Mahmud mengungkap, munculnya reaksi warga karena adanya penguasaan lahan secara personal di lahan HGU PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP).
Bima, KS.- Ada fakta lain yang terungkap saat pertemuan tim investigasi sengketa agraria Desa Oi Katupa di Kantor DPRD Kabupaten Bima, Kamis (1/9). Camat Tambora, Mahmud mengungkap, munculnya reaksi warga karena adanya penguasaan lahan secara personal di lahan HGU PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP).
Ilustrasi
“Saya tidak bisa sebut siapa yang berada dibalik semua itu. Karena memang dibeberapa lahan HGU, ada sejumlah orang yang menguasai lahan lebih dari 100 hektar,” ungkapnya.
Kata dia, perlu ditelusuri dari mana dan siapa saja yang menguasai lahan tersebut. Mereka memperolehnya dari mana, karena tidak mungkin orang bisa menguasai lahan lebih dari 100 hektar per orangnya.
“Mereka memperolehnya dari mana dengan cara apa kami tidak tahu. Ini yang menjadi perhatian serius dan harus ditelusuri,” ungkapnya.
Sementara yang diberikan oleh PT. SAKP untuk masyarakat sambungnya, 50 Hektar untuk lahan perkampungan dan 150 Hektar untuk lahan perkebunan dan pertanian. Artinya, jika hanya 200 Hektar, sementara ada beberapa orang yang menguasai lebih dari 100 hektar, maka Sanggar Agro juga pasti kekurangan lahan.
“Jadi, saya kira jelas, munculnya protes warga ini karena adanya oknum yang menguasai lahan lebih 100 hektar perorang,” ucapnya.
Mengenai masuknya PT. SAKP di Kecamatan Tambora, Mahmud mengaku tidak tahu persis kehadirannya sejak tahun 1992. Tapi yang diketahuinya, PT. SAKP muncul kembali pada tahun 2012 dan menggandeng perusahaan lain untuk bergerak dibidang perkebunan.
Kata dia, kehadiran perusahaan itu menciptakan pro dan kontra di tengah masyarakat. Pihak perusahaan dan pemerintah pun sudah menggelar sosialisasi, baik sosialisasi di Desa Oi Katupa dan Desa Kawinda Toi Kecamatan Tambora. Bahkan kegiatan sosialisasi pun pernah dilakukan di Desa Piong Kecamatan Sanggar dan beberapa kali diundang di kantor Bupati Bima.
“Sosialisasi saat itu, dijelaskan bahwa kebun warga yang sudah ditanam, tidak akan diganggu. Yang menjadi lahan garapan hanya pada lahan kosong. Warga pun sebagian besar menerima,” tuturnya.
Perkembangan selanjutnya, sambung Mahmud, PT. SAKP akhirnya menanam kayu putih lebih dari 1 juta pohon. Itupun berada pada lahan kosong, sementara kebun masyarakat belum diganggu.
Mengenai batas wilayah, juga diakuinya tidak ada persoalan. Karena sudah jelas sesuai dengan proposal pemekaran.
“Lahan Oi Katupa sekian Hektar, sementara yang masuk dalam HGU sekian Hektar. Batas wilayah dengan Desa Kawinda Toi juga sudah jelas,” ujarnya. (KS-08)
Ilustrasi
“Saya tidak bisa sebut siapa yang berada dibalik semua itu. Karena memang dibeberapa lahan HGU, ada sejumlah orang yang menguasai lahan lebih dari 100 hektar,” ungkapnya.
Kata dia, perlu ditelusuri dari mana dan siapa saja yang menguasai lahan tersebut. Mereka memperolehnya dari mana, karena tidak mungkin orang bisa menguasai lahan lebih dari 100 hektar per orangnya.
“Mereka memperolehnya dari mana dengan cara apa kami tidak tahu. Ini yang menjadi perhatian serius dan harus ditelusuri,” ungkapnya.
Sementara yang diberikan oleh PT. SAKP untuk masyarakat sambungnya, 50 Hektar untuk lahan perkampungan dan 150 Hektar untuk lahan perkebunan dan pertanian. Artinya, jika hanya 200 Hektar, sementara ada beberapa orang yang menguasai lebih dari 100 hektar, maka Sanggar Agro juga pasti kekurangan lahan.
“Jadi, saya kira jelas, munculnya protes warga ini karena adanya oknum yang menguasai lahan lebih 100 hektar perorang,” ucapnya.
Mengenai masuknya PT. SAKP di Kecamatan Tambora, Mahmud mengaku tidak tahu persis kehadirannya sejak tahun 1992. Tapi yang diketahuinya, PT. SAKP muncul kembali pada tahun 2012 dan menggandeng perusahaan lain untuk bergerak dibidang perkebunan.
Kata dia, kehadiran perusahaan itu menciptakan pro dan kontra di tengah masyarakat. Pihak perusahaan dan pemerintah pun sudah menggelar sosialisasi, baik sosialisasi di Desa Oi Katupa dan Desa Kawinda Toi Kecamatan Tambora. Bahkan kegiatan sosialisasi pun pernah dilakukan di Desa Piong Kecamatan Sanggar dan beberapa kali diundang di kantor Bupati Bima.
“Sosialisasi saat itu, dijelaskan bahwa kebun warga yang sudah ditanam, tidak akan diganggu. Yang menjadi lahan garapan hanya pada lahan kosong. Warga pun sebagian besar menerima,” tuturnya.
Perkembangan selanjutnya, sambung Mahmud, PT. SAKP akhirnya menanam kayu putih lebih dari 1 juta pohon. Itupun berada pada lahan kosong, sementara kebun masyarakat belum diganggu.
Mengenai batas wilayah, juga diakuinya tidak ada persoalan. Karena sudah jelas sesuai dengan proposal pemekaran.
“Lahan Oi Katupa sekian Hektar, sementara yang masuk dalam HGU sekian Hektar. Batas wilayah dengan Desa Kawinda Toi juga sudah jelas,” ujarnya. (KS-08)
COMMENTS