Oleh : Iwansyah,S.Kep.,Ns.,CWCCA. (Mantan Ketua HMI Komisariat STIKPER Gunung Sari Makassar Periode 2011-2012)
Oleh : Iwansyah,S.Kep.,Ns.,CWCCA.
(Mantan Ketua HMI Komisariat STIKPER Gunung Sari Makassar
Periode 2011-2012)
Berbagai masalah yang mengepung profesi perawat bukan gejala alami seperti gempa bumi, tetapi hasil relasi timbal balik antara tindakan manusia dan struktur sosial. Tak ada struktur sosial yang tidak melibatkan pelaku/tindakan, sebagaimana juga tidak ada tindakan yang dilakukan di luar struktur tertentu. Contohnya, baru-baru kemarin mahasiswa FK Universitas Indonesia menghina profesi perawat di acara “UI Art War 2015” jelas melibatkan pelaku yang bisa kita tunjuk dengan lugas. Akan tetapi, para pelaku itu beroperasi dalam skema yang luar biasa liciknya, yang sudah lama menjadi pola relasi untuk menghancurkan citra profesi perawat. Karena masalah profesi perawat disebabkan oleh tindakan orang-orang konkret yang profesinya hanya beberapa menit di tengah-tengah pasien dan selalu di puji oleh pemeritahan padahal di balik dari itu semua 24 jam perawat selalu ada di tengah pasien, jasa perawat yang melayani pasien selama 24 jam hanya jaminan sosial dan finansial perawat yang rendah di bandingkat profesi dokter yang hanya beberapa menit di tengah pasien tapi jaminan dan financial kedokteran yang memuaskan. Dan memang tak bisa dipungkiri ini adalah kenyataan. Gaji perawat di indonesia sangat rendah dan jaminan sosial tidak diperhatikan. Sejawat semua harus bekerja 24 jam satu hari dalam 2 atau 3 shift sedangkan pendapatan tak berimbang. Padahal mayoritas, kita adalah ujung tombak dan tulang punggung pelayanan sebuah rumah sakit. Berapa banyak kasus kesejahteraan perawat yang terjadi ditiap rumah sakit dan berapa banyak kasus gugatan keluarga pasien kepada perawat yang tak terbela. Ini tak bisa dibiarkan. Cobalah tengok perbandingan kita dengan anggota DPR disana. Lebih mulya manakah perawat dengan mereka, sementara mereka sudah berapa kali berteriak kesetaran gaji dengan Korea dan Jepang atau dengan negara lain dan mereka sudah melakukan studi banding akan hal itu padahal gaji mereka sudah sangat besar melebihi kebutuhan hidup. Kenapa kita tidak berteriak hal serupa?, sebagai perbandingan perawat indonesia yang bekerja di Kwuait mendapat gaji berkisar Rp. 10 juta s/d Rp. 14 juta perbulan, sedangkan rekan sejawat yang bekerja diindonesia maksimum hanya akan mendapat gaji Rp. 2 juta perbulan bahkan mayoritas hanya Rp. 500rb s/d Rp. 1 juta perbulan. Ini sangat jauh dari kebutuhan. Ini harus ada upaya nyata dari kita. Diantaranya ada upaya yang bisa dilakukan yaitu: tentukan standarisasi gaji perawat secara nasional dan buka selebar-lebarnya pintu eksodus besar-besaran keluar negeri bagi perawat. Ini tentu setelah perawat mengikuti uji kompetensi. Sehingga dengan standarisasi gaji perawat akan mendapatkan perlindungan gaji secara nasional dan pihak pengguna jasa tidak akan semena-mena menggaji perawat. Dan dengan eksodus maka profesi perawat akan dipandang unggul dan dibutuhkan oleh negara. Sebagaimana telah terjadi di Philipines dimana seorang dokter spesialis, pengacara, arsitek dan profesi lainnya berbondong-bondong kuliah keperawatan karena profesi ini dipandang unggul dan terhormat. Kemudian dari sisi perawat sebagai tenaga kerja yang bekerja 24 jam apakah sudah terlindungi hak-haknya?. Jawabannya pun BELUM.
Deretan kasus perawat melakukan aksi demonstrasi menunjukan perlindungan perawat sebagai tenaga kerja telah diabaikan. Ini tidak boleh dibiarkan. Kita seharusnya mempunyai bargaining position yang kuat karena perawat adalah salah satu elemen dari rakyat indonesia yang mempunyai kebebasan menyuarakan pendapat dan mendapat persamaan kedudukan dimata hukum. Dan kita juga sah untuk berserikat dan berkumpul sesuai dengan undang undang. Bukankah dalam kode etik keperawatan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan perawatan kepada masyarakat. Jadi jelas kita sebagai perawat sepakat untuk aktif bersuara kepada pemerintah untuk menaikan gaji kita. Dan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan perawatan tentu aspek kesejahteraan perawat dari segi profesi dan tenaga kerja harus terlebih dahulu diperhatikan. Inilah seharusnya menjadi renungan kita sekarang. Komunitas perawat tiap tahun terus bertambah. Ribuan perawat setiap tahun akan keluar dari akademi-akademi keperawatan dan kesarjanaan keperawatan. Kiranya kita perlu kembali meresapi semangat revolusi Florenz dalam mengibarkan bendera profesi ini. Semangat itulah yang harus kita kobarkan sekarang. Selama berpuluh tahun perawat indonesia seolah dilenakan dengan slogan-slogan profesi yang lemah lembut dan santun. Sehingga kita selalu terdiam ketika terjadi pelecehan profesi. Padahal semangat revolusi Florenz telah merobohkan stigma biara-biara yang santun dan lembut yang tergabung dalam barisannya untuk turun kelumpur-lumpur peperangan dalam peperangan. Kita seolah tidak bisa melakukan gugatan karena kita merasa profesi kita terhormat padahal Florenz telah menggugat peperangan dengan gerakan sosial. Kini saatnya kita kembali meresapi semangat revolusi Florenz agar profesi kita menjadi profesi yang bisa dibanggakan secar independent. Kini saatnya wahai sejawat sekalian. Kita bangkit membela profesi kita. Sudah saatnya kita berbenah diri. Singkirkan slogan-slogan yang menidurkan yang akhirnya menjerumuskan kita. Sekali lagi kita adalah profesi yang diakui secara hukum kenapa kita mesti minder tak percaya diri.
Heboh mengenai "penindasan profesi perawat" adalah gaduh kita tentang ketidakberdayaan organisasi profesi yang di sebut PPNI untuk menindaklanjuti segala problem social yang terjadi terhadap profesi perawat, Oleh karena itu kompleksitas masalah yang menimpa profesi perawat hari ini menjadi pekerjaan rumah bagi PPNI untuk kembali merumuskan solusi alternatif yang kontekstual terhadap problem yang terjadi yakni dengan rumusan rencana strategis maupun taktis yang efektif dan produktif. Berangkat dari evaluasi sistematis akan melahirkan konsep kritis,taktis yang sinergis terhadap platform dasar ppni sebagai organisasi yang menaungi seluruh perawat di Indonesia menjadi spirit serta ruh agar organisasi tetap eksis serta progress untuk melakukan perubahan serta pembaharuan yang signifikan bagi profesi perawat saat ini. sepertinya perawat harus segera berbenah diri merapihkan rumah sendiri dan segera menggaungkan nada yang sama dengan zaman yang kini menantang bangsa. Diantara berbagai gelombang ujian kepada negara dari dulu hingga sekarang sepertinya perawat belum juga berubah.
*Penulis iwansyah adalah Mantan Ketua Umum HMI Komisariat STIKPER Gunung Sari Makassar. (081242949477) ,bank BRI SYARI”AH (5084-01-005958-53-4, atas nama IWANSYAH) *
Memang benar, itu yg terjadi di banyak rumah sakit atau institusi kesehatan di negeri ini. Banyak perawat yg hanya di jadikan "babu" bagi profesi lain. Pemerintah hrs tegas membuat undang2 yg membela profesi keperawatan ini
BalasHapus