Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram mengimbau seluruh instansi pemerintah di NTB, termasuk BUMN dan BUMD untuk tidak memberikan dana Tunjangan Hari Raya (THR) kepada jurnalis.
Mataram, KS.-
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram mengimbau seluruh instansi pemerintah di NTB, termasuk BUMN dan BUMD untuk tidak memberikan dana Tunjangan Hari Raya (THR) kepada jurnalis. Ini demi menjaga independensi dalam menjalankan tugas jurnalistik dan menghindari penyalahgunaan dana pemerintah bersumber dari APBN/APBD. Sebagai bentuk imbauan langsung, AJI mengirim surat ke masing masing instansi, di kabupaten dan kota, termasuk Pemerintah Provinsi NTB.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Ketua AJI Mataram, Haris Mahtul mengatakan, pendistribusian surat sudah dimulai sejak Senin 6 Juli 2014 lalu hingga beberapa hari kedepan. Alasan imbauan itu, AJI merujuk pada Pasal 7 ayat 2 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 tetang Pers. Dalam penjelasan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 6, wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesi dan menerima suap. Penafsiran suap dalam hal ini adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Kata dia, AJI mengamati setiap tahunnya pelanggaran kode etik ini menjadi trend menjelang lebaran. Banyak oknum jurnalis atau yang mengaku sebagai jurnalis mendatangi instansi pemerintah untuk tujuan meminta atau menerima uang THR. Atau dalam situasi berbeda, justru instansi pemerintah itulah yang menyediakan dan memberikan THR kepada jurnalis dengan alasan untuk menjaga kedekatan hubungan, tapi mengabaikan prinsip ketentuan dalam kode etik jurnalistik.
“Jika ada instansi yang punya sikap demikian, AJI akan meminta penjelasan langsung kepada pimpinan instansi tersebut sumber anggarannya. Jika dikemudian hari ditemukan ternyata anggaran itu bersumber dari APBD/APBN, maka AJI akan mendorong instansi yang berwenang untuk mengaudit,” tegas Haris dalam siaran persnya.
Lanjutnya, diluar soal pelanggaran ketentuan Undang – Undang Pers, dilihat dari struktur bahwa jurnalis tidak punya hak untuk menerima THR dari instansi pemerintah, karena statusnya bukan karyawan yang memenuhi kriteria untuk menerima tunjangan atau kaum ‘dhuafa’ yang berharap sumbangan. Sebab sesungguhnya THR adalah menjadi tanggungjawab perusahaan media masing – masing yang wajib diberikan sesuai ketentuan Undang – Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.
Alasan lain larangan ini sambungnya, sebagai upaya mereduksi munculnya oknum wartawan ‘bodrex’ yang menjamur ketika menjelang lebaran untuk tujuan sama, mengharap THR. Bahkan tidak jarang pimpinan instansi mendapat tekanan untuk dari oknum wartawan agar memberikan jatah uang yang bukan menjadi haknya. Situasi ini sering dialami bahkan menjadi keluhan langsung instansi dengan pengelolaan dana cukup besar atau mereka sebut sebagai dinas “basah”.
Jika masih ada oknum yang berusaha memaksa untuk tujuan tadi, pihaknya mendorong agar ada sikap tegas dari pimpinan dan pejabat instansi untuk melapor ke Kepolisian demi efek jera. Karena jelas bahwa perbuatan semacam ini dapat merusak citra profesi jurnalis yang sudah susah payah dibangun demi menjaga kepercayaan publik. “Maka AJI sebagai organisasi profesi, dalam kaitan ini tanpa pretensi apapun, kecuali keinginan untuk menjaga independensi dan menyamakan persepsi dengan pemerintah bahwa jurnalis tidak ada kepentingan lain selain berita,” tandasnya. (KS-17)
Halaman:  1  2  3
COMMENTS