Suatu tinjauan kritis mutu pendidikan Reorientasi Ujian Nasional Sebagai Standar Pemetaan Mutu Pendidikan Bukan Penentu Kelulusan
Suatu tinjauan kritis mutu pendidikan Reorientasi Ujian Nasional Sebagai Standar Pemetaan Mutu Pendidikan Bukan Penentu Kelulusan
Oleh : Drs. Khairudin, M.Pd.I (Pengawas Pendidikan Kabupaten Bima)
Sebagai praktisi dan pemerhati pendidikan penulis menerawang mutu anak bangsa khusus di Negeri Indonesia yang bernama Kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tentu telah lama mengusulkan wacana ini kepada pihak kebijakan, artinya bukan baru kali ini.
Pada tulisan yang bernada kritis dan solusi ini, penulis ingin mengemukakan sejumlah argumentasi empiris untuk memperkuat tesis utama dari judul tulisan diatas. Alasan argumentatif berikut ini tentu bukanlah sebuah copy paste dari pernyataan orang atau pihak lain, namun betul-betul merupakan hasil kajian empiris setidak-tidaknya diambil dari keadaan sebut saja 5 (lima) tahun terakhir ini.
Sejumlah alasan/fakta empiris dimaksud diuraikan dengan gamblang berikut ini :
1. Angka kelulusan bersifat statistik dan fantastik selama ini telah dijadikan primadona politik dan popularitas sesaat bagi para pengambil kebijakan pendidikan mulai dari pengambil kebijakan pendidikan Nasional, Gubernur, Bupati, Kepala Dinas, sampai Kepala Sekolah.
2. Pelaksanaan Ujian Nasional selama ini lebih mengarah pada pertarungan elit-elit pendidikan untuk mentarget angka kelulusan tuntas (100%). Dengan target tersebut, telah menghalalkan hampir segala cara, hampir sama dengan prinsip politik “The end Justify the means”.
3. Kegiatan-kegiatan yang bernuansa akademis yang dilaksanakan oleh Dinas Dikpora dan sekolah-sekolah jelang Ujian Nasional, lebih dominan kepada strategi penyelamatan target 100%, bukan mengevaluasi seberapa intensif proses persiapan dan pelaksanaan pembelajaran yang bermutu sesuai standar isi, dan standar proses, standar penlaian dan standar keulusan.
4. Kesepakatan rekayasa kelulusan target tinggi disatu sisi, dengan tidak terasa telah mematikan motivasi guru, motivasi siswa, dan bahkan spirit orang tua / masyarakat, untuk bertanggung jawab terhadap pendidikan putra putrinya sebab sudah diyakini bahwa siapa “mampir di ruang ujian” pasti lulus dan efek dominonya adalah seperti di bawah ini :
a. Rendahnya mutu manajemen sekolah.
b. Rendahnya pelaksanaan standar proses, standar penilaian autenthic, yang menyebabkan matinya ; progress, prestasi, dan kompetensi siswa.
c. Adanya penilaian subyektif yang sama rata antara siswa A dengan siswa B antara siswa yang “hebat” dengan siswa yang “heboh” antara siswa yang rajin dengan siswa yang malas, antara siswa yang “hidup” dengan siswa yang “mati”, antara siswa yang “dikenang” dengan siswa yang “dikenal ” Lalu apalah artinya pendidikan ini, kecuali hanya mendapatkan selembar ijazah yang sah tapi meragukan di otak dan di hati para siswa.
d. Matinya arti, fungsi penilaian berstandar, yang dilakukan dengan cermat, obyektif dan akuntabel oleh guru, sehingga tidak membuahkan penilaian yang mencerdaskan anak bangsa pada 3 (tiga) domain psikologi pendidikan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan).
5. Sistem penetapan kelulusan 40% oleh sekolah dan 60% dari hasil Ujian Nasional selama ini adalah cara-cara legalsasi kepalsuan yang mematikan nilai dan semangat belajar para siswa. Dan semangat mengajar guru.
Penulis berkeyakinan cukuplah 5 (lima) poin di atas untuk sementara ini yang sempat exspose pada tulisan ini, dengan sebuah catatan, tulisan ini bukanlah sebuah kritisasi pada kelemahan orang / perorang tapi lebih kepada fenomena manajemen Ujian Nasional yang selalu melilit bangsa ini secara massive, yang berulang-ulang terstruktur dan sistematik dari tahun ke tahun.
Dari sederetan persoalan di atas, penulis berupaya maksimal dengan segala keterbatasan untuk mengajukan beberapa solusi alternatif “strategis” yakni :
1. Ujian Nasional hendaknya dilaksanakan sebagai wahana/instrumen pemetaan mutu Pendidikan Nasional, regional, Kabupaten, Kecamatan, maupun sekolah-sekolah baik berakreditasi (A / B / C) pada lingkup Dinas Pend. Kab/ Kota, se Indonesia
2. Perlu adanya sosialisasi penguatan pemahaman pada orang tua dan masyarakat bahwa hasil dari sebuah ujian itu pasti ada yang Lulus dan yang Tidak Lulus, bukan wajib lulus.
3. Hasil kelulusan harus diakui sebagai satu produk sekolah (guru , kepala, sekolah dan siswa) secara utuh mulai dari sistim manajemen sekolah, pembelajaran, penilaian, dan sistim evaluasi yang secara sinergis anatara satu komponen dengan komponen lain. Artinya apapun yang merupakan keputusan sekolah harus diakui oleh semua pihak sebagai produk kebijakan yang mengarah kepada peningkatan mutu pendidikan dalam arti yang luas.
4. Peran dan tanggung jawab orang tua dan masyarakat pada pendidikan untuk (putra dan putrinya) yang sudah relatif sangat rendah, bahkan sudah terkisis sejak digulirkan isu pendidikan gratis melalui kampanye politik pemerintah sejak tahun 2004, hendaknya di bangkitkan kembali seperti tanggung jawab orang tua dan masyarakat yang sudah cukup baik sebelum di gulirkannya “isu pendidikan garatis”. Penguatan peran dan tanggung jawab orang tua direpresentasikan oleh fungsi komite sekolah dan dewan pendidikan kabupaten, secara kritis, objektif, konsisten, dan berkelanjutan.
5. Penilaian kepemimpinan Kepala Sekolah atau calon Kepala Sekolah hendaknya didasarkan pada aspek keunggulan, track record, dan integritas diri yang diuji melalui penguasaan kompetensi yang mencangkup lima (kompetensi inti kepala sekolah atau calon kepala sekolah), dengan demikian pandangan dan orentasi terhadap budaya mutu harus dimulai dari kemampuan dan kecakapan kepla sekolah untuk merancang program peningkatan mutu dan manajemen pengeloloan sekolah yang berfokus pada tiga dimensi mutu yaitu.,(1) dimensi input, (2) dimensi proses dan (3) dimensi output dan outcome, yang berbasis kompetensi dan prestasi.
6. Perlu menjadi catatan khusus bagi para pembaca, bahwa penulis dalam hal ini bukanlah seorang yang anti kelulusan ” 100%” akan tetapi lebih mengarah kritikan terhadap perbaikan sistim yang mendukung dan memperkuat legitimasi kelulusan pendidikan yang fantastis harus melalui proses-proses yang mendidik, mencerdaskan, dan memberi pembelajaran bagi semua komponen bangsa khususnya dalam dunia pendidikan. Artinya angka kelulusan yang fantastis bukanlah hasil dari capaian atas rekayasa sistemik, terstuktur dan masif yang pada gilirannya tidak menyebabkan terjadinya perubahan perilaku belajar yang positif pada anak-anak bangsa ini. (*)
COMMENTS