Daerah Bima kerap kali dicap sebagai basis gerakan teroris. Bahkan, belakangan daerah Bima juga disebut sebagai basis gerakan Islam radikal Islam State of Iraq and Syiria (ISIS)
Daerah Bima kerap kali dicap sebagai basis gerakan teroris. Bahkan, belakangan daerah Bima juga disebut sebagai basis gerakan Islam radikal Islam State of Iraq and Syiria (ISIS). Padahal, asumsi itu tidaklah benar karena faktanya wujud nyata gerakan terorisme dan ISIS tidak pernah ada di Bima.
“Selama ini kita tidak pernah merasa diteror, apalagi sampai ada kejadian pemboman itu tidak pernah terjadi. Justru kita merasa aman-aman saja disaat orang menuding Bima ini daerah basis teroris dan ISIS,” tegas pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bima, M. Mutawali, MA, saat menjadi narasumber dalam kegiatan diskusi publik tentang gerakan radikalisme, teroris dan ISIS yang digelar PUSKAB NTB di SMK Negeri 3 Kota Bima, Senin (27/10).
Menurut Mutawali, kondisi daerah Bima yang aman-aman saja, membuktikan bahwa gerakan terorisme, radikalisme dan ISIS tidak ada. Informasi tersebut dinilainya hanya dibesarkan-besarkan media massa dan disebarkan pihak yang berkepentingan terhadap isu yang menyudutkan umat Islam itu. “Saya melihat banyak yang berkepentingan terhadap isu terorisme, radikalisme dan ISIS ini dan Bima menjadi daerah yang dianggap tepat untuk memuluskan kepentingan mereka,” tudingnya.
Hanya saja, Mutawali tak menyebut secara detail pihak mana yang dimaksud berkepentingan tdalam isu yang merusak citra daerah Bima itu. Tak hanya menepis asumsi negatif tentang Bima, Ia juga menyentil soal tafsiran jihad yang dimaknai sempit sebagian kelompok Islam. Terlebih, penafsiran jihad dimaknai oleh orang-orang yang tidak berkompeten dan ‘belindung’ dibalik Pondok Pesantren (Ponpes).
Padahal sambungnya, Ponpes juga memiliki kualifikasi untuk mempelajari tentang ilmu Islam itu. Sementara untuk di daerah Bima, diakuinya hampir semua Ponpes mengajarkan pendidikan formal dan kurikulum umum seperti sekolah madrasah lainnya dan tak satupun yang mengajarkan kajian kitab kuning.
“Ponpes di Bima sangat berbeda dengan di Jawa. Disana betul-betul diajarkan kajian kitab kuning dan dasar-dasar ilmu yang diwajibkan di Ponpes untuk mendukung kajian itu. Sementara di Bima hampir semuanya tidak ada kajian kitab kuning,” tuturnya.
Karena itu kata Mutawali, patut dipertanyakan dari mana munculnya pemahaman radikal yang menafsirkan soal jihad secara serampangan. Sebab, dalam ajaran Agama Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada umatnya untuk menegakkan agama dan mencapai tujuan. Apalagi, soal ajaran ISIS yang sangat jauh berbeda antara di Iraq dan Indonesia.
Makanya lanjut dia, MUI hingga kini belum mengeluarkan fatwa haram atau sesat terhadap ISIS karena beralasan setiap yang sudah jelas dalam Al Qur’an tidak perlu lagi ada fatwa ulama. Fatwa hanya dibutuhkan ketika persoalan tidak dijelaskan di dalam Al Qur’an dan Hadist.
“Saat ini yang mesti dilakukan, BNPT harus memperkuat Pondok Pesantren sebagai benteng untuk mencegah menyebarnya paham-paham seperti itu. Bukan melalui tindakan militerisme karena tidak akan menyelesaikan masalah,” tandasnya. (KS-13)
“Selama ini kita tidak pernah merasa diteror, apalagi sampai ada kejadian pemboman itu tidak pernah terjadi. Justru kita merasa aman-aman saja disaat orang menuding Bima ini daerah basis teroris dan ISIS,” tegas pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bima, M. Mutawali, MA, saat menjadi narasumber dalam kegiatan diskusi publik tentang gerakan radikalisme, teroris dan ISIS yang digelar PUSKAB NTB di SMK Negeri 3 Kota Bima, Senin (27/10).
Menurut Mutawali, kondisi daerah Bima yang aman-aman saja, membuktikan bahwa gerakan terorisme, radikalisme dan ISIS tidak ada. Informasi tersebut dinilainya hanya dibesarkan-besarkan media massa dan disebarkan pihak yang berkepentingan terhadap isu yang menyudutkan umat Islam itu. “Saya melihat banyak yang berkepentingan terhadap isu terorisme, radikalisme dan ISIS ini dan Bima menjadi daerah yang dianggap tepat untuk memuluskan kepentingan mereka,” tudingnya.
Hanya saja, Mutawali tak menyebut secara detail pihak mana yang dimaksud berkepentingan tdalam isu yang merusak citra daerah Bima itu. Tak hanya menepis asumsi negatif tentang Bima, Ia juga menyentil soal tafsiran jihad yang dimaknai sempit sebagian kelompok Islam. Terlebih, penafsiran jihad dimaknai oleh orang-orang yang tidak berkompeten dan ‘belindung’ dibalik Pondok Pesantren (Ponpes).
Padahal sambungnya, Ponpes juga memiliki kualifikasi untuk mempelajari tentang ilmu Islam itu. Sementara untuk di daerah Bima, diakuinya hampir semua Ponpes mengajarkan pendidikan formal dan kurikulum umum seperti sekolah madrasah lainnya dan tak satupun yang mengajarkan kajian kitab kuning.
“Ponpes di Bima sangat berbeda dengan di Jawa. Disana betul-betul diajarkan kajian kitab kuning dan dasar-dasar ilmu yang diwajibkan di Ponpes untuk mendukung kajian itu. Sementara di Bima hampir semuanya tidak ada kajian kitab kuning,” tuturnya.
Karena itu kata Mutawali, patut dipertanyakan dari mana munculnya pemahaman radikal yang menafsirkan soal jihad secara serampangan. Sebab, dalam ajaran Agama Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada umatnya untuk menegakkan agama dan mencapai tujuan. Apalagi, soal ajaran ISIS yang sangat jauh berbeda antara di Iraq dan Indonesia.
Makanya lanjut dia, MUI hingga kini belum mengeluarkan fatwa haram atau sesat terhadap ISIS karena beralasan setiap yang sudah jelas dalam Al Qur’an tidak perlu lagi ada fatwa ulama. Fatwa hanya dibutuhkan ketika persoalan tidak dijelaskan di dalam Al Qur’an dan Hadist.
“Saat ini yang mesti dilakukan, BNPT harus memperkuat Pondok Pesantren sebagai benteng untuk mencegah menyebarnya paham-paham seperti itu. Bukan melalui tindakan militerisme karena tidak akan menyelesaikan masalah,” tandasnya. (KS-13)
COMMENTS