IDP itu Putri asli Bima yang lahir di Dompu. Dia keturunan Bima asli, hanya saja dia lahir dan besar di Dompu, tetapi keluarga besarnya orang asli Bima.
Bima, KS.- Setiap warga negara Republik Indonesia memiliki hak yang sama. Termasuk dalam hal memimpin suatu daerah maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setiap warga negara, berhak menjadi pemimpin daerah diseluruh pelosok wilayah NKRI, tanpa memandang suku, ras, warna kulit dan lainnya.
Hj. Indah Damayanti Putri (IDP)
Undang-undang sudah mengatur tentang hak semua warga negara, baik itu soal memimpin, memilih dan lain sebagainya. Termasuk soal tingkatan pendidikan bagi para calon kepala daerah, sudah diatur dalam UU.
Salah satu tokoh pendidikan yang ada di Bima, H Hasanuddin Wahid yang mengetahui persis sejarah keturunan salah satu Bakal Calon Bupati Bima, Hj. Indah Damayanti Putri (IDP). Hasanudin membantah keras pernyataan salah satu akademisi pada berita koran ini edisi sebelumnya, tentang hambatan bagi impian IDP untuk memimpin Bima, lantaran IDP dikatakan bukan asli Bima, dan berijazah setara SMA.
“IDP itu Putri asli Bima yang lahir di Dompu. Dia keturunan Bima asli, hanya saja dia lahir dan besar di Dompu, tetapi keluarga besarnya orang asli Bima. Masalah ijazah, sebentar lagi Dinda akan Wisuda di salah satu perguruan tinggi,” tegasnya.
Dijelaskannya, bahwa IDP merupakan cucu dari Almarhum A Rahim (Dae Nggempo) asli Kelurahan Pane. Kakeknya pernah menjadi anggota BPH Bima di zaman Bupati Putra Kahir. Dae Nggempo melahirkan Ramli orangtua Lola Laswita kawin dengan keponakan Sultan Kaharuddin Dompu yang juga saudara misan Sultan Salahuddin Bima.
Kalau masalah melarang wanita sebagai imam dalam sholat kata dia, bukan berarti wanita tidak bisa memimpin negara dan daerah, sebagaimana Bupati dan Walikota. Negara Indonesia saja pernah dipimpin oleh wanita apalagi di tingkat daerah. Sudah banyak wanita yang jadi Bupati dan Walikota. Contohnya Walikota Surabaya juga seorang wanita Tri Rismaharini, padahal di Surabaya adalah pusatnya ulama-ulama besar bahkan mendunia, mereka taat pada Walikota dan berhasil membangun Surabaya.
“Perlu diketahui bahwa orang Bima saat taat terhadap pemimpinnya, baik itu wanita atau laki-laki, baik itu orang Bima maupun bukan orang Bima. Orang Jawa saja pernah memimpin Bima. Dan saya tegaskan bahwa Dinda itu asli Bima,” terangnya.
Dirinya sangat menyayangkan pernyataan Hartoyo yang mengatasnamakan akademisi. Karena menurutnya, akademisi itu orang yang cerdas, pintas dan berwawasan luas. Namun ternyata Hasanudin menilai bahwa oknum akademisi tersebut masih awam terhadap pengetahuan berpolitik dan dan tidak berwawasan tentang kenegarawan. “Perlu diketahui bahwa seorang pemimpin tidak harus berijazah setara dengan professor, doktor, maupun sarjana. Yang penting dia cakap, cerdas, berwawasan luas, dan mengenali serta menghargai siapa yang dipimpinnya,” ujarnya.
Beberapa contoh pempimpin yang ijasahnya SMP sambungnya, antara lain Adam Malik Mantan Wakil presiden RI ijazahnya setara SMP, wartawan dunia yang menjadi Menteri Penerangan Harmoko juga berijazah setara SMP, dan yang terbaru adalah menteri kelautan dan perikanan juga berijazah SMP.
“Banyak pemimpin yang sarjana, Doktor dan Profesor, tetapi banyak juga yang ditangkap KPK atau Polisi dan masuk penjara. Oleh karena itu, saudara Hartoyo selaku orang yang ada di akademisi jangan asal bunyi, belajarlah berpolitik dan tidak menjatuhkan orang lain. Kasian kepada akademisi yang lain yang paham politik, justeru rusak citranya karena oknum akademisi yang asal bicara. Boleh berpendapat, asal jangan menyudutkan orang lain,” katanya.
Menurutnya, orang Bima saja sudah banyak yang sukses di pulau Jawa, dan tidak ada orang Jawa yang keberatan. Hamdan Zoelfa orang Parado bisa jadi Ketua MK, Faruk Muhammad bisa jadi wakil ketua DPD RI orang Sape. Itu karena orang Bima ternyata sangat cakap, cerdas dan berwawasan luas. (KS-02)
Hj. Indah Damayanti Putri (IDP)
Undang-undang sudah mengatur tentang hak semua warga negara, baik itu soal memimpin, memilih dan lain sebagainya. Termasuk soal tingkatan pendidikan bagi para calon kepala daerah, sudah diatur dalam UU.
Salah satu tokoh pendidikan yang ada di Bima, H Hasanuddin Wahid yang mengetahui persis sejarah keturunan salah satu Bakal Calon Bupati Bima, Hj. Indah Damayanti Putri (IDP). Hasanudin membantah keras pernyataan salah satu akademisi pada berita koran ini edisi sebelumnya, tentang hambatan bagi impian IDP untuk memimpin Bima, lantaran IDP dikatakan bukan asli Bima, dan berijazah setara SMA.
“IDP itu Putri asli Bima yang lahir di Dompu. Dia keturunan Bima asli, hanya saja dia lahir dan besar di Dompu, tetapi keluarga besarnya orang asli Bima. Masalah ijazah, sebentar lagi Dinda akan Wisuda di salah satu perguruan tinggi,” tegasnya.
Dijelaskannya, bahwa IDP merupakan cucu dari Almarhum A Rahim (Dae Nggempo) asli Kelurahan Pane. Kakeknya pernah menjadi anggota BPH Bima di zaman Bupati Putra Kahir. Dae Nggempo melahirkan Ramli orangtua Lola Laswita kawin dengan keponakan Sultan Kaharuddin Dompu yang juga saudara misan Sultan Salahuddin Bima.
Kalau masalah melarang wanita sebagai imam dalam sholat kata dia, bukan berarti wanita tidak bisa memimpin negara dan daerah, sebagaimana Bupati dan Walikota. Negara Indonesia saja pernah dipimpin oleh wanita apalagi di tingkat daerah. Sudah banyak wanita yang jadi Bupati dan Walikota. Contohnya Walikota Surabaya juga seorang wanita Tri Rismaharini, padahal di Surabaya adalah pusatnya ulama-ulama besar bahkan mendunia, mereka taat pada Walikota dan berhasil membangun Surabaya.
“Perlu diketahui bahwa orang Bima saat taat terhadap pemimpinnya, baik itu wanita atau laki-laki, baik itu orang Bima maupun bukan orang Bima. Orang Jawa saja pernah memimpin Bima. Dan saya tegaskan bahwa Dinda itu asli Bima,” terangnya.
Dirinya sangat menyayangkan pernyataan Hartoyo yang mengatasnamakan akademisi. Karena menurutnya, akademisi itu orang yang cerdas, pintas dan berwawasan luas. Namun ternyata Hasanudin menilai bahwa oknum akademisi tersebut masih awam terhadap pengetahuan berpolitik dan dan tidak berwawasan tentang kenegarawan. “Perlu diketahui bahwa seorang pemimpin tidak harus berijazah setara dengan professor, doktor, maupun sarjana. Yang penting dia cakap, cerdas, berwawasan luas, dan mengenali serta menghargai siapa yang dipimpinnya,” ujarnya.
Beberapa contoh pempimpin yang ijasahnya SMP sambungnya, antara lain Adam Malik Mantan Wakil presiden RI ijazahnya setara SMP, wartawan dunia yang menjadi Menteri Penerangan Harmoko juga berijazah setara SMP, dan yang terbaru adalah menteri kelautan dan perikanan juga berijazah SMP.
“Banyak pemimpin yang sarjana, Doktor dan Profesor, tetapi banyak juga yang ditangkap KPK atau Polisi dan masuk penjara. Oleh karena itu, saudara Hartoyo selaku orang yang ada di akademisi jangan asal bunyi, belajarlah berpolitik dan tidak menjatuhkan orang lain. Kasian kepada akademisi yang lain yang paham politik, justeru rusak citranya karena oknum akademisi yang asal bicara. Boleh berpendapat, asal jangan menyudutkan orang lain,” katanya.
Menurutnya, orang Bima saja sudah banyak yang sukses di pulau Jawa, dan tidak ada orang Jawa yang keberatan. Hamdan Zoelfa orang Parado bisa jadi Ketua MK, Faruk Muhammad bisa jadi wakil ketua DPD RI orang Sape. Itu karena orang Bima ternyata sangat cakap, cerdas dan berwawasan luas. (KS-02)
Sah-sah saja
BalasHapus