Terdapat sejumlah pasal undang-undang internal TNI maupun Polri melarang anggotanya berpolitik. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TN...
Terdapat sejumlah pasal undang-undang internal TNI maupun Polri melarang anggotanya berpolitik. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur larangan prajurit terlibat dalam kegiatan politik praktis. Undang-Undang Polri Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengharuskan polisi netral dalam kehidupan politik dan tak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Tak hanya itu Pasal 28 Undang-Undang Polri Nomor 8 Tahun 2002 jelas mencantumkan polisi dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mundur atau pensiun dari dinasnya.
BIMA, KS.- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pantas menolak usulan mengenai polisi dan tentara aktif berhak menjadi peserta pemilihan kepala daerah tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya di TNI dan Kepolisian RI. Ketentuan ini akan bertolak belakang dengan Undang-Undang tentang TNI maupun Undang-Undang tentang Kepolisian RI. “terang Ketua Panwas Kota Bima, Sukarman,SH kepada Wartawan Koran Stabilitas Selasa (2/1) sore kemarin.
Bila Polri dan TNI telribat politik praktis, berarti telah terjadi pengingkaran reformasi. Masalahnya, kita menoleh ke belakang mengenai historis reformasi Tahun 1998. Dimana keterlibatan militer dan polisi secara langsung di dalam kehidupan politik praktis pernah terjadi pada masa rezim pemerintahan Orde Baru. Di masa itu, rezim otoritarian Soeharto melakukan politisasi militer dan polisi yang dulu berada dalam satu atap bernama ABRI untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaannya.
“Alhasil, peran dan fungsi ABRI di masa Orde Baru lebih banyak terlihat kiprahnya pada kehidupan politik praktis,”jelasnya.
Lanjutnya, ABRI menduduki jabatan-jabatan strategis, seperti menteri, gubernur, bupati, serta berada di dalam parlemen. ABRI juga melakukan kontrol terhadap proses politik pergantian kekuasaan melalui pemilihan umum (pemilu). Dalam setiap proses pemilu, ABRI terjun langsung mengawasi dan mengintervensi proses pemilu.
Upaya untuk mengeluarkan ABRI dalam kehidupan politik praktis bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh waktu tiga puluh dua tahun bagi masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk mengembalikan militer dan polisi (dulu ABRI) pada peran dan fungsi yang semestinya. Para mahasiswa di era Orde Baru menyuarakan dan mendesak militer agar kembali ke barak dan tidak lagi berpolitik.
“Bahkan, upaya mencabut doktrin Dwi Fungsi ABRI yang menjadi doktrin berpolitik ABRI mengakibatkan terjadinya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang memakan korban jiwa,” lanjutnya.
Secara politik, pencabutan doktrin Dwi Fungsi ABRI yang diikuti dengan larangan bagi militer untuk berpolitik tentu menjadi hawa segar bagi kehidupan politik di masa reformasi ini. Dinamika politik di Indonesia di masa kini tidak lagi di dominasi militer sebagaimana pernah di alami pada masa Orde Baru.
Dalam konteks itu, ide di dalam pembahasan revisi UU Pilkada di parlemen yang memperbolehkan anggota militer dan polisi tidak pensiun ketika maju menjadi kandidat dalam pilkada adalah bentuk pengingkaran atas perjuangan reformasi dan perjuangan demokrasi itu sendiri.
“Kehendak untuk memasukkan ide itu dalam revisi UU Pilkada sangat memprihatinkan dan akan menjadi ancaman serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia,”imbuhnya.
Selanjutnya, Dalam negara demokrasi, para elite sipil seharusnya tidak mencoba-coba menarik kembali militer dan polisi dalam kehidupan politik praktis. Para elite sipil sudah seharusnya menempatkan militer dan polisi tetap dalam fungsi dan peran aslinya, di mana militer berfungsi sebagai alat pertahanan negara dan polisi adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Gagasan yang memperbolehkan anggota militer dan polisi maju menjadi kandidat pilkada tanpa harus pensiun dan mengundurkan diri adalah gagasan yang bertentangan dengan UU TNI No 34/2004 dan juga UU Polri No 2/2002. Di dalam UU TNI No 34/2004, Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 47 Ayat 1 disebutkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.
“Sementara UU Polri No 2/2002 di dalam Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 28 Ayat 3 UU Polri No 2/2002 menyebutkan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”,” pungkasnya.
Penting untuk diingat, anggota TNI dan Polri memiliki jiwa esprit de corps dan struktur hierarki yang komando sehingga sepanjang mereka masih berstatus sebagai anggota TNI ataupun Polri, maka akan potensial mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan(abuse of power)demi memenangi pilkada yang diikuti kandidat dari TNI dan Polri. Hal ini akan membuka kemungkinan terjadinya pengerahan kekuatan militer ataupun polisi untuk memenangi pilkada.
Lebih jauh dari itu, baik anggota TNI maupun Polri keduanya sama-sama memiliki kewenangan koersif dan menggunakan senjata sehingga menjadi berbahaya bagi kondisi keamanan jika di antara mereka terlibat dalam kontestasi di pilkada.
“Hal ini tentu akan berpotensi memunculkan konflik di antara kedua institusi tersebut jika kandidat dari keduanya sama-sama maju dalam pilkada, ataupun konflik dengan masyarakat akibat dukung-mendukung antarcalon dari setiap anggota institusi TNI/Polri dalam pilkada,”tandasnya.
Netralitas anggota Polri dan anggota TNI yang diperbantukan menjaga dan mengamankan politik pilkada juga akan terganggu akibat diperbolehkannya calon kandidat yang berasal dari anggota militer aktif dan polisi aktif dalam pilkada.
“Tentu bagi anggota Polri dan anggota TNI yang diperbantukan tugas mengamankan pilkada sulit bersikap netral ketika kandidat yang maju adalah berasal dari TNI ataupun Polri yang masih aktif. Di sini, kestabilan politik dan keamanan di daerah potensial menjadi rawan,”kata Sukarman mengakhiri komentarnya.(KS-Raf)
BIMA, KS.- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pantas menolak usulan mengenai polisi dan tentara aktif berhak menjadi peserta pemilihan kepala daerah tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya di TNI dan Kepolisian RI. Ketentuan ini akan bertolak belakang dengan Undang-Undang tentang TNI maupun Undang-Undang tentang Kepolisian RI. “terang Ketua Panwas Kota Bima, Sukarman,SH kepada Wartawan Koran Stabilitas Selasa (2/1) sore kemarin.
Bila Polri dan TNI telribat politik praktis, berarti telah terjadi pengingkaran reformasi. Masalahnya, kita menoleh ke belakang mengenai historis reformasi Tahun 1998. Dimana keterlibatan militer dan polisi secara langsung di dalam kehidupan politik praktis pernah terjadi pada masa rezim pemerintahan Orde Baru. Di masa itu, rezim otoritarian Soeharto melakukan politisasi militer dan polisi yang dulu berada dalam satu atap bernama ABRI untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaannya.
“Alhasil, peran dan fungsi ABRI di masa Orde Baru lebih banyak terlihat kiprahnya pada kehidupan politik praktis,”jelasnya.
Lanjutnya, ABRI menduduki jabatan-jabatan strategis, seperti menteri, gubernur, bupati, serta berada di dalam parlemen. ABRI juga melakukan kontrol terhadap proses politik pergantian kekuasaan melalui pemilihan umum (pemilu). Dalam setiap proses pemilu, ABRI terjun langsung mengawasi dan mengintervensi proses pemilu.
Upaya untuk mengeluarkan ABRI dalam kehidupan politik praktis bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh waktu tiga puluh dua tahun bagi masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk mengembalikan militer dan polisi (dulu ABRI) pada peran dan fungsi yang semestinya. Para mahasiswa di era Orde Baru menyuarakan dan mendesak militer agar kembali ke barak dan tidak lagi berpolitik.
“Bahkan, upaya mencabut doktrin Dwi Fungsi ABRI yang menjadi doktrin berpolitik ABRI mengakibatkan terjadinya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang memakan korban jiwa,” lanjutnya.
Secara politik, pencabutan doktrin Dwi Fungsi ABRI yang diikuti dengan larangan bagi militer untuk berpolitik tentu menjadi hawa segar bagi kehidupan politik di masa reformasi ini. Dinamika politik di Indonesia di masa kini tidak lagi di dominasi militer sebagaimana pernah di alami pada masa Orde Baru.
Dalam konteks itu, ide di dalam pembahasan revisi UU Pilkada di parlemen yang memperbolehkan anggota militer dan polisi tidak pensiun ketika maju menjadi kandidat dalam pilkada adalah bentuk pengingkaran atas perjuangan reformasi dan perjuangan demokrasi itu sendiri.
“Kehendak untuk memasukkan ide itu dalam revisi UU Pilkada sangat memprihatinkan dan akan menjadi ancaman serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia,”imbuhnya.
Selanjutnya, Dalam negara demokrasi, para elite sipil seharusnya tidak mencoba-coba menarik kembali militer dan polisi dalam kehidupan politik praktis. Para elite sipil sudah seharusnya menempatkan militer dan polisi tetap dalam fungsi dan peran aslinya, di mana militer berfungsi sebagai alat pertahanan negara dan polisi adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Gagasan yang memperbolehkan anggota militer dan polisi maju menjadi kandidat pilkada tanpa harus pensiun dan mengundurkan diri adalah gagasan yang bertentangan dengan UU TNI No 34/2004 dan juga UU Polri No 2/2002. Di dalam UU TNI No 34/2004, Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 47 Ayat 1 disebutkan bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.
“Sementara UU Polri No 2/2002 di dalam Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis dan di dalam Pasal 28 Ayat 3 UU Polri No 2/2002 menyebutkan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”,” pungkasnya.
Penting untuk diingat, anggota TNI dan Polri memiliki jiwa esprit de corps dan struktur hierarki yang komando sehingga sepanjang mereka masih berstatus sebagai anggota TNI ataupun Polri, maka akan potensial mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan(abuse of power)demi memenangi pilkada yang diikuti kandidat dari TNI dan Polri. Hal ini akan membuka kemungkinan terjadinya pengerahan kekuatan militer ataupun polisi untuk memenangi pilkada.
Lebih jauh dari itu, baik anggota TNI maupun Polri keduanya sama-sama memiliki kewenangan koersif dan menggunakan senjata sehingga menjadi berbahaya bagi kondisi keamanan jika di antara mereka terlibat dalam kontestasi di pilkada.
“Hal ini tentu akan berpotensi memunculkan konflik di antara kedua institusi tersebut jika kandidat dari keduanya sama-sama maju dalam pilkada, ataupun konflik dengan masyarakat akibat dukung-mendukung antarcalon dari setiap anggota institusi TNI/Polri dalam pilkada,”tandasnya.
Netralitas anggota Polri dan anggota TNI yang diperbantukan menjaga dan mengamankan politik pilkada juga akan terganggu akibat diperbolehkannya calon kandidat yang berasal dari anggota militer aktif dan polisi aktif dalam pilkada.
“Tentu bagi anggota Polri dan anggota TNI yang diperbantukan tugas mengamankan pilkada sulit bersikap netral ketika kandidat yang maju adalah berasal dari TNI ataupun Polri yang masih aktif. Di sini, kestabilan politik dan keamanan di daerah potensial menjadi rawan,”kata Sukarman mengakhiri komentarnya.(KS-Raf)
COMMENTS