Meski telah lama beroperasi di Kota Bima, perusahaan tambang marmer, PT. Pasific Union Indonesia (PUI) diketahui tidak pernah menjalankan kewajiban.
Meski telah lama beroperasi di Kota Bima, perusahaan tambang marmer, PT. Pasific Union Indonesia (PUI) diketahui tidak pernah menjalankan kewajiban. Diantaranya, melaporkan secara berkala setiap enam bulan sekali mengenai perkembangan lingkungan akibat aktivitas penambangan. Persoalan itu menambah daftar catatan hitam perusahaan tambang marmer tersebut.
Terungkapnya masalah tersebut saat wartawan melakukan konfirmasi ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Bima, Selasa (2/9). Kepala BLH melalui Kabid Amdal dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Abdul Haris, M.Si menjelaskan, berdasarkan aturan semua perusahaan penambangan sebelum melakukan aktivitasnya wajib melengkapi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau dokumen UKL-UPL, tak terkecuali PT. PUI.
Apabila penambangan itu katanya, mengambil 250 meter kubik batu atau sejenisnya maka wajib melengkapi dokumen Amdal. Namun bila hanya maksimal 100 meter kubik, hanya melengkapi dokumen UKL-UPL. “Nah, karena perusahaan marmer itu hanya mengambil di bawah 250 meter kubik, mereka hanya menyusun dokumen UKL-UPL. Itulah yang diserahkan kepada kami,” terangnya.
Dalam dokumen tersebut tuturnya, perusahaan telah berjanji untuk menyampaikan laporan secara berkala setiap enam bulan sekali mengenai kondisi lingkungan. Persoalan yang dilaporkan seperti kondisi wilayah penambangan, gunung, pepohonan, mata air, struktur tanah maupun satwa yang hidup disekitarnya.
“Perusahaan juga wajib melaporkan bagaimana upaya mereka untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akibat penambangan tersebut,” jelas Haris.
Namun kata dia, sejak perusahaan tambang marmer itu beroperasi di Kelurahan Oi Fo’i tidak pernah sekalipun melaporkan perkembangan kondisi lingkungan. Hal itu mengisyaratkan bahwa mereka telah mengingkari janji yang tertuang dalam dokumen UKL-UPL yang pernah disampaikan.
“Kapasitas kami hanya mengkaji dan mengevaluasi pada aspek lingkunganya saja. Sedangkan urusan penyusunan dokumen bukan ranah kami,” tegasnya. (KS-13)
Terungkapnya masalah tersebut saat wartawan melakukan konfirmasi ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Bima, Selasa (2/9). Kepala BLH melalui Kabid Amdal dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Abdul Haris, M.Si menjelaskan, berdasarkan aturan semua perusahaan penambangan sebelum melakukan aktivitasnya wajib melengkapi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau dokumen UKL-UPL, tak terkecuali PT. PUI.
Apabila penambangan itu katanya, mengambil 250 meter kubik batu atau sejenisnya maka wajib melengkapi dokumen Amdal. Namun bila hanya maksimal 100 meter kubik, hanya melengkapi dokumen UKL-UPL. “Nah, karena perusahaan marmer itu hanya mengambil di bawah 250 meter kubik, mereka hanya menyusun dokumen UKL-UPL. Itulah yang diserahkan kepada kami,” terangnya.
Dalam dokumen tersebut tuturnya, perusahaan telah berjanji untuk menyampaikan laporan secara berkala setiap enam bulan sekali mengenai kondisi lingkungan. Persoalan yang dilaporkan seperti kondisi wilayah penambangan, gunung, pepohonan, mata air, struktur tanah maupun satwa yang hidup disekitarnya.
“Perusahaan juga wajib melaporkan bagaimana upaya mereka untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akibat penambangan tersebut,” jelas Haris.
Namun kata dia, sejak perusahaan tambang marmer itu beroperasi di Kelurahan Oi Fo’i tidak pernah sekalipun melaporkan perkembangan kondisi lingkungan. Hal itu mengisyaratkan bahwa mereka telah mengingkari janji yang tertuang dalam dokumen UKL-UPL yang pernah disampaikan.
“Kapasitas kami hanya mengkaji dan mengevaluasi pada aspek lingkunganya saja. Sedangkan urusan penyusunan dokumen bukan ranah kami,” tegasnya. (KS-13)
COMMENTS