Bima, KS.- Pulau Satonda memiliki potensi wisata yang luar biasa. Namun obyek wisata yang harusnya menjadi kebanggan Pemerintah Kabupaten B...
Bima, KS.- Pulau Satonda memiliki potensi wisata yang luar biasa. Namun obyek wisata yang harusnya menjadi kebanggan Pemerintah Kabupaten Bima tersebut, kini sudah dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Dompu. Sejak jaman kerajaan hingga tahun 1995, pulau satonda berada dalam wilayah Kabupaten Dompu.
Namun setelah adanya SK dari Gubernur NTB nomor 678 tentang kepemilikan Pulau Satonda, destinasi wisata yang sering dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara tersebut sudah menjadi milik Pemerintah Kabupaten Dompu.
Setelah mendapat informasi soal pengklaiman Pulau Satonda oleh Kabupaten Dompu, Warga Bima yang tergabung dalam lembaga Al-Kautsar bersama Tim Satonda Menggugat, mengajukan keberatan dan gugatan atas SK Gubernur tersebut. Mereka mengajukan Judicial Review SK Gubernur NTB nomor 678 tahun 1995 tentang penetapan kedudukan Pulau Satonda.
Menanggapi keinginan Bupati Dompu yang mempertahankan kepemilikan Pulau Satonda dan berpedoman pada kekuatan hukum SK tersebut, Anggota tim Satonda Menggugat Muslimin, SH kepada Koran ini mengatakan, dirinya menilau Bupati Dompu keliru, karena rendahnya pemahaman Bupati mengkaji, menelaah hirarkis perundang-undangan di Negara Repulik Indonesia ini.
“Saya sangat menghormati apa yang termuat dalam media lokal atas komentar Bupati Dompu atas pengklaiman Pulau Satonda, Namun sangat disayangkan pemahaman Bupati Dompu belum kearah hukum yang sesungguhnya. Saya berharap Bupati Dompu hormati asas hukum di pundaknya, apalagi statusnya sebagai kepala daerah yang merupakan panutan bagi masyarakat, kalau sudah diarahkan dengan pemikiran seperti itu kasihan masyarakatnya, dan perlu kita ingat, cukup pemerintah propinsi yang coba mempecundangi asas hukum dan janganlah kami diajak untuk bermain dengan permainan konyol itu,” ujarnya.
Menurtunya, SK Gubernur tidak termasuk dalam urutan hirarkis perundang-undangan Republik Indonesia dan masih dibawah Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi, Gubernur menyelesaikan sengketa wilayah bukan memutuskan pengalihan, dan bila keputusan hukum lebih rendah mengalahkan keputusan hukum yang lebih tinggi maka apa yang menjadi harapan Bupati Dompu kami tidak persoalkan.
“Karena kami sangat menghormati asas hukum yang berlaku, untuk itu Kami tidak biarkan kebodohan menjadi penyakit kepentingan yang akan turun temurun pada anak cucu kami terutama pada masyarakat yang kami cintai,” ujarnya.
UU No.69 tahun 1958 tentang pembentukan daerah tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur, dan UU no. 64 tahun 1958 tentang Pembentukan daerah tingkat II di wilayah tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa tenggara Timur sepatutnya dibatalkan dulu. Karena kedua Undang-undang tersebut bukan menjadi rujukan atas lahirnya SK Gubernur 678 tahun 1995.
Semestinya, Bupati Dompu mengajukan surat kepada Mahkamah Agung atau ke menteri dalam negeri untuk membatalkan Undang-undang tersebut dan itu sangat terhormat dari pada menenteng sehelai kertas kusut mainan anak-anak dan menjadikan sajadah tempat bersujud.
“Saya juga berharap Gubernur Nusa Tenggara Barat tidak terpaku dengan surat permohonan Bupati Dompu, kemudian berita acara penyerahan di tahun 1995 yang menjadi dasar terbitnya SK tersebut. Saat ini mata dan hati saya tetap menatap tajam pada dua sisi pemerintah. Gubernur seharusnya memanggil Bupati Bima dan Dompu serta Tim Satonda Menggugat untuk pertemuan segi tiga dalam penyelesaian masalah SK 678 Tahun 1995, bukan akhir masalah tapi sumber masalah,” jelasnya.
Yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Propinsi dan pemerintah Kabupaten Dompu, hasil telaah gubernur NTB di bulan Juli 2016 atas surat Al-Kautsar bersama Tim Satonda Menggugat, bukan sesuatu yang berarti bagi kami. Karena baik alasan Geografis, Historis dan yuridis telaah tersebut tidak mendasar.
“Kami akan tetap menempuh Judicial review ke Mahkamah Agung,” ujarnya.(KS-02)
saya sangat paham niat tim satonda menggugat, karena secara historis dan gegrafis lebih kental dengan secarah bima. inilah yang menjadi dasar perjuangan mereka. nilai ini yang harus dipertahankan bukan semata karena nilai wisatanya.
BalasHapus