Membuka praktek bagi para dokter, seyogyanya mengandung unsur kemurnian, kesucian dan ketulusan dalam melayani warga dan memeriksa penyakit ...
Membuka praktek bagi para dokter, seyogyanya mengandung unsur kemurnian, kesucian dan ketulusan dalam melayani warga dan memeriksa penyakit yang diderita oleh masyarakat. Hal ini pun tercermin dengan warna putih-putih yang lengket pada pakaian para praktisi medis. Kekinian, kondisi itu tergeser oleh kepentian material (uang). Tak ayal, banyak para dokter yang membuka praktek dan ‘menghianati’ sumpah Hipokrates saat mereka dilantik menjadi seorang dokter yang salah satu pointnya “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan”.
Kota Bima, KS.- ‘Permainan’ praktek kedokteran yang semakin ‘mencekik’ para penderita penyakit, hal ini diungkap oleh Fahmi (35) salah seorang mantan distributor perusahaan farmasi (obat) di Kota Bima. Kata Fahmi, dalam memperdagangkan obat masing-masing perusahaan farmasi memiliki strategi pasar sendiri. Jalan singkat pun kerap dilakukan.
Dijelaskannya, obat milik perusahaan farmasi adalah obat non generik (non subsidi). Harga obat non jauh lebih mahal.
“Jika jenis paracetamol obat generik hanya Rp10 ribu per papan, jenis paracetamol obat non generik harganya bisa lebih dari Rp100 ribu di apotik. Nama jenis paracetamol ini berbeda, tapi khasiat obatnya sama saja,” katanya.
Dilanjutkannya, permainan mencari untung oleh dokter yang membuka praktek, berawal dari masing-masing perusahaan farmasi biasanya melakukan pendekatan dengan para dokter yang membuka praktek. Mereka menawarkan fee (keuntungan) dan membuat kontrak dengan dokter, asalkan obat dari perusahaan mereka menjadi resep yang akan ditebus pasien di apotik tertentu.
Dia menambahkan, resep dokter itulah yang menjadi kertas ‘sakti’ mencari keuntungan. Padahal, kata dia, dokter bisa saja memberikan obat generik yang harganya jauh lebih murah. Namun, karena ada kontrak dan komitmen fee tadi, maka seorang dokter akan memberikan resep obat merk atau keluaran perusahaan farmasi yang sudah bekerja sama dengannya.
“Seorang dokter yang sepakat dengan kontrak yang ditawarkan salah satu perusahaan farmasi, nilai feenya bervariatif. Kontrak tersebut memuat komitmen tentang resep obat yang harus diberikan kepada pasien adalah jenis obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi tersebut yang harganya jauh lebih mahal. Dalam setahun fee seorang dokter bisa meraih kocek Rp30 juta hingga Rp100 juta. Jika dokternya spesialis, maka akan lebih tinggi lagi nilai feenya,” ungkapnya, Sabtu (13/8).
Diterangkan lanjut oleh Fahmi, bagi perusahaan farmasi yang sudah ada kontrak dengan seorang dokter, akan meminta kepada dokter tersebut untuk mengarahkan para pasien agar menebus obat pada apotik yang sudah ditentukan. Dengan sistim itu, perusahaan farmasi dapat mengawasi atau menghitung jumlah resep obat yang ‘dijual’ oleh para dokter tersebut.
Selain itu, lanut Fahmi, keuntungan dokter bukan saja dari perusahaan farmasi. Dokter pun bisa mendapat keuntungan dari apotik. Kata dia, jika ada komitmen antara dokter dan apotik, dari resep dokter yang dibawa pasien ke apotik akan dikalkulasi. Dan di akhir tahun, ada pemberian fee dari manajemen apotik sesuai dengan nilai resep dokter yang masuk ke apotik tersebut.
“Kadang kala, seorang dokter yang sudah bekerja sama dengan apotik akan mengarahkan pasien untuk menebus obatnya di apotik tersebut. Tapi, banyak juga dokter yang memberikan kebebasan kepada pasien untuk menebus obat pada apotik mana saja,” imbuhnya.
Kata dia, ‘permainan’ inilah yang biasanya membuat para pasien ketika mengunjungi dokter praktek, maka biayanya selangit. Sebenarnya, jasa pemeriksaan tidak seberap. Tapi, biaya obatnya yang bisa semakin membuat penyakit pasien tambah parah.
“Sebenarnya mau periksa di dokter umum dan dokter spesialis yang membuka praktek, kalau resep dokter itu memberikan obat generik, mungkin biayanya akan murah dan terjangkau. Tapi kalau obat dari resep dokter itu yang sudah masuk ‘virus’ strategi pasar perusahaan farmasi, yah pasti mencekik para pasien. Semakin spesialis dokternya, semakin mahal pula biayanya,” ujar dia.
Dia menambahkan, kepada para pasien yang melakukan pemeriksanaan kesehatan di dokter yang membuka praktek, saat dokter memberikan resepnya agar diminta menulis merk obat yang generik.
“Banyak masyarakat yang tidak mengerti dengan banyaknya merk dan nama obat. Satu jenis obat bisa ada dua atau tiga merk obat. Oleh karena itu, saat memeriksa di dokter praktek, mintalah obat yang jenis generik, karena harganya jauh lebh murah dengan merk obat yang non generik. Khasiatnya sama saja kok,” pungkasnya.
Di sisi lain, seorang dokter muda yang diwawancara oleh Wartawan Koran Stabilitas yang enggan menuangkan namanya mengaku, kondisi yang diterangkan oleh Fahmi memang berpotensi dan mungkin kerap terjadi di Bima.
“Inikan ulah oknum. Tidak bisa digeneralisir bahwa semua dokter di Bima seperti itu. Memang, semestinya dokter dalam memberikan pelayanan kepada pasien itu gratis sesuai dengan sumpah hipokrates yang diucapkan semua dokter di dunia,” ujarnya, Minggu (14/8) kemarin.
Namun, untuk masalah obat, menurut dia, sebaiknya dalam resep dokter diberikan adalah obat yang generik yang harganya terjangkau oleh pasien karena obat tersebut sudah disubsidi oleh pemerintah.
“Kalau bisa jangan ada ‘permainan’ dengan peusahaan farmasi dan pihak apotik. Jika memang tidak ada jenis obat yang generik baru diberikan resep obat yang lain. Tapi, kadang kala ada pasien yang mampu dan cepat ingin sembuh meminta obat yang paten dan mahal,” katanya.
Ia menambahkan, bagi seorang dokter diwajibkan memberikan pelayanan dan pemeriksaan kesehatan yang setulus-tulusnya. Dilarang keras mencari keuntungan dibalik penderitaan dan penyakit yang dialami warga.
“Sebenarnya semua sudah di atur dalam kode etik kedokteran. Jika ada yang terbukti mencari keuntungan dengan jalan pintas, bisa saja izin prakteknya dicabut. Jangankan mencari keuntungan, plank tanda buka praktek saja sudah di atur, maksimal berukuran 60 x 90 cm dan tidak boleh lebih ketentuan yang ada. Itu artinya, bagi dokter yang membuka praktek, bukan uang dan keuntungan hasil prakteknya yang dikejar, tapi pelayanan dan baktinya kepada masyarakat yang harus dikedepankan,” tutup dokter muda yang aktif di salah satu organisasi keagamaan itu. (KS-08)
COMMENTS