Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Olahraga (Kadis Dikbudpora) Kota Bima, Drs H Alwi Yasin M.Ap belum lama ini memberikan tanggapan terk...
Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Olahraga (Kadis Dikbudpora) Kota Bima, Drs H Alwi Yasin M.Ap belum lama ini memberikan tanggapan terkait keterlibatan guru dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bima Tahun 2018. Menurut dia, jika ada guru terlibat secara langsung membantu untuk memenangkan salah satu Pasangan Calon (Paslon) Walikota dan Wakil Walikota Bima, maka tentu harus memilih tetap menjadi guru atau menjadi politisi.
KOTA BIMA,KS - ”Jawaban saya simple ko. Kalau ada guru yang terlibat politik praktis tentu harus tentukan sikap untuk memilih terus menjadi guru atau politisi,” ujar Alwi saat diwawancarai wartawan di kantor Dikbudpora Kota Bima, Kamis (21/6/2018).
Menurut Alwi, sejatinya menjadi seorang guru (PNS) tidak boleh terlibat dalam politik. Kalau sampai itu terjadi, maka sama saja merusak cintra sebagai seorang guru.”Guru bertugas untuk mengajarkan siswa dan siswisnya di sekolah. Bukan malah menjadi politisi,” jelasnya.
Tidak hanya itu sambung Alwi, guru yang diketahui menjadi politisi sama saja melanggar kode etik. Maka siapapun yang terlibat harus siap menanggung resiko terhadap sangsi yang akan menjeratnya.”Kalau urusan pemberian sangsi bagi guru yang terlibat (jadi politisi,Red) dalam Pemilu, itu tidak ada kewenangan kami (Dikbudpora Kota Bima) dan itu tugasnya Panswaslu. Tapi kalau melanggar kode etik guru, maka tentu akan berurusan dengan kami,” terangnya.
Intinya terkait permasalahan itu kata dia, sudah ada dalam peraturan dan undang-undang. Termasuk penjelasanya dalam undang-undang Aparat Sipil Negara (ASN) yang menjelaskan bahwa ASN tidak boleh ikut dalam politik praktis.”Sekali lagi saya katakan, kalau guru terlibat politik praktis tentu dikenakan dengan undang-undang TIPILU dan kalau melanggar kode etik guru itu undang-undang ASN,” paparnya.(KS-RUL)
Kadis Dikbudpora Kota Bima, Drs H Alwi Yasin M.Ap, saat diwawancarai wartawan Koran Stabilitas |
KOTA BIMA,KS - ”Jawaban saya simple ko. Kalau ada guru yang terlibat politik praktis tentu harus tentukan sikap untuk memilih terus menjadi guru atau politisi,” ujar Alwi saat diwawancarai wartawan di kantor Dikbudpora Kota Bima, Kamis (21/6/2018).
Menurut Alwi, sejatinya menjadi seorang guru (PNS) tidak boleh terlibat dalam politik. Kalau sampai itu terjadi, maka sama saja merusak cintra sebagai seorang guru.”Guru bertugas untuk mengajarkan siswa dan siswisnya di sekolah. Bukan malah menjadi politisi,” jelasnya.
Tidak hanya itu sambung Alwi, guru yang diketahui menjadi politisi sama saja melanggar kode etik. Maka siapapun yang terlibat harus siap menanggung resiko terhadap sangsi yang akan menjeratnya.”Kalau urusan pemberian sangsi bagi guru yang terlibat (jadi politisi,Red) dalam Pemilu, itu tidak ada kewenangan kami (Dikbudpora Kota Bima) dan itu tugasnya Panswaslu. Tapi kalau melanggar kode etik guru, maka tentu akan berurusan dengan kami,” terangnya.
Intinya terkait permasalahan itu kata dia, sudah ada dalam peraturan dan undang-undang. Termasuk penjelasanya dalam undang-undang Aparat Sipil Negara (ASN) yang menjelaskan bahwa ASN tidak boleh ikut dalam politik praktis.”Sekali lagi saya katakan, kalau guru terlibat politik praktis tentu dikenakan dengan undang-undang TIPILU dan kalau melanggar kode etik guru itu undang-undang ASN,” paparnya.(KS-RUL)
COMMENTS