Tindakan Detasemen Khusus 88 Anti Teror yang menembak mati salah satu terduga teroris berinisial ND di Desa O’o Kabupaten Dompu dikecam sejumlah pihak.
Tindakan Detasemen Khusus 88 Anti Teror yang menembak mati salah satu terduga teroris berinisial ND di Desa O’o Kabupaten Dompu dikecam sejumlah pihak. Salah satunya Ormas Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Bima. Tindakan itu dinilai sebagai bentuk kesewenangan Densus karena mengeksekusi orang yang belum tentu bersalah. Apalagi belakangan beredar informasi, korban diduga ditembak mati saat sedang sujud shalat Ashar.
Menurut Ketua HTI Bima, Muhammad Ayyubi kasus terorisme telah menjadi sebuah proyek besar, bukan hanya nasional tapi skala dunia. Proyek itu adalah dalam bentuk perang melawan terorisme. Namun anehnya, umat Islam selalu menjadi kambing hitam dan korban dari proyek yang dicurigai ada intervensi asing tersebut.
Ayyubi berpendapat, apabila teror diartikan sebagai tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan, kenapa gerakan separatis seperti RMS, GAM dan OPM tidak dianggap sebagai terorisme. Densus 88 dianggap telah menjelmas menjadi lembaga teror tersendiri karena orang ditangkap tanpa prosedur sesuai dengan peradilan dan penegakan hukum.
Selain itu lanjutnya, Densus 88 secara eksploitatif dan bombastis memberikan informasi yang belum tentu benar ke masyarakat. Bahkan tidak jarang orang-orang yang ditangkap karena diduga sebagai teroris tidak terbukti bersalah dan akhirnya dilepas begitu saja tanpa penjelasan yang memadai kepada masyarakat. Tetapi sayangnya, masyarakat sudah terlanjur menganggap orang-orang yang ditangkap itu sebagai teroris. Namun tindakan yang dilakukan Densus tetap dianggap sah karena tidak ada lembaga yang mengawasi. “Masyarakat tidak pernah tahu apakah orang-orang yang ditangkap itu benar terlibat tindak terorisme atau tidak karena proses hukum akhirnya tidak pernah dibuka ke publik,” ungkapnya.
Apa yang dilakukan Densus melakukan pembunuhan manusia sebelum diadili dinialinya sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Sebab faktanya, selama ini hanya tiga tersangka kasus terorisme yang dieksekusi setelah mendapatkan putusan vonis dari pengadilan. Yakni Imam Samudra, Amrozi dan Ali Gufran. “Sisanya terduga lainnya, tidak pernah diadili dan ditembak mati diluar pengadilan,” sorotnya.
Lebih lanjut menurutnya, Bima merupakan daerah persemaian untuk penumpasan kasus terorisme. Penyandang dananya bahkan dari luar negeri seperti Amerika dan Australia. “Tentu yang punya kepentingan terhadap proyek ini adalah mereka (Amerika dan Australia). Makanya, Indonesia ini sudah diarahkan terhadap proyek tersebut,” tuturnya.
Kalaupun Indonesia disebut Negara berdaulat katanya, dalam hal apa sementara dalam masalah terorisme saja Indonesia didikte oleh Negara lain. Semestinya kata dia, ada aturan yang jelas bagaimana tafsiran terduga teroris dalam pemahaman Densus. Sebab selama ini, stigma teroris itu selalu diarahkan kepada umat Islam. Begitupun paham kekerasan selalu dikaitkan dengan syariat Islam. “Ini kan menjadi fobia bagi umat Islam ketika mereka ingin bersinggungan langsung dengan orang-orang yang ingin memperjuangkan syariat Islam itu tegak,” nilainya.
Anehnya menurut Ayyubi, dari dialog-dialog yang sering digelar, oleh HTI, ormas Islam lain maupun MUI mengatakan bahwa di Bima itu tidak ada terorisme. Tetapi fakntanya, Bima selalu disudutkan dengan tudingan sebagai daerah teroris. “Jadi, ini menurut saya hanya rekayasa saja,” tegasnya.
Lanjtunya, orang-orang yang ditangkap hanya dikait-kaitkan dengan kasus ini-itu termasuk kasus penembakan terhadap polisi di Bima belakangan ini. Padahal tidak ada korelasinya sama sekali. Seperti kasus penembakan Kapolsek Ambawali menurutnya, informasi awal yang disampaikan Polisi meninggal karena kecelakaan. Tetapi tiba-tiba setelah itu Kapolda menyampaikan karena ditembak. Publik akhirnya jadi bertanya-tanya, dengan kasus tersebut. “Saya justru percaya informasi pertama itulah yang benar. Sedangkan informasi kedua, merupakan rekayasa dan penggiringan opini yang mereka inginkan,” tandasnya.
Dengan kondisi yang sudah terjadi sambungnya, umat Islam harus terus bertindak dengan aksi-aksi damai untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa tudingan-tudingan yang diarahkan itu tidak benar. Penegakkan syariat Islam itu tidak dengan kekerasan atau intimidasi tetapi harus diawali dengan perubahan pemahaman, peraturan dan praktek didalam suatu Negara. “Soal keberadaan Densus 88, kami menyarankan bukan hanya ditinjau kembali tetapi dibubarkan saja karena keberadaannya justru menjadi lembaga teror tersendiri,” pungkasnya. (KS-13)
Menurut Ketua HTI Bima, Muhammad Ayyubi kasus terorisme telah menjadi sebuah proyek besar, bukan hanya nasional tapi skala dunia. Proyek itu adalah dalam bentuk perang melawan terorisme. Namun anehnya, umat Islam selalu menjadi kambing hitam dan korban dari proyek yang dicurigai ada intervensi asing tersebut.
Ayyubi berpendapat, apabila teror diartikan sebagai tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan, kenapa gerakan separatis seperti RMS, GAM dan OPM tidak dianggap sebagai terorisme. Densus 88 dianggap telah menjelmas menjadi lembaga teror tersendiri karena orang ditangkap tanpa prosedur sesuai dengan peradilan dan penegakan hukum.
Selain itu lanjutnya, Densus 88 secara eksploitatif dan bombastis memberikan informasi yang belum tentu benar ke masyarakat. Bahkan tidak jarang orang-orang yang ditangkap karena diduga sebagai teroris tidak terbukti bersalah dan akhirnya dilepas begitu saja tanpa penjelasan yang memadai kepada masyarakat. Tetapi sayangnya, masyarakat sudah terlanjur menganggap orang-orang yang ditangkap itu sebagai teroris. Namun tindakan yang dilakukan Densus tetap dianggap sah karena tidak ada lembaga yang mengawasi. “Masyarakat tidak pernah tahu apakah orang-orang yang ditangkap itu benar terlibat tindak terorisme atau tidak karena proses hukum akhirnya tidak pernah dibuka ke publik,” ungkapnya.
Apa yang dilakukan Densus melakukan pembunuhan manusia sebelum diadili dinialinya sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Sebab faktanya, selama ini hanya tiga tersangka kasus terorisme yang dieksekusi setelah mendapatkan putusan vonis dari pengadilan. Yakni Imam Samudra, Amrozi dan Ali Gufran. “Sisanya terduga lainnya, tidak pernah diadili dan ditembak mati diluar pengadilan,” sorotnya.
Lebih lanjut menurutnya, Bima merupakan daerah persemaian untuk penumpasan kasus terorisme. Penyandang dananya bahkan dari luar negeri seperti Amerika dan Australia. “Tentu yang punya kepentingan terhadap proyek ini adalah mereka (Amerika dan Australia). Makanya, Indonesia ini sudah diarahkan terhadap proyek tersebut,” tuturnya.
Kalaupun Indonesia disebut Negara berdaulat katanya, dalam hal apa sementara dalam masalah terorisme saja Indonesia didikte oleh Negara lain. Semestinya kata dia, ada aturan yang jelas bagaimana tafsiran terduga teroris dalam pemahaman Densus. Sebab selama ini, stigma teroris itu selalu diarahkan kepada umat Islam. Begitupun paham kekerasan selalu dikaitkan dengan syariat Islam. “Ini kan menjadi fobia bagi umat Islam ketika mereka ingin bersinggungan langsung dengan orang-orang yang ingin memperjuangkan syariat Islam itu tegak,” nilainya.
Anehnya menurut Ayyubi, dari dialog-dialog yang sering digelar, oleh HTI, ormas Islam lain maupun MUI mengatakan bahwa di Bima itu tidak ada terorisme. Tetapi fakntanya, Bima selalu disudutkan dengan tudingan sebagai daerah teroris. “Jadi, ini menurut saya hanya rekayasa saja,” tegasnya.
Lanjtunya, orang-orang yang ditangkap hanya dikait-kaitkan dengan kasus ini-itu termasuk kasus penembakan terhadap polisi di Bima belakangan ini. Padahal tidak ada korelasinya sama sekali. Seperti kasus penembakan Kapolsek Ambawali menurutnya, informasi awal yang disampaikan Polisi meninggal karena kecelakaan. Tetapi tiba-tiba setelah itu Kapolda menyampaikan karena ditembak. Publik akhirnya jadi bertanya-tanya, dengan kasus tersebut. “Saya justru percaya informasi pertama itulah yang benar. Sedangkan informasi kedua, merupakan rekayasa dan penggiringan opini yang mereka inginkan,” tandasnya.
Dengan kondisi yang sudah terjadi sambungnya, umat Islam harus terus bertindak dengan aksi-aksi damai untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa tudingan-tudingan yang diarahkan itu tidak benar. Penegakkan syariat Islam itu tidak dengan kekerasan atau intimidasi tetapi harus diawali dengan perubahan pemahaman, peraturan dan praktek didalam suatu Negara. “Soal keberadaan Densus 88, kami menyarankan bukan hanya ditinjau kembali tetapi dibubarkan saja karena keberadaannya justru menjadi lembaga teror tersendiri,” pungkasnya. (KS-13)
COMMENTS