Syarif Ahmad, M.Si menuding Islam State of Iraq and Syiria (ISIS) yang ramai diperbincangkan saat ini merupakan bentukan Amerika Serikat (AS).
Akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Mbojo Bima, Syarif Ahmad, M.Si menuding Islam State of Iraq and Syiria (ISIS) yang ramai diperbincangkan saat ini merupakan bentukan Amerika Serikat (AS). ISIS awalnya diakui merupakan organsiasi perlawanan di Irak dan Suriah.
Tujuan pembentukan ISIS kata dia, sebagai barisan perlawanan untuk memecah belah umat Islam kala itu saat rezim sedang berkuasa. Namun dalam perkembangannya, ISIS semakin melenceng dari tujuan awal. Gerakan ISIS semakin radikal, liar dan tak dapat dikendalikan oleh AS.
Kandidat doktor ini pun berpandangan, ISIS tak ubahnya seperti Al Qaedah yang diindikasi merupakan bagian dari propaganda barat untuk menghancurkan umat Islam. Karena bagi mereka hanya Islam musuh yang menjadi ancaman saat ini. “Awalnya gerakan ini tidak berwujud alias abstrak, tapi media massa internasional dan lokal Indonesia telah ikut andil menghebohkan ISIS sehingga jadilah ISIS menjadi organisasi yang nyata,” jelasnya.
Dikatakannya, semangat gerakan mereka untuk mendirikan Negara Islam telah menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan dan pembunuhan. Tentu saja semangat itu sudah jauh dari nilai Islam, karena Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan untuk menegakkan agama. “Dilihat dari konsep dan gagasan ISIS mengenai Khilafah Islamiyah itu sebenarnya sudah gugur. Sebab Khilafah dalam pandangan Islam tidak punya sekat Negara, tapi mempunyai kekuasaan tunggal yang dipimpin satu Khalifah diseluruh dunia,” terangnya.
Namun ujarnya, tidak begitu dengan ISIS yang hanya mendaulat Negara dengan batasan Irak dan Suriah saja. Keberadaan ISIS dianalisanya lebih pada pengalihan isu internasional dengan banyak kepentingan mereka mainkan. Seperti menutupi konflik dan peperangan di timur tengah yang digagas barat. Apalagi, peperangan itu sarat dengan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan.
Di Indonesia lanjutnya, banyak kepentingan asing untuk memuluskan program mereka. Salah satunya menyuburkan isu ISIS di Indonesia. Negara pun berperan dalam membesarkan persoalan tersebut sehingga seakan perlu mendapat perhatian besar. Celakanya, upaya-upaya pencegahan berkembangnya ISIS di Indonesia sangat tidak rasional dan terkesan berlebihan.
Dicontohkannya seperti dengan melakukan rajia KTP, penangkapan dan cara-cara fisik lainnya. Padahal, tidak mungkin orang yang tergabung dalam ISIS tertulis dalam KTP. Penangkapan pihak yang diindikasi terlibat pun dianggap tak masuk akal, karena ISIS tidak bisa dilawan dengan fisik. ISIS menurutnya, berkembang dengan paham dan ideologi sehingga tak akan mempan dengan penangkapan atau menuding mereka teroris.
Disisi lain, ISIS tak lebih dari sebagian kelompok masyarakat yang hilang kepercayaan terhadap Negara karena merasa diperlakukan tidak adil. Namun kata dia, bukan berarti pemerintah juga berdiam diri. Upaya penguatan ideologi Negara berupa pancasila itulah yang perlu dilakukan. Termasuk melakukan deteksi dini terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membahayakan Negara serta melakukan resolusi konflik.
Hal yang paling penting juga ujarnya, MUI, tokoh agama dan masyarakat harus berperan dengan menampilkan keteladanan kepada masyarakat. Sebab lembaga dan tokoh keagamaan saat ini sedang diterpa krisis keteladanan. “Sulit rasanya mereka ingin memperbaiki akhlak umat jika dalam lembaga keagamaan sendiri banyak persoalan,” tandas Syarif. (KS-13)
Tujuan pembentukan ISIS kata dia, sebagai barisan perlawanan untuk memecah belah umat Islam kala itu saat rezim sedang berkuasa. Namun dalam perkembangannya, ISIS semakin melenceng dari tujuan awal. Gerakan ISIS semakin radikal, liar dan tak dapat dikendalikan oleh AS.
Kandidat doktor ini pun berpandangan, ISIS tak ubahnya seperti Al Qaedah yang diindikasi merupakan bagian dari propaganda barat untuk menghancurkan umat Islam. Karena bagi mereka hanya Islam musuh yang menjadi ancaman saat ini. “Awalnya gerakan ini tidak berwujud alias abstrak, tapi media massa internasional dan lokal Indonesia telah ikut andil menghebohkan ISIS sehingga jadilah ISIS menjadi organisasi yang nyata,” jelasnya.
Dikatakannya, semangat gerakan mereka untuk mendirikan Negara Islam telah menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan dan pembunuhan. Tentu saja semangat itu sudah jauh dari nilai Islam, karena Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan untuk menegakkan agama. “Dilihat dari konsep dan gagasan ISIS mengenai Khilafah Islamiyah itu sebenarnya sudah gugur. Sebab Khilafah dalam pandangan Islam tidak punya sekat Negara, tapi mempunyai kekuasaan tunggal yang dipimpin satu Khalifah diseluruh dunia,” terangnya.
Namun ujarnya, tidak begitu dengan ISIS yang hanya mendaulat Negara dengan batasan Irak dan Suriah saja. Keberadaan ISIS dianalisanya lebih pada pengalihan isu internasional dengan banyak kepentingan mereka mainkan. Seperti menutupi konflik dan peperangan di timur tengah yang digagas barat. Apalagi, peperangan itu sarat dengan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan.
Di Indonesia lanjutnya, banyak kepentingan asing untuk memuluskan program mereka. Salah satunya menyuburkan isu ISIS di Indonesia. Negara pun berperan dalam membesarkan persoalan tersebut sehingga seakan perlu mendapat perhatian besar. Celakanya, upaya-upaya pencegahan berkembangnya ISIS di Indonesia sangat tidak rasional dan terkesan berlebihan.
Dicontohkannya seperti dengan melakukan rajia KTP, penangkapan dan cara-cara fisik lainnya. Padahal, tidak mungkin orang yang tergabung dalam ISIS tertulis dalam KTP. Penangkapan pihak yang diindikasi terlibat pun dianggap tak masuk akal, karena ISIS tidak bisa dilawan dengan fisik. ISIS menurutnya, berkembang dengan paham dan ideologi sehingga tak akan mempan dengan penangkapan atau menuding mereka teroris.
Disisi lain, ISIS tak lebih dari sebagian kelompok masyarakat yang hilang kepercayaan terhadap Negara karena merasa diperlakukan tidak adil. Namun kata dia, bukan berarti pemerintah juga berdiam diri. Upaya penguatan ideologi Negara berupa pancasila itulah yang perlu dilakukan. Termasuk melakukan deteksi dini terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membahayakan Negara serta melakukan resolusi konflik.
Hal yang paling penting juga ujarnya, MUI, tokoh agama dan masyarakat harus berperan dengan menampilkan keteladanan kepada masyarakat. Sebab lembaga dan tokoh keagamaan saat ini sedang diterpa krisis keteladanan. “Sulit rasanya mereka ingin memperbaiki akhlak umat jika dalam lembaga keagamaan sendiri banyak persoalan,” tandas Syarif. (KS-13)
COMMENTS