Nasibnya, Wanita malam penuh aroma bau minuman, punya cinta, sayang, mimpi dan cita-cita sama seperti wanita lain. Bahkan, terkadang menyadari, ingin insaf dan mengakhiri segalanya.
Kota Bima, KS.– Nasibnya, Wanita malam penuh aroma bau minuman, punya cinta, sayang, mimpi dan cita-cita sama seperti wanita lain. Bahkan, terkadang menyadari, ingin insaf dan mengakhiri segalanya. Syair lagu Alenta S.Tombing berjudul nasib wanita malam itu mengandung makna tentang suka duka perjalanan hidup para wanita malam diseputaran Kota Bima. Nasib Lonte (maaf) di bima hampir sama dengan yang ada di Kota besar lainya. Bedanya, di kota lain tersedia lokasi tertentu (lokalisasi). Sementara, di Bima justru terkesan liar, kadang di Losmen, Hotel, hingga Kos-kosan. Namun, sama-sama mencari nafkah melayani tamu pria se hidung belang. Meski, resiko yang dihadapi tergolong besar, karena harus mengorbankan segala yang dimilikinya. Termasuk, mengorbankan perasaan bahkan harga diri juga kehormatan demi mendapat uang guna menyambung hidup.
Rose (bukan nama sebenarnya), wanita berusia 29 Tahun asal Jawa, mengaku canggung dan malu-malu saat pertama kali menjalani pekerjaan itu. Apalagi, saat pertama kali melayani tamu, pria yang sebelumnya tak dikenal. Namun, rasa itu perlahan-lahan menghilang seiring berjalanya waktu. Karena tujuan utama bukan soal rasa, hati dan perasaan. Melainkan, uang guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”Bagi saya yang menekuni profesi ini, uang adalah segala-galanya. Bahkan, rela mengorbankan segala-galanya demi duit. Walau, penghasilanya hanya cukup untuk biaya makan minum dan beli mick up untuk dandan tiap malam,” ujarnya.
Diakuinya, soal penghasilan yang didapat dari pekerjaan itu tak tentu, kadang ada, kadang hanya cukup untuk kebutuhan sehari. Bahkan, kadang pula harus pulang dengan tangan hampa lantaran tak kebagian tamu. Tetapi, semua yang dialami tak sedikitpun menjadi beban pikiran, apalagi sampai harus berhenti berusaha. Praktis, selama bertahun-tahun menjalani pekerjaan itu, nyaris tak pernah merasakan suka. Sukanya, hanya karena mendapat upah usai melayani tamu. Selepas itu, yang dirasakan adalah duka. Duka karena harus mengorbankan segala-galanya, terutama hati dan perasaan.
”Sejujurnya, saya lebih banyak mengalami duka ketimbang suka. Tapi, apa hendak dikata ibarat nasi telah menjadi bubur, mau tidak mau, suka tidak suka pekerjaan ini harus saya jalani demi menyambung hidup,” tuturnya.
Tragisnya, yang dialami bukan hanya itu, tapi juga terdapat tantangan lain. Seperti, melayani tamu mulai dari usia paling muda hingga paling tua dengan karakter yang berbeda. Akan tetapi, hal itu menjadi terbiasa, tak peduli apapun resikonya. Masalahnya, kalau dipikirkan, mau dapat uang darimana, tidak kerja, tidak dapat uang, tak ada uang jelas tak makan.”Intinya, bagaimana saya bisa menyambung hidup, tak peduli apa dan bagaimana pribadi tamu yang saya layani. Walau, awalnya seh sempat trauma, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa,” terang wanita asal Jawa tersebut.(KS-03)
Rose (bukan nama sebenarnya), wanita berusia 29 Tahun asal Jawa, mengaku canggung dan malu-malu saat pertama kali menjalani pekerjaan itu. Apalagi, saat pertama kali melayani tamu, pria yang sebelumnya tak dikenal. Namun, rasa itu perlahan-lahan menghilang seiring berjalanya waktu. Karena tujuan utama bukan soal rasa, hati dan perasaan. Melainkan, uang guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”Bagi saya yang menekuni profesi ini, uang adalah segala-galanya. Bahkan, rela mengorbankan segala-galanya demi duit. Walau, penghasilanya hanya cukup untuk biaya makan minum dan beli mick up untuk dandan tiap malam,” ujarnya.
Diakuinya, soal penghasilan yang didapat dari pekerjaan itu tak tentu, kadang ada, kadang hanya cukup untuk kebutuhan sehari. Bahkan, kadang pula harus pulang dengan tangan hampa lantaran tak kebagian tamu. Tetapi, semua yang dialami tak sedikitpun menjadi beban pikiran, apalagi sampai harus berhenti berusaha. Praktis, selama bertahun-tahun menjalani pekerjaan itu, nyaris tak pernah merasakan suka. Sukanya, hanya karena mendapat upah usai melayani tamu. Selepas itu, yang dirasakan adalah duka. Duka karena harus mengorbankan segala-galanya, terutama hati dan perasaan.
”Sejujurnya, saya lebih banyak mengalami duka ketimbang suka. Tapi, apa hendak dikata ibarat nasi telah menjadi bubur, mau tidak mau, suka tidak suka pekerjaan ini harus saya jalani demi menyambung hidup,” tuturnya.
Tragisnya, yang dialami bukan hanya itu, tapi juga terdapat tantangan lain. Seperti, melayani tamu mulai dari usia paling muda hingga paling tua dengan karakter yang berbeda. Akan tetapi, hal itu menjadi terbiasa, tak peduli apapun resikonya. Masalahnya, kalau dipikirkan, mau dapat uang darimana, tidak kerja, tidak dapat uang, tak ada uang jelas tak makan.”Intinya, bagaimana saya bisa menyambung hidup, tak peduli apa dan bagaimana pribadi tamu yang saya layani. Walau, awalnya seh sempat trauma, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa,” terang wanita asal Jawa tersebut.(KS-03)
COMMENTS