$type=carousel$sn=0$cols=4$va=0$count=5$show=home


Desa Lumpang,Kabupaten Bogor,Penggunaan Dana ADD<>DD Sudah Ter-Arah!!!

JAKARTA, KS.- UU Desa sejatinya memberikan ruang bagi masyarakat desa untuk melaksanakan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan mereka...


JAKARTA, KS.- UU Desa sejatinya memberikan ruang bagi masyarakat desa untuk melaksanakan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan mereka dengan daya dan kreativitas yang mereka miliki. Oleh karena itu, pemerintah harus mengelola serius momentum UU Desa ini, jangan terlena soal keuangan semata sehingga menjadi pragmatis.

Pemerintah harus menyiapkan cetak biru arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang berikut indikator kesuksesan yang jelas dan terukur. Pun, pemerintah harus mampu menyosialisasikan dan memberikan pemahaman soal cetak biru itu ke seluruh desa di seluruh pelosok Indonesia. Keberpihakan anggaran untuk desa sebagaimana disebutkan haruslah menjadi stimulus bagi pemerintah desa untuk menyejahterakan masyarakat dan menggerakkan pembangunan di desa. Untuk mewujudkan hal itu, langkah-langkah taktis strategis perlu dilakukan.

Salah satu Desa di Kabupaten Bogor, yaitu Desa Lumpang, Kecamatan Parungpanjang, Kabupatemn Bogor, telah melakukan dan menggunakan dana Alokasi Dana Desa (ADD) dan alokasi Dana Desa (DD) secara terarah dan professional tanpa penyimpangan?

Pertama, mutlak disiapkan sumber daya pengelolaan keuangan desa yang andal. Pelatihan, pendampingan, dan penguatan kapasitas tenaga manajerial dan administrasi desa harus dilakukan berkesinambungan, sistematis, dan terarah. Kunci keberhasilan pengelolaan dana desa ada pada pendampingan dan untuk itu, dalam catatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dibutuhkan lebih dari 35.000 pendamping desa, di mana setiap petugas diproyeksikan mendampingi 3-4 desa dengan total dana yang dibutuhkan untuk rekrutmen Rp 1,6 triliun-Rp 1,9 triliun. Sistem manajemen keuangan desa harus didesain sedemikian rupa yang menjamin transparansi dan akuntabilitas, termasuk dengan memanfaatkan fasilitas teknologi informasi terapan.


Kedua, instrumen pembinaan dan pengawasan harus bekerja efektif sejalan dengan semakin kuatnya kapasitas aparatur desa, khususnya berkaitan dengan pengelolaan dana desa. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, pada tahun pertama dan kedua diharapkan pemerintah dan penegak hukum jangan terlalu kaku dalam menerapkan pengawasan dan penegakan hukum, harus ada langkah persuasif jika pelanggaran sifatnya administratif.

Ketiga, perlu penguatan peran serta masyarakat agar UU Desa menjadi berkah bagi seluruh masyarakat desa. Peran-peran mereka sejatinya telah diintroduksi dalam UU-salah satunya melalui mekanisme musyawarah desa-hanya saja dalam pelaksanaanya perlu dorongan yang lebih kuat dari berbagai pihak agar deliberasi partisipasi publik semakin bermakna. Semua pihak, masyarakat pada umumnya, akademisi, praktisi, dan kalangan masyarakat sipil (LSM) yang memiliki kepedulian terhadap pembangunan desa, harus bergandengan tangan dan bersinergi turut mengawal pelaksanaan UU Desa serta dalam memperkuat kapasitas desa dalam mengimplementasikannya. Hal ini di sampaikan ketua RT03, Sumar, Desa Lumpang, Kecamatan Parungpanjang, Kabupaten Bogor, yang juga tim penyuluh dana desa Lumpang, menambahkan;

Berkenaan dengan itu, DPD sebagai wakil/representasi daerah sangat antusias bersinergi dengan semua pemangku kepentingan pembangunan desa. DPD telah mengerahkan semua anggotanya agar aktif memonitor pengelolaan dana desa yang ada di daerahnya masing-masing, apa kendala-kendala lapangan yang dihadapi pemda dan desa, serta masukan konstruktif untuk memperbaikinya. Selain itu, melalui alat kelengkapan (Komite I dan Badan Akuntabilitas Publik), DPD juga aktif melakukan pengawasan dan penindaklanjutan pengaduan dalam konteks pelaksanaan UU Desa. Dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan yang efektif, diharapkan UU Desa benar-benar menjadi berkah, bukan bencana. Demikian Sumar memaparkan.

Pendampingan

Dalam diskusi para pihak di berbagai ruang dan tempat, pendampingan desa berpijak kepada dua argumen dan tujuan. Pertama, pendampingan desa merupakan tindakan meningkatkan kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan kemasyarakatan. Kedua, banyak pihak khawatir dana desa yang diamanatkan UU desa tak efektif dan berpotensi menimbulkan korupsi besar-besaran oleh kepala desa. Karena itu, pendampingan desa merupakan tindakan untuk mengawal efektivitas dan akuntabilitas dana desa.

Kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas harus menjadi perhatian serius dalam pendampingan desa. Tetapi, pengutamaan ketiga aspek itu bisa membuat pendampingan, seperti halnya pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan, terjebak pada apa yang disebut James Ferguson (1990) sebagai “mesin anti politik”. Dalam The Anti-Politics Machine: Development, Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho, Ferguson menunjukkan pembangunan sebagai nilai utama telah gagal membawa kesejahteraan rakyat. Mengapa?

Pembangunan adalah instrumen teknis, proyek dan industri yang anti politik. Di satu sisi, pembangunan adalah instrumen representasi ekonomi dan rekayasa sosial yang mengabaikan representasi politik. Depolitisasi dilakukan dengan mengabaikan realitas dan aspirasi politik, menyingkirkan rakyat dari politik, sekaligus menggiring mereka sibuk dalam dunia sosial dan ekonomi. Di sisi lain pembangunan dirancang canggih oleh teknokrat dan dijalankan oleh birokrat untuk ekspansi kekuasaan birokrasi negara. Dengan demikian, mesin anti politik mengandung depolitisasi (kebijakan, pembangunan dan rakyat) dan ekspansi kontrol birokrasi negara.

Melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, tahun ini pemerintah akan menambah 26.000 pendamping lokal desa. Salah satu tugas pendamping ini adalah mendampingi desa dalam mengelola dana desa. Jadi, kekhawatiran dana desa dikorupsi tidak perlu berlebihan dengan memasang terlalu banyak aturan dan prosedur berbelit yang justru dapat menjerat aparat desa dan menjadi kontraproduktif.


Pendampingan desa bukan perkara proyek dan teknis-manajerial yang anti politik, tetapi harus mengandung politik. Propolitik bukan dalam pengertian mesin politik, tetapi pendampingan desa harus mengandung jalan ideologis sesuai dengan UU desa, representasi politik, serta pemberdayaan, dan edukasi politik.

Pertama, pendampingan desa jangan terjebak pada proyek, tetapi harus menjadi jalan ideologis memuliakan dan memperkuat desa, termasuk mewujudkan idealisme Nawacita di ranah desa, dengan spirit “Desa Membangun Indonesia”. Kami menjabarkan gagasan ini dengan menegaskan bahwa pendampingan desa bukan sekadar berurusan dengan kapasitas dan efektivitas, tetapi hendak mempromosikan desa sebagai “masyarakat berpemerintahan” (self governing community) yang maju, kuat, mandiri, dan demokratis.

Kedua, pendampingan merupakan jalan perubahan yang mengandung repolitisasi rakyat. Repolitisasi ini bukan membuat rakyat menjadi mesin politik atau mobilisasi partisipasi, tetapi memperkuat representasi politik rakyat agar punya kesadaran kritis dalam dunia politik dan berdaulat dalam hak dan kepentingan mereka. Salah satu indikator kesadaran kritis adalah tumbuhnya sikap dan tindakan orang desa menolak (anti) politik uang.

Ketiga, pendampingan tak ditempuh dengan pembinaan (power over) melainkan pemberdayaan (empowerment). Pembinaan adalah pendekatan dari atas yang menumbuhkan mentalitas memerintah, kontrol, dan ekspansi birokrasi terhadap desa dan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan adalah pendekatan untuk memperkuat desa dan rakyat secara sosial, budaya, ekonomi, politik.

Keempat, setiap aktivitas desa (musyawarah desa, perencanaan dan penganggaran, pemilihan kepala desa, dan sebagainya), yang memperoleh sentuhan pendampingan, tak boleh terjebak pada penggunaan alat dan menghasilkan dokumen semata tanpa ada sentuhan filosofis (roh). Pendampingan terhadap seluruh aktivitas desa harus disertai edukasi sosial dan politik secara inklusif dan partisipatoris. Dalam perencanaan desa, misalnya tak hanya berhenti pada penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan jadi agenda proyek.


Di balik perencanaan desa ada pembelajaran bagi orang desa membangun impian kolektif dan mandiri mengambil keputusan politik. Demikian juga sistem informasi desa (SID) yang kaya data, aplikasi dan disertai jaringanonline. SID tak hanya alat dan teknologi. Di balik SID ada pembelajaran bagi orang desa untuk membangun kesadaran kritis terhadap diri mereka sendiri sekaligus memperkuat representasi hak dan kepentingan rakyat.

Peran Pemerintah

Sejalan dengan rekognisi dan penyerahan kewenangan yang diberikan kepada desa, pemerintah seyogianya tidak ikut campur terlalu jauh atas pengelolaan dana desa. Penggunaan dana desa merupakan hak dan kewenangan desa. Dana desa digunakan oleh desa sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Karena ketiganya disusun sendiri oleh desa (pemerintahan dan masyarakat desa), cara paling efektif dalam pengawasan implementasinya adalah oleh desa itu sendiri, dalam hal ini masyarakat desa.


Secara ekstrem, pertanggungjawaban dana yang bersumber dari APBN ini sejatinya cukup dilakukan dengan bukti yang menunjukkan dana telah masuk ke rekening kas desa (RKD). Selanjutnya, merupakan kewenangan desa. Dari sisi sistem pengelolaan keuangan negara, secara teknis ini mudah dilakukan dengan memperlakukan dana itu sebagai anggaran dalam kelompok mata anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial. Dengan memperlakukan dana desa sebagai bantuan sosial, urusan selesai begitu dana diterima desa, dan tak ada aparat desa terjerat korupsi.

Memang, kita tentu ingin agar anggaran yang sebenarnya relatif tidak terlalu besar itu—tahun ini Rp 20,7 triliun untuk 74,093 desa dibandingkan APBN-P 2015 sekitar Rp 2.000 triliun—dapat digunakan secara efektif menyejahterakan rakyat sesuai tujuan UU Desa. Untuk efisiensi dan efektivitas serta dalam rangka mendukung program dan kepentingan nasional, pemerintah bisa saja memberikan arahan dan rambu-rambu penggunaan dan pengelolaan dana desa sepanjang tak bertentangan dengan napas kewenangan yang telah diberikan kepada desa.


Menurut Sumar, menjelaskan, Sejumlah aturan yang telah diterbitkan dalam rangka pengelolaan dana desa dapat dianggap lebih dari cukup untuk memastikan dana tersebut dimanfaatkan dengan baik dan benar. Aturan itu meliputi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2015 yang direvisi dari PP No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yangbersumber dari APBN,Permen Desa No 3 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2015, serta Permen Keuangan No 93 Tahun 2015 tentang tata cara pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pemantauan, dan evaluasi dana desa. Ujung dari semua aturan itu adalah peraturan bupati/wali kota kabupaten/kota masing-masing mengenai tata cara pembagian dan penetapan rincian dana desa setiap desa, ungkapnya.

Dana dapat diselewengkan oknum. Namun, di desa ada masyarakat yang dapat melihat, menilai, melapor. Masyarakat pemilik dana itu yang sebelumnya bersama menyusun APB Desa. Pengelolaan dana sesungguhnya bukan barang asing bagi desa. Bahkan, kelompok masyarakat, melalui Badan Keswadayaan Masyarakat, dan Unit Pengelola Kegiatan sudahbiasa mengelola bantuan langsung masyarakat. Serupa dengan dana desa, selama ini juga telah ada ADD yang disalurkan langsung ke desa.

Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah menyentuh 67.108 desa, masyarakat desa telah dikenalkan ke akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana, termasuk tentang pentingnya menempelkan fotokopi rekening dan rincian penggunaan dana di papan informasi. Menurut catatan, sekarang di desa masih ada 13.000-an fasilitator PNPM Mandiri (nanti akan bernama pendamping) yang melakukan pendampingan.

Ibarat makan buah simalakama, dana desa ini mengandung banyak konsekuensi, baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, perlu modal sosial yang kuat dan aparat desa yang mumpuni.

Faktanya, modal sosial yang ada di masyarakat sekarang ini cenderung menurun. Setidaknya jika dilihat dari kegiatan gotong royong di desa yang turun lima persen. Semula, tahun 2003 desa yang rutin melakukan kegiatan gotong royong sebesar 94 persen. Angka ini turun menjadi 89 persen pada 2011.

Padahal, modal sosial ini sangat diperlukan untuk melaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Dalam musrenbangdes tersebut, masyarakat desa terlibat aktif menyusun perencanaan pembangunan di desanya, kemudian bersama-sama melaksanakan hasil perencanaan tersebut.

Aparat desa yang mumpuni masih terbatas. Selama ini, hanya sedikit desa yang memiliki pendapatan dalam jumlah ”besar”. Mayoritas hanya mengelola puluhan hingga ratusan juta rupiah per tahun. Data Potensi Desa 2011 menunjukkan, rata-rata pendapatan per desa secara nasional tahun 2010 sebesar Rp 254 juta. Setidaknya penghasilan tujuh dari setiap sepuluh desa di Indonesia di bawah rata-rata nasional.

Adapun dari sisi eksternal, persoalan desa, di antaranya, sampai saat ini belum ada data yang pasti dari kementerian yang memiliki program di tingkat desa. Ada dugaan, konsolidasi fiskal dengan menyinergikan program kementerian belum bisa terwujud.

Hal ini terlihat dari dana desa yang tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 9,1 triliun diambil dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Selama ini, dana PNPM dari sisi program ada di proyek-proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri. Artinya, ini tidak terlalu berpengaruh terhadap pembangunan desa karena selama ini program-program itu memang sudah dilaksanakan di desa.

Pendampingan dan sosialisasi dari pemerintah kabupaten dan pusat untuk mengelola dana ini belum terlihat signifikan. Padahal, banyak aparat desa membutuhkan penguatan keahlian dan transfer pengetahuan supaya tidak terjerat hukum.

Sistem pertanggungjawabannya pun belum jelas. Setiap uang negara yang diperoleh ataupun dibelanjakan harus dipertanggungjawabkan. Namun, mengaudit 72.944 desa jelas memberatkan Badan Pemeriksa Keuangan yang personelnya terbatas.

Seperti halnya pada waktu digaungkan UU Otonomi Daerah tahun 1999, kondisi saat ini pun mirip dengan kesiapan daerah pada saat itu. Pada akhirnya, masa transisi ini mesti dijalani dengan hati-hati supaya tidak menjadi bumerang bagi desa. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, bisa jadi malah hukuman penjara yang didapat para pengelola dana desa.

Peran Perempuan


Sejak dahulu kala, desa selalu menjadi penyumbang kemiskinan terbesar di Republik ini. Pada tahun 1976, jumlah penduduk miskin di desa mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Pada tahun 2012, sebanyak 63,45 persen orang miskin di Indonesia tinggal di pedesaan.

Situasi tersebut juga sangat berdampak pada perempuan. Perempuan desa sangat rentan terhadap dampak kemiskinan itu. Ada beberapa faktor sosial dan ekonomi-politik yang menyebabkan perempuan rentan dengan kemiskinan.

Pertama, penyingkiran perempuan dari lapangan produksi, terutama di sektor pertanian. Kebijakan neoliberal melalui liberalisasi investasi dan liberalisasi impor pangan berkontribusi besar dalam penghancuran sektor pertanian. Liberalisasi investasi memicu perampasan lahan milik petani. Akibatnya, banyak petani dan keluarganya kehilangan terhadap akses berproduksi. Pada gilirannya, banyak perempuan yang terpaksa berperan sebagai ‘pencari nafkah’ untuk keluarganya dengan bekerja di kota atau menjadi buruh migran di luar negeri.

Kebijakan neoliberal, yang bertumpu pada pertumbuhan, tidak menghitung kontribusi produksi sekala kecil atau pertanian subsisten. Akibatnya, perempuan yang menjalankan produksi pangan subsisten tergusur. Banyak kebutuhan pangan, seperti cabai, tomat, kedele, dan lain-lain, diperoleh dari perusahaan agro-bisnis, bukan lagi dari tangan produsen perempuan.

Kedua, kaum perempuan di desa kurang mengakses sarana yang berhubungan dengan pengembangan kapasitas dirinya, terutama lembaga pendidikan dan keterampilan. Akibatnya, perempuan kurang mandiri secara ekonomi. Mereka sebagian besar disibukkan dengan urusan domestik keluarganya. Akhirnya, ketika perempuan dipaksa oleh keadaan untuk bekerja, maka lapangan pekerjaan yang dimasuki pun berhubungan dengan urusan domestik: pembantu rumah tangga, perawat bayi dan lansia.

Ketiga, susunan sosial masyarakat desa yang cenderung patriarkat, yang masih menempatkan kaum perempuan tetap berada diwilayah domestik keluarga, menghambat kaum perempuan untuk tampil leluasa di ruang publik. Akibatnya, kaum perempuan kurang berperan dalam perumusan kebijakan politik desa. Yang sering kita lihat, proses politik desa lebih banyak didominasi oleh tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama—yang notabene banyak didominasi oleh laki-laki,papar Sumar, yang juga sebgai ketua RT terbaik tingkat Kabupaten Bogor dalam bidang innovator dan kreatif tersebut.

Padahal, untuk mengembangkan dirinya, perempuan harus turut menentukan kebijakan politik yang menyangkut diri dan kehidupannya, sebagai upaya untuk mengubah ekonomi dan sosial agar lebih setara. Tidak dapat ditampik, bahwa untuk menuju masyarakat yang adil harus disertai dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi didalamnya.


Sinergi Program

Dana desa seperti yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 diharapkan mampu menjawab permasalahan ini. Tujuan utama dana desa tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Prioritasnya pada pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Ide awal UU Desa ini timbul dari keyakinan para pembentuk UU untuk menyinergikan program berbasis desa yang tersebar di kementerian sektoral. Selama ini, ego sektoral di setiap kementerian cukup kuat dan menjadi penghambat sinergi.

Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih program. Satu program dilakukan oleh beberapa kementerian. Misalnya, program bantuan usaha kecil menengah (UKM). Ada 17 kementerian yang memiliki program pemberdayaan UKM. Program ini menjadi dalih bagi partai politik untuk bertemu dengan konstituennya sehingga muncul indikasi anggaran negara menjadi ”bancakan” bagi kegiatan menteri yang berasal dari partai politik.

Dalam UU Desa disebutkan, anggaran untuk dana desa sebesar 10 persen berasal dari dana transfer daerah. Namun, dalam masa transisi selama dua tahun persentase dana desa tersebut diberikan secara bertahap, disesuaikan dengan kondisi keuangan negara. Anggarannya diperoleh dari realokasi belanja kementerian yang memiliki program berbasis desa.

Dalam buku Why Nations Fail, Daron Acemoglu dan James Robinson (2012) menuliskan bahwa terdapat dua syarat untuk menciptakan negara yang sejahtera, pertama ekonomi dan politik yang inklusif, kedua Pemerintahan yang memiliki perencanaan yang terpusat. Terkait syarat kedua, dimaksudkan bahwa dalam menunjang pembangunan ekonomi, Pemerintah tetap harus memiliki kekuasaan yang terpusat, karena Pemerintah harus melakukan perencanaan pembangunan, redistribusi pendapatan, penciptaan peraturan serta penyediaan layanan publik.

Ketentuan UU Desa dikhawatirkan akan menyebabkan semakin tersebarnya kekuasaan hingga titik terkecil di Indonesia. Tersebasarnya kekuasaan tersebut, akan menyebabkan harmonisasi kebijakan pembangunan akan semakin sulit, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, penting agar Presiden mampu mengawal implementasi UU ini, agar keterikatan pembangunan dapat tetap tercapai…

(Penulis : Fathullah S. Dongg,Mkom, adalah penggiat LSM Komite Anti Korupsi Indonesia (LSM KAKI),CEO & Founder Media Stabilitas Group)

COMMENTS

BLOGGER




Nama

Featured,1619,Hukum Kriminal,2143,Kesehatan,387,Korupsi,751,Olahraga,236,Opini,134,Pemerintahan,1560,Pendidikan,832,Politik,1270,Sosial Ekonomi,2601,
ltr
item
Koran Stabilitas: Desa Lumpang,Kabupaten Bogor,Penggunaan Dana ADD<>DD Sudah Ter-Arah!!!
Desa Lumpang,Kabupaten Bogor,Penggunaan Dana ADD<>DD Sudah Ter-Arah!!!
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifRARhgjXbcwDhLHCLKmqUpo09k6LCLzmc0CX9V2prlEgpsOIKJzGRL9u0IsFlGNRcKxzav5U2YVzyd-oOthE2h3vjEGaxTi8cpQZ5Cl-Ao7yakC2bhRSoyvf6VIe8YQy20GrZ3JbaL0w/s640/ADD+1.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifRARhgjXbcwDhLHCLKmqUpo09k6LCLzmc0CX9V2prlEgpsOIKJzGRL9u0IsFlGNRcKxzav5U2YVzyd-oOthE2h3vjEGaxTi8cpQZ5Cl-Ao7yakC2bhRSoyvf6VIe8YQy20GrZ3JbaL0w/s72-c/ADD+1.jpg
Koran Stabilitas
https://www.koranstabilitas.com/2017/02/desa-lumpangkabupaten-bogorpenggunaan.html
https://www.koranstabilitas.com/
https://www.koranstabilitas.com/
https://www.koranstabilitas.com/2017/02/desa-lumpangkabupaten-bogorpenggunaan.html
true
8582696224840651461
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share. STEP 2: Click the link you shared to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy