Dalam momen peringatan Intrernasional Student Day (ISD) 17 November 2015, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Bima menggelar aksi demonstrasi
Kota Bima, KS.– Dalam momen peringatan Intrernasional Student Day (ISD) 17 November 2015, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Bima menggelar aksi demonstrasi di perempatan Lampu Merah Gunung Dua. Dalam Aksinya, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam serikat tersebut menyerukan perlawanan terhadap liberalisasi pendidikan, menuntut pencabutan UU Sisdiknas Nomor.20 Tahun 2003, UUPT nomor 12 tahun 2012 Permendikbud tahun 2014.
Selain itu, juga menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) 78 tentang pengupahan 2015, menolak masyarakat Ekonomi Asean 2015, hentikan represifitas terhadap gerakan mahasiswa dan rakyat, seret dan adili mafia-mafia KKN yang ada dalam dunia pendidikan, terakhir mereka meminta agar segera memperdakan upah buruh dan jaminan kesehatan.
Menariknya, aksi mahasiswa kali ini terkesan berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya. Bedanya, aksi yang dilakukan SMI dalam momentum ITD Kamis (19/11) itu bukan hanya menyampaikan tuntutan, melainkan juga menawarkan jalan keluar. Solusi yang ditawarkan yakni, wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan mulai dari itngkat Taman Kanak ( TK ) hingga Perguruan Tinggi (PT), laksanakan upah layak nasional dari sabang sampai merauke, reforman agrarian sejati, sita aset-aset yang menguasai hajad hidup disentralkan kenegara demi kepentingan rakyat. Disamping itu, pun ditawarkan jalan keluar agar dibangun industri nasional yang kuat dan mandiri dibawa kontrol rakyat, kesehatan gratis, ilmiah yang bisa diakses seluruh rakyat indonesia dan bangun politik alternative sebagai alat transisi ke masyarakat yang demokratis, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi dan partisipatif secara budaya.
Dalam orasinya, Korlap, Ade Irawan menyampikan, pada tahap kapitalisasi pendidikan menyisahkan beragam persoalan disemua tingkatan pendidikan. Dampaknya cukup luar biasa, masih terdapat rakyat yang tidak bisa mengenyam pendidikan dikarenakan tidak mampu membayar biaya pendidikan, seperti SPP,SKS dan uang praktik lainya. Apalagi, biaya pendidikan dibeberapa Perguruan Tinggi, termasuk yang ada di Bima (Kota dan Kabupaten) terus mengalami peningkatan setiap tahun. Sementara, mutu, kualitas pendidikan tidak diperhatikan alias terabaikan. Fakta itu terjadi dibeberapa perguruan tinggi seperti di STKIP Taman Siswa jurusan Penjaskes, PGSD, TIK, STKIP di jurusan Kimia, Fisika, IAIM Bima PGTK dan STIE Bima jurusan Managemen.”Biaya pendidikannya meningkat tiap tahun, sementara kualitas, mutu terkesan diabaikan. Artinya, mutu pendidikan seolah tidak seimbang dengan kebijakan peningkatan biaya pendidikan,” ujarnya.
Dari segi fasilitas, terdapat ketimpangan antara sekolah yang ada di Desa dan Kota, sekolah berstandar Nasional dan Standar Internasional, kampus Swasta dengan kampus Negeri. Ketimpangan dimaksud terutama menyangkut fasilitas yang tidak layak, misalnya Laboratorium, ruang belajar dan fasilitas lain sebagainya. Padahal, fasilitas teramat dibutuhkan sebagai pendukung proses pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan.”Bagaimana mau meningkatkan mutu pendidikan, sementara fasilitas tak mendukung, ini sangat tidak masuk akal,” pungkasnya. (KS-Anhar)
Selain itu, juga menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) 78 tentang pengupahan 2015, menolak masyarakat Ekonomi Asean 2015, hentikan represifitas terhadap gerakan mahasiswa dan rakyat, seret dan adili mafia-mafia KKN yang ada dalam dunia pendidikan, terakhir mereka meminta agar segera memperdakan upah buruh dan jaminan kesehatan.
Menariknya, aksi mahasiswa kali ini terkesan berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya. Bedanya, aksi yang dilakukan SMI dalam momentum ITD Kamis (19/11) itu bukan hanya menyampaikan tuntutan, melainkan juga menawarkan jalan keluar. Solusi yang ditawarkan yakni, wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan mulai dari itngkat Taman Kanak ( TK ) hingga Perguruan Tinggi (PT), laksanakan upah layak nasional dari sabang sampai merauke, reforman agrarian sejati, sita aset-aset yang menguasai hajad hidup disentralkan kenegara demi kepentingan rakyat. Disamping itu, pun ditawarkan jalan keluar agar dibangun industri nasional yang kuat dan mandiri dibawa kontrol rakyat, kesehatan gratis, ilmiah yang bisa diakses seluruh rakyat indonesia dan bangun politik alternative sebagai alat transisi ke masyarakat yang demokratis, adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi dan partisipatif secara budaya.
Dalam orasinya, Korlap, Ade Irawan menyampikan, pada tahap kapitalisasi pendidikan menyisahkan beragam persoalan disemua tingkatan pendidikan. Dampaknya cukup luar biasa, masih terdapat rakyat yang tidak bisa mengenyam pendidikan dikarenakan tidak mampu membayar biaya pendidikan, seperti SPP,SKS dan uang praktik lainya. Apalagi, biaya pendidikan dibeberapa Perguruan Tinggi, termasuk yang ada di Bima (Kota dan Kabupaten) terus mengalami peningkatan setiap tahun. Sementara, mutu, kualitas pendidikan tidak diperhatikan alias terabaikan. Fakta itu terjadi dibeberapa perguruan tinggi seperti di STKIP Taman Siswa jurusan Penjaskes, PGSD, TIK, STKIP di jurusan Kimia, Fisika, IAIM Bima PGTK dan STIE Bima jurusan Managemen.”Biaya pendidikannya meningkat tiap tahun, sementara kualitas, mutu terkesan diabaikan. Artinya, mutu pendidikan seolah tidak seimbang dengan kebijakan peningkatan biaya pendidikan,” ujarnya.
Dari segi fasilitas, terdapat ketimpangan antara sekolah yang ada di Desa dan Kota, sekolah berstandar Nasional dan Standar Internasional, kampus Swasta dengan kampus Negeri. Ketimpangan dimaksud terutama menyangkut fasilitas yang tidak layak, misalnya Laboratorium, ruang belajar dan fasilitas lain sebagainya. Padahal, fasilitas teramat dibutuhkan sebagai pendukung proses pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan.”Bagaimana mau meningkatkan mutu pendidikan, sementara fasilitas tak mendukung, ini sangat tidak masuk akal,” pungkasnya. (KS-Anhar)
COMMENTS