Revisi Undang Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) menuai reaksi dari para kepala daerah.
Revisi Undang Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) menuai reaksi dari para kepala daerah. Bahkan asosiasi pemerintah kota dan kabupaten pun meminta agar RUU pilkada tersebut ditarik. Para kepala daerah pun ramai-ramai menolak RUU Pilkada. Bahkan beberapa di antaranya telah dengan tegas mengambil keputusan untuk keluar dari partai yang mendukung RUU Pilkada agar pilkada dipilih melalui DPRD, tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat.
Salah satunya yakni Walikota Bima, HM Qurais H Abidin. Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bima ini juga menyatakan sikap akan mundur dari Partai Demokrat, jika Pilkada secara tidak langsung disahkan. Sikap untuk keluar dari Partai Demokrat itu merupakan bentuk tidak sepakatnya atas RUU yang diusung Koalisi Merah Putih tersebut. “Kalau Pilkada tidak langsung itu tidak memberi ruang dan peluang demokrasi langsung bagi masyarakat,” sorotnya akhir pecan kemarin.
Sikap tegasnya itu dilakukan, karena pemilihan langsung menjunjung hak rakyat dalam menentukan pilihan pada figur Kepala daerah yang dianggap layak dan mampu menjalankan roda pemerintahan. Diakuinya, sikap tersebut tentu tidak akan berdampak pada jabatan Politiknya sebagai Walikota Bima hingga 2018 mendatang. “Tidak ada pengaruh, kan saya dipilih oleh rakyat Kota Bima,” tegasnya.
Tak hanya dirinya, Qurais juga mengaku Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) sudah menyatakan menolak RUU tersebut. “APEKSI juga menolak RUU Pilkada itu. Bahkan seluruh kepala daerah yang tergabung dalam organisasi ini bersikap tegas untuk mengundurkan diri dari partai, jika RUU tersebut menghasilkan Pilkada tidak langsung,” ungkap Walikota Bima, HM. Qurais H. Abidin.
Diakuinya, APEKSI sudah mengambil keputusan untuk menolak RUU Pilkada. Dirinya pun memiliki sikap yang sama dnegan moral politik yang sudah dibangun sejak lama. “Saya pribadi juga menolak, ini menyangkut moral politik saya dihadapan rakyat Kota Bima,” tegasnya. Sikapnya itu diakui sama sekali bukan maksud ikut-ikutan. Karena sebagai Kepala Daerah dua periode, langkah dan intrik politik seperti itu sesungguhnya tidak bernilai politik apa-apa buat dirinya.
Lanjutnya, mengarahkan RUU Pilkada itu hanya murni kekecewaan akan dinamika politik yang dianggapnya sebagai kemunduran. Karena, dengan Pilkada langsung para calon Kepala Daerah memiliki momen dan kesempatan untuk sosialisasi dan bersama dengan konstituen. Rakyat pun bisa menilai langsung calon Kepala Daerah. “Kepala Daerah nanti tidak mengenal rakyat, yang dikenalnya hanya wakil rakyat,” jelasnya. Penerapan Pilkada tidak langsung nilainya, juga sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia karena sistem demokrasi yang sejak dulu dibangun untuk negara ini, harus dirubah seketika. “Hasilnya juga nanti tidak akan maksimal,” tandas Qurais. (KS-13)
Salah satunya yakni Walikota Bima, HM Qurais H Abidin. Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bima ini juga menyatakan sikap akan mundur dari Partai Demokrat, jika Pilkada secara tidak langsung disahkan. Sikap untuk keluar dari Partai Demokrat itu merupakan bentuk tidak sepakatnya atas RUU yang diusung Koalisi Merah Putih tersebut. “Kalau Pilkada tidak langsung itu tidak memberi ruang dan peluang demokrasi langsung bagi masyarakat,” sorotnya akhir pecan kemarin.
Sikap tegasnya itu dilakukan, karena pemilihan langsung menjunjung hak rakyat dalam menentukan pilihan pada figur Kepala daerah yang dianggap layak dan mampu menjalankan roda pemerintahan. Diakuinya, sikap tersebut tentu tidak akan berdampak pada jabatan Politiknya sebagai Walikota Bima hingga 2018 mendatang. “Tidak ada pengaruh, kan saya dipilih oleh rakyat Kota Bima,” tegasnya.
Tak hanya dirinya, Qurais juga mengaku Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) sudah menyatakan menolak RUU tersebut. “APEKSI juga menolak RUU Pilkada itu. Bahkan seluruh kepala daerah yang tergabung dalam organisasi ini bersikap tegas untuk mengundurkan diri dari partai, jika RUU tersebut menghasilkan Pilkada tidak langsung,” ungkap Walikota Bima, HM. Qurais H. Abidin.
Diakuinya, APEKSI sudah mengambil keputusan untuk menolak RUU Pilkada. Dirinya pun memiliki sikap yang sama dnegan moral politik yang sudah dibangun sejak lama. “Saya pribadi juga menolak, ini menyangkut moral politik saya dihadapan rakyat Kota Bima,” tegasnya. Sikapnya itu diakui sama sekali bukan maksud ikut-ikutan. Karena sebagai Kepala Daerah dua periode, langkah dan intrik politik seperti itu sesungguhnya tidak bernilai politik apa-apa buat dirinya.
Lanjutnya, mengarahkan RUU Pilkada itu hanya murni kekecewaan akan dinamika politik yang dianggapnya sebagai kemunduran. Karena, dengan Pilkada langsung para calon Kepala Daerah memiliki momen dan kesempatan untuk sosialisasi dan bersama dengan konstituen. Rakyat pun bisa menilai langsung calon Kepala Daerah. “Kepala Daerah nanti tidak mengenal rakyat, yang dikenalnya hanya wakil rakyat,” jelasnya. Penerapan Pilkada tidak langsung nilainya, juga sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia karena sistem demokrasi yang sejak dulu dibangun untuk negara ini, harus dirubah seketika. “Hasilnya juga nanti tidak akan maksimal,” tandas Qurais. (KS-13)
COMMENTS