Permintaan tersebut menyusul adanya tuntutan warga yang meminta ganti rugi lahan yang belum dibayar oleh pemerintah.
Bima, KS.- Anggota DPRD Kabupaten Bima, Edy Muhlis, mendesak pemerintah dan pihak perusahaan sebagai pemenang tender untuk segera menghentikan pekerjaan pembangunan jembatan Lewi Mori dan jalan dua arah di Desa Panda, Kecamatan Pali Belo Kabupaten Bima. Permintaan tersebut menyusul adanya tuntutan warga yang meminta ganti rugi lahan yang belum dibayar oleh pemerintah. “Warga mengancam akan memblokade jalan apabila lahan mereka tidak dibayar,” kata Edy Muhlis kepada wartawan, belum lama ini.
Diakuinya, warga tidak akan melepaskan lahannya, sebelum ada kepastian dan kejelasan soal uang pembebasan. Sebab, lahan warga yang terkena proyek jembatan dan jalan dua arah, yang menghubung Desa Panda dan Desa Sondo, Kecamatan Bolo itu, hingga saat ini belum diberi ganti rugi yang layak oleh pemerintah. “Pemilik lahan sudah lama mengadu ke DPRD, bahkan tuntutan mereka sudah kami sampaikan ke Eksekutif. Tapi sampai hari ini, pemerintah belum menyelesaikan persoalan itu dengan alasan APBD tidak cukup untuk mengganti rugi lahan warga,” ujarnya.
Dikatakannya, penolakan ganti rugi itu karena minimanya harga, yang diberikan oleh pemerintah kepada pemilik lahan, sehingga mereka tidak bisa membeli tanah garapan baru sebagai ganti lahan tambak mereka yang terkena di lokasi proyek.“Awalnya pemilik lahan meminta ganti rugi sebesar Rp 25 juta per are. Sementara kesanggupan pemerintah hanya Rp 3,5 juta per are,” tuturnya.
Jika pemerintah meneruskan pembangunan jalan pintas tersebut, lanjut Edy, warga mengancam akan melakukan upaya blokade jalan hingga tuntutan mereka dipenuhi. “Saya khawatir pembangunan itu akan terhambat. Untuk itu, permasalahan dengan warga itu harus segera diselesaikan, sebelum masalah ini menjadi besar,” sarannya.
Selain itu, Edy juga menyoroti pembangunan yang memakan anggaran senilai Rp 350 miliar dari APBN itu tidak memiliki kelengkapan dokumen, seperti analisis lingkungan (Amdal) dari Badan Lingkungan Hidup (BLH). “Kami heran kenapa pembangunan itu bisa dikerjakan, sementara AMDAL-nya belum ada. Padahal Amdal itu sangat penting untuk memastikan kelayakan lokasi pembangunan. Karena itu, kami sangat tidak setuju apabila pembangunan itu diteruskan,” tandasnya.
Bahkan ia sangat menyayangkan tidak transparannya pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan. Seperti tidak adanya papan informasi, peta proyek jalan dua arah dan kurangnya sosialisasi anggaran pembebasan lahan. “Karena tidak transparannya pemerintah membuat DPRD kesulitan melakukan pengawasan terhadap pembangunan jembatan dan jalan dua arah itu. Apalagi sejauh ini, pihak eksekutif tidak melakukan koordinasi dengan DPRD terkait pelaksanaan itu,” terangnya. (KS-03)
Diakuinya, warga tidak akan melepaskan lahannya, sebelum ada kepastian dan kejelasan soal uang pembebasan. Sebab, lahan warga yang terkena proyek jembatan dan jalan dua arah, yang menghubung Desa Panda dan Desa Sondo, Kecamatan Bolo itu, hingga saat ini belum diberi ganti rugi yang layak oleh pemerintah. “Pemilik lahan sudah lama mengadu ke DPRD, bahkan tuntutan mereka sudah kami sampaikan ke Eksekutif. Tapi sampai hari ini, pemerintah belum menyelesaikan persoalan itu dengan alasan APBD tidak cukup untuk mengganti rugi lahan warga,” ujarnya.
Dikatakannya, penolakan ganti rugi itu karena minimanya harga, yang diberikan oleh pemerintah kepada pemilik lahan, sehingga mereka tidak bisa membeli tanah garapan baru sebagai ganti lahan tambak mereka yang terkena di lokasi proyek.“Awalnya pemilik lahan meminta ganti rugi sebesar Rp 25 juta per are. Sementara kesanggupan pemerintah hanya Rp 3,5 juta per are,” tuturnya.
Jika pemerintah meneruskan pembangunan jalan pintas tersebut, lanjut Edy, warga mengancam akan melakukan upaya blokade jalan hingga tuntutan mereka dipenuhi. “Saya khawatir pembangunan itu akan terhambat. Untuk itu, permasalahan dengan warga itu harus segera diselesaikan, sebelum masalah ini menjadi besar,” sarannya.
Selain itu, Edy juga menyoroti pembangunan yang memakan anggaran senilai Rp 350 miliar dari APBN itu tidak memiliki kelengkapan dokumen, seperti analisis lingkungan (Amdal) dari Badan Lingkungan Hidup (BLH). “Kami heran kenapa pembangunan itu bisa dikerjakan, sementara AMDAL-nya belum ada. Padahal Amdal itu sangat penting untuk memastikan kelayakan lokasi pembangunan. Karena itu, kami sangat tidak setuju apabila pembangunan itu diteruskan,” tandasnya.
Bahkan ia sangat menyayangkan tidak transparannya pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan. Seperti tidak adanya papan informasi, peta proyek jalan dua arah dan kurangnya sosialisasi anggaran pembebasan lahan. “Karena tidak transparannya pemerintah membuat DPRD kesulitan melakukan pengawasan terhadap pembangunan jembatan dan jalan dua arah itu. Apalagi sejauh ini, pihak eksekutif tidak melakukan koordinasi dengan DPRD terkait pelaksanaan itu,” terangnya. (KS-03)
COMMENTS