Polemik tanah antara Pemerintah Kota Bima dan Ahyar Anwar semakin meluas saja.
Kota Bima, KS.- Polemik tanah antara Pemerintah Kota Bima dan Ahyar Anwar semakin meluas saja. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia pun menyatakan sikapnya dalam kasus ini. Rumornya, penguasaan sepihak yang dilakukan Walikota di atas tanah seluas 5.400 M2 Blok 70 So Amahami, Kelurahan Dara, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima ini, karena ada rencana pembangunan mega proyek yang sudah ada grand designnya.
Menurut Ahyar, saat pengambilalihan penerimaan dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari KPP Pratama Raba-Bima ke Pemkot Bima, situasi itu dimanfaatkan oleh Walikota Bima. Dimana, SPPT tanah tersebut dirubah secara sepihak.
“SPPT yang sebelumnya tertuang atas nama Saya selaku pemilik tanah, kini telah berubah namanya menjadi milik Pemerintah Kota Bima. Sejak tahun 2013 hingga sekarang, Saya tidak pernah membayar SPPT tanah itu yang biasanya saya bayar sebesar Rp1.750.000,” ungkap Anyar.
Senada dengannya, Muhajirin, SH selaku Kuasa Hukum Ahyar menjelaskan, kasus ini adalah bentuk dari sikap premanisme pemerintah terhadap rakyatnya. Dalam mengadvokasi kasus ini, berbagai lembaga negara telah menegur sikap Walikota Bima, H. Qurais H. Abidin. Mulai dari Ombusman RI, Kemendagri dan sekarang Komnas HAM menyurati Walikota untuk segera mengembalikan hak tanah atas nama Ahyar Anwar.
Kata dia, saat kliennya hendak mengurus Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik), Pemerintah Kota Bima yang dalam hal ini pihak Kelurahan Dara, dengan sengaja tidak ingin menerbitkan surat tersebut. Perbuatan pemerintah tersebut adalah perbuatan melawan hukum.
Untuk itu, sambungnya, berbagai upaya atas sikap Walikota Bima yang tidak memberikan izin kepada Lurah Dara untuk menerbitkan Sporadik tersebut telah dilaporkan ke berbagai Lembaga Negara.
“Kami sudah mengantongi jawaban dari laporan itu mulai dari Ombusman RI, Kemendagri RI dan juga surat teguran dari Komnas HAM untuk Walikota Bima,” ungkap Muhajirin yang didampingi rekannya, Al Imran, SH.
Menurutnya, dari ketiga lembaga negara tersebut, secara bersama-sama membenarkan Saudara Ahyar dan menerangkan perbuatan Walikota Bima diduga merupakan perbuatan melawan hukum. Semestinya, kata dia, Walikota Bima harus menghargai keputusan lembaga negara tingkat pusat tersebut..
“Sikap bertahan Walikota di atas kesalahannya yang telah merampas hak rakyat ini sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal. Untuk itu, kasus ini selain dituntut secara keperdataan, Kami pun akan menuntuk secara pidana,” tandasnya di kediaman Ahyar, Sabtu malam (23/7) pekan lalu itu.
Ia menambahkan, dalam surat Komnas HAM nomor 0.674/K/PMT/VI/2016 perihal Pelayanan Publik Dalam Pengadministrasian Pengurusan Tanah di Kel. Dara, Kec. Rasanae Barat, Kota Bima itu bersifat segera. Dalam surat itu, Ia tegaskan bahwa Komnas HAM mendesak Walikota Bima untuk menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman RI Cq. Kantor Perwakilan NTB sebagai implementasi kepatuhan Aparat pemerintah dalam uapaya pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, Komnas HAM mengatakan apabila Pihak Pemkot Bima keberatan dapat menggunakan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan HAM yang berlaku.
Jika Walikota pasif atas pengaduan ini, kata Muhajirin, menurut Komnas HAM, Walikot Bima telah melakukan pelanggaran HAM, khususnya merampas milik warga secara sewenang-wenang.
“Kesalahan Walikota ini jelas diatur dalam pasal 36 ayat 2 Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM jo UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” pungkas Muhajirin sembari menjelaskan isi surat dari Komnas HAM itu.
Di sisi lain, pihak Pemerintah Kota Bima yang dikonfimasi melalui Kabag Humas dan Protokoler, Ihya Ghazali mengatakan soal kasus ini pihaknya belum bisa memberikan tanggapan.
“Saya menghadap assisten I dulu, baru memberikan tanggapan atas kasus ini. Sementa ini, Pak Assisten I masih di Jambi,” kata Ihya, Rabu (27/7) di ruangannya. (KS-08)
Menurut Ahyar, saat pengambilalihan penerimaan dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari KPP Pratama Raba-Bima ke Pemkot Bima, situasi itu dimanfaatkan oleh Walikota Bima. Dimana, SPPT tanah tersebut dirubah secara sepihak.
“SPPT yang sebelumnya tertuang atas nama Saya selaku pemilik tanah, kini telah berubah namanya menjadi milik Pemerintah Kota Bima. Sejak tahun 2013 hingga sekarang, Saya tidak pernah membayar SPPT tanah itu yang biasanya saya bayar sebesar Rp1.750.000,” ungkap Anyar.
Senada dengannya, Muhajirin, SH selaku Kuasa Hukum Ahyar menjelaskan, kasus ini adalah bentuk dari sikap premanisme pemerintah terhadap rakyatnya. Dalam mengadvokasi kasus ini, berbagai lembaga negara telah menegur sikap Walikota Bima, H. Qurais H. Abidin. Mulai dari Ombusman RI, Kemendagri dan sekarang Komnas HAM menyurati Walikota untuk segera mengembalikan hak tanah atas nama Ahyar Anwar.
Kata dia, saat kliennya hendak mengurus Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik), Pemerintah Kota Bima yang dalam hal ini pihak Kelurahan Dara, dengan sengaja tidak ingin menerbitkan surat tersebut. Perbuatan pemerintah tersebut adalah perbuatan melawan hukum.
Untuk itu, sambungnya, berbagai upaya atas sikap Walikota Bima yang tidak memberikan izin kepada Lurah Dara untuk menerbitkan Sporadik tersebut telah dilaporkan ke berbagai Lembaga Negara.
“Kami sudah mengantongi jawaban dari laporan itu mulai dari Ombusman RI, Kemendagri RI dan juga surat teguran dari Komnas HAM untuk Walikota Bima,” ungkap Muhajirin yang didampingi rekannya, Al Imran, SH.
Menurutnya, dari ketiga lembaga negara tersebut, secara bersama-sama membenarkan Saudara Ahyar dan menerangkan perbuatan Walikota Bima diduga merupakan perbuatan melawan hukum. Semestinya, kata dia, Walikota Bima harus menghargai keputusan lembaga negara tingkat pusat tersebut..
“Sikap bertahan Walikota di atas kesalahannya yang telah merampas hak rakyat ini sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal. Untuk itu, kasus ini selain dituntut secara keperdataan, Kami pun akan menuntuk secara pidana,” tandasnya di kediaman Ahyar, Sabtu malam (23/7) pekan lalu itu.
Ia menambahkan, dalam surat Komnas HAM nomor 0.674/K/PMT/VI/2016 perihal Pelayanan Publik Dalam Pengadministrasian Pengurusan Tanah di Kel. Dara, Kec. Rasanae Barat, Kota Bima itu bersifat segera. Dalam surat itu, Ia tegaskan bahwa Komnas HAM mendesak Walikota Bima untuk menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman RI Cq. Kantor Perwakilan NTB sebagai implementasi kepatuhan Aparat pemerintah dalam uapaya pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, Komnas HAM mengatakan apabila Pihak Pemkot Bima keberatan dapat menggunakan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan HAM yang berlaku.
Jika Walikota pasif atas pengaduan ini, kata Muhajirin, menurut Komnas HAM, Walikot Bima telah melakukan pelanggaran HAM, khususnya merampas milik warga secara sewenang-wenang.
“Kesalahan Walikota ini jelas diatur dalam pasal 36 ayat 2 Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM jo UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” pungkas Muhajirin sembari menjelaskan isi surat dari Komnas HAM itu.
Di sisi lain, pihak Pemerintah Kota Bima yang dikonfimasi melalui Kabag Humas dan Protokoler, Ihya Ghazali mengatakan soal kasus ini pihaknya belum bisa memberikan tanggapan.
“Saya menghadap assisten I dulu, baru memberikan tanggapan atas kasus ini. Sementa ini, Pak Assisten I masih di Jambi,” kata Ihya, Rabu (27/7) di ruangannya. (KS-08)
COMMENTS