Oleh : Erham, S.H., M.H. (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta). ...
Oleh : Erham, S.H., M.H.
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta).
Akhir-akhir ini seluruh media lokal baik cetak maupun elektronik memberikan tempat untuk pemberitaan kisruh Oi Katupa dengan PT. Sanggar Agro Karya Persada (PT. SAKP). Tidak 0000000 ketinggalan juga para elit politik, akademisi, masyarakat, aktifis dan eksponen kritis lainnya juga memberikan perspektif dan merespon dengan sangat antusias. Kisruh yang hingga saat ini belum ada langkah konkret untuk menyelesaikannya telah memantik kamarahan publik. Kisruh pertanahan bukanlah persoalan baru, hampir di seluruh jagad republik indonesia persoalan yang berkaitan dengan pertanahan sesungguhnya apa yang terjadi di bima akhir-akhir ini sejatinya telah menunjukan kepada kita semua dan memperjelas belum tuntasnya persoalan politik hukum pertanahan di Indonesia. Itulah satu diantara banyak persoalan kebijakan Negara yang kerapkali kali mengudang kontroversi bahkan merugikan rakyat.
Pada gilirannya kisruh warga Oi Katupa dengan PT. Sanggar Agro Karya Persada (PT.SAKP) menjadi diskursus publik yang berujung pada instabilitas politik dan terganggunya tatanan sosial (social order). Dan anehnya lagi persoalan ini seolah dibiarkan menjadi bola liar dan menggelinding begitu hebat dan kemana arahnya. Itulah sebabnya dibutuhkan penyelesaian dengan cara-cara yang sah dan konstitusional untuk memecahkan kebuntuan dan ketegangan antara warga Oi Katupa dengan PT. Sanggar Agro Karya Persada (PT.SAKP). Kalau tidak diselesaikan dengan cara-cara yang sah dan konstitusional karena bagaimanapun apapun spekulasi yang marak disuarakan yakni kepentingan rakyat, masyarakat atau badan hukum-korporasi misalnya atau siapapun juga baik antara warga Oi Katupa dengan PT. Sanggar Agro Karya Persada (PT.SAKP) masing-masing mengklaim memilik hak atas tanah tersebut berikut berhak pula untuk pemanfaatannya. Nah, benturan kepentingan dua atau lebih orang baik antara orang perorang, masyarakat dengan badan hukum-korporasi atau negara dengan rakyat senantiasa ada jalan keluar konstitusionalnya yang ditempuh untuk menyelesaikannya. Oleh sebab itu adanya mekanisme hukum yang berfungsi menyelesaikan konflik sosial yang terjadi baik sebelum, berlangsungnya konflik maupun setelah terjadinya konflik.
Beranjak dari kisruh Oi Katupa dan PT. Sanggar Agro Karya Persada (PT.SAKP) yang bermula dari saling klaim atas status tanah dimana tanah dimaksud diklaim baik sebagai tanah wilayah administratif Desa Oi Katupa dan diatas tanah tersebut masyarakat telah menghuni dan menjadikan perkampungan/ pemukiman warga berdasarkan Peraturan Daerah berikut telah diterbitkannya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atas nama masyarakat yang terdaftar didalam Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP) maupun juga diklaim oleh PT. Sanggar Agro Karya Persada (PT.SAKP) berdasarkan sertifikat Hak Guna Usaha yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh pemerintah-in casu Badan Pertanahan Nasional. Cq. Badan Pertanahan nasional provinsi NTB dan/atau Kabupaten Bima.
Salah satu konsepsi hukum yang terpenting yang mendasari adanya prinsip hak menguasai negara dan memperhatikan fungsi sosial atas tanah pada prinsipnya merupakan tanggung jawab negara dalam arti tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Hak menguasai oleh negara harus dipahami dalam konteks kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam didalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan kepemilikan. Kendatipun tanah dikuasai oleh negara namun penguasaan negara kemudian di serahkan kepada rakyat dengan atau melalui instrumen hukum atau status alas hak atas tanah diantaranya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain (vide pasal 16 UU No.5/1960 tentang pokok-pokok agraria).
Sehubungan dengan status kepemilikkan tanah dengan atas hak yang diberikan oleh pemerintah Cq Badan Pertanahan Nasional kepada PT. Sanggar Agro Karya Persada ialah hak Hak Guna Usaha atas tanah yang berada diwilayah Kecamatan Tambora Kabupaten Bima. Persoalan kemudian muncul oleh karena diatasnya berdiri sebuah perkampungan dan pemukiman masyarakat Desa Oi Katupa berdasarkan Perda sehingga masuk wilayah hukum atau jurisdiksi Desa Oi Katupa . Dalam pada itu, oleh karena keberadaan tanah yang menjadi perhatian publik ini berada dan benturannya atau berhimpitan dengan persoalan wilayah administratif tanah yang masuk wilayah hukum Desa Oi Katupa berikut tanah tersebut dengan sendirinya juga dihuni dan dijadikan perkampungan/pemukiman masyarakat. Hanya saja memang keberadaan Desa Oi Katupa dianggap berada diatas tanah HGU yang dikeluarkan oleh pemerintah cq Badan Pertanahan Nasional secara formal keputusan tersebut masih tetap berlaku. Terlepas dari pada tanah yang diduduki oleh warga Desa Oi Katupa faktanya ditelantarkan atau tidak dimanfaatkan namun secara hukum, sepanjang instrument hukum sertifikat HGU belum dicabut maka sertifikat HGU sebagai dasar atau alas hak PT SAKP secara fomil tetap diakui dan berlaku sebagai sebuah intrumen hukum. Kendatipun ada mekanisme hukum untuk memperkarakan sertifikat HGU yang disediakan oleh tatanan hukum di indonesia melalui gugatan pembatalan di PTUN misalnya, hal itu dan/atau mekanisme hukum demikian sepertinya akan memakan waktu cukup lama. Jalan konstitusional yang dapat ditempuh dan praktis segera dapat memberikan jaminan kemanfaatan antara kedua belah pihak yang bertikai yang diingikan memberikan kemanfaatan dan saling menguntungkan (win-win solution) kepada masyarakat dan pihak PT. SAKP yang menurut hemat saya tindakan itu legal yang di kehendaki adalah cara-cara yang lebih lunak (soft) yakni pihak Pemerintah Cq.Badan Pertanahan Nasional “mencabut sertifikat HGU” dicabut untuk kepentingan umum-dengan ketentuan pencabutan itu terbatas pada lahan yang telah dikuasai atau dihuni oleh masyarakat yang telah dijadikan perkampungan dan pemukiman berikut lahan-lahan tempat masyarakat bercocok tanam artinya corak agrarisnya tetap dilindungi. Selebihnya yang tidak termasuk wilayah yang dihuni oleh masyarakat atau sebelumnya memang telah dikuasai oleh PT SAKP tetap diperuntukkan untuk lahan perkebunan PT SAKP. Disamping melalui mekanisme pencabutan, pihak PT.SAKP juga dapat mengajukan melepaskan haknya sebelum jangka waktu pengelolaan lahan tersebut berakhir kepada pihak pemerintah (vide pasal 34 huruf c UU No.5/1960 ttg Pokok-Pokok Agraria)- pihak pemerintah Cq Badan Pertanahan Nasional kemudian mengatur kembali mekanisme proses penyerahan tanah kepada Pemerintah Kabupaten Bima untuk selanjutnya diperuntukkan kepada masyarakat Desa Oi Katupa sebagaimana PERDA yang dijadikan sebagai salah satu wilayah dalam yuridiksi Desa Oi Katupa. Diluar yang dikuasai oleh warga tetap dapat diperoleh oleh pihak PT SAKP dalam rangka beraktifitas diatas lahan tersebut untuk tujuan pemanfaatan perkebunan sebagaimana izin usaha perkebunan.
Sesungguhnya kunci penyelesaian konflik Oi Katupa berada pada peran penting pihak Badan Pertanahan Nasional tegasnya adanya kemauan politik untuk menyelesaikan konflik kemasyarakatan antara warga Desa Oi Katupa dengan PT SAKP. Karena memang yang dipersoalkan dan menjadi dasar untuk menyempurnakan adanya konflik itu bermula dari adanya intrumen yang namanya Sertifikat Hak Guna Usaha yang mana HGU dikeluarkan oleh BPN. Sehingga pihak BPN juga yang berhak mencabut hal ini sejalan dengan hapusnya hak guna usaha karena dicabut untuk kepentingan umum (vide pasal 34 UU NO.5/1960). Hanya saja memang yang dikhawatirkan kemauan politik (political will) pihak pemerintah dalam hal ini BPN mengambang yang tidak kunjung menyelesaikan persoalan ini tak ayal akan memunculkan ekses negatif tentunya mengingat proses kepemilikan tanah oleh PT. SAKP berdasarkan hak guna usaha ini tidak- lah berdiri sendiri atau hal ini satu kesatuan (sine quo non) dari proses awal sehingga melahirkan sertifikat Hak Guna Usaha, izin Usaha Perkebunan (IUP) dan seterusnya menjadi dilematis keinginan untuk menyelesaikan persoalan kisruh kepemilikan atas tanah antara Warga Desa Oi Katupa dan PT. SAKP apabila ada dugaan atau disinyalir ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara pribadi dan semoga saja hal itu saya berharap tidak terjadi demikian. Namun, kekhawatiran bisa saja terjadi karena proses penerbitan sertifikat Hak Guna Usaha, izin Usaha Perkebunan (IUP) dan seterusnya tidak jarang menimbulkan permasalahan hukum-tindak pidana korupsi ini juga perlu mendapatkan perhatian secara seksama mengingat mental pejabat negeri ini juga gampang disuap hal itu sudah merupakan rahasia umum, boleh jadi ada oknum-oknum yang bermain karena memang tidak jarang korupsi di era otonomi daerah di soal izin memang banyak terjadi mankanya menurut hemat saya pihak penegak hokum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) berwenang untuk melakukan investigasi sekiranya ada oknum-oknum pihak tertentu yang bermain dalam proses penerbitan Sertifikat, izin dan seterusnya-kejahatan korupsi merugikan perekonomian negara dalam hal ini kejahatan disektor sumber daya, karena tidak sedikit juga para kepala daerah dijebloskan kepenjara dengan dugaan menyalahgunaan izin usaha dan seterusnya. Kesejahteraaan rakyat adalah hukum yang tertinggi (salus populi est suprema lex). semoga. (*)
COMMENTS