebana. Sebelum acara berlangsung, camat berjanji akan menjemput dan mengantar kembali peserta Gantao. Namun setelah ditunggu lama, pak camat tidak kunjung datang, dan terpaksa warga berangkat dan pulang sendiri. “kita sewa sendiri mobil untuk ke Bima, makan juga kita tanggung sendiri, padahal awalnya dijajikan semua biaya ditanggung camat, ternyata semuanya bohong, camat tidak nonggol pada saat acara berlangsung,” ujar Ahmad salah satu warga Punti, yang kesal dengan ulah pak camat.
Kalau masalah transportasi dan makan tidak terlalu mereka persoalkan. Namun masalah sarung songket yang mereka pakai pada saat acara, diminta kembali oleh camat, itu yang tidak mereka terima. Sebab menurutnya, sebelum pawai, panitia FKN memberitahukan kepada mereka, bahwa sarung yang mereka pakai itu akan menjadi hak milik mereka, dengan catatan, setiap ada kegiatan yang menyangkut budaya, seperti HUT Bima, sarung itu harus mereka pakai.
“Baru sebentar kita sampai rumah, sudah datang utusan pak camat yang meminta sarung. Alasannya sih untuk dipinjamkan ke peserta Kareku Kandei di desa Bajo, namun sampai sekarang tidak dikembalikan. Informasi yang kami dapat, sarung songket yang harganya mencapai Rp.250.000 itu disimpan dirumah pak camat,” bebernya.
Ahmad tidak terima dengan sikap pak camat, karena selain menelantarkan 6 orang warga desa Punti yang menjadi peserta pawai sekaligus menampilkan Gantao, mereka juga merasa ditipu oleh camat. “Sudah kita tidak di antar jemput dan tidak dikasih makan, sarung milik kita juga diambil. Padahal panitia sudah jelas-jelas memberikan seragam itu kepada kita. Pak camat tidak mengambil baju dan topi, hanya mengambil sarung, ada apa,” tuturnya.
Sementara itu, Camat Soromandi Yusuf, S.Sos yang dikonfirmasi Koran ini mangakui meminta kembali sarung songket dari tangan warga, namun dirinya membantah jika sarung tersebut disimpan dirumahnya. “Memang sarung itu kita tarik kembali, karena itu asset daerah, dan akan dipergunakan pada acara-acara berikutnya. Dan sarung itu tidak disimpan dirumah saya, saya suruh amankan staf saya di kantor camat,” elaknya.
Ketika ditanya kenapa hanya sarung saja yang diminta untuk dikembalikan ke camat, sementara baju dan topi tidak diminta kembali. Camat mengaku, selain sarung ada rebana juga yang diminta kembali, mengenai baju kenapa tidak ditarik juga, camat enggan berkomentar. “Kita minta sarung pada saat itu, karena mau dipinjam oleh warga Desa Baju yang mau menampilkan Kareku Kandei,” ujarnya dengan nada gagap. (KS-02)
COMMENTS