Kota Bima,KS.- Dinamika pendapat publik mengait kebiajkan aturan dan penerapan Perwali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sementara Berb...
Kota Bima,KS.-Dinamika pendapat publik mengait kebiajkan aturan dan penerapan Perwali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sementara Berbasis Kelurahan (PSBK) di wilayah Kota Bima, semakin beragam saja.
Jika sebelumnya pegiat Solud NTB, mengeritik kebijakan Perwali tentang PSBK itu, kini mencul pendapat dengan narasi aturan hukum yang mengupas secara mendalam terkait physical distancing dan social distancing.
Adalah Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Ikatan Advokat Indoensia (IKADIN) Kota Bima, melelai Ketuanya, Fatmatul Fitriah, bahwa secara sosial yuridis, penerapan physical distancing dan social distancing semula diterapkan menjadi pandangan yang menarik perbincangan masyarakat sebagai upaya pencegahan beredarnya pandemic Virus Covid 19.
Hal mana sebut mantan komisioner KPU Kota Bima ini, dipandang akan merubah pola kebiasaan interaksi sosial masyarakat Indonesia yang selalu cenderung punya aktivitas untuk berkumpul dalam berbagai aktivitas seperti kegiatan kegiatan runitas social budaya, keagamaan dan ekonomi kemasyarakatan, banyak kalangan berpandangan karena kebiasaan dalam kebersamaan, kerja sama, solidaritas, dan sejenisnya sebagai bentuk dari interaksi masyarakat umumnya di Indonesia.
Kata srikandi hebat ini, ada hal yang menarik dan uplus terhadap peran serta masyarakat Kota Bima pasca penerapan physical distancing dan social distancing dimana dapat lihat di semua Kelurahan menerapkan Portal dengan secara tidak langsung juga terjadi kesadaran masyarakat dalam menerapkan Jam malam untuk berkunjung dari satu kelurahan ke kelurahan lainnya.
“Penerapan physical distancing dan social distancing dapat dipandang secara teori kontrak sosial, dimana untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama,”urainya, Sabtu (30/5).
Berdasarkan logika itulah sambung Fatmatul, dibuat perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya.
Perjanjian tersebut lanjutnya, diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara.
“Dari konteks teori contrak social, penerapan Portal dimasing masing kelurahan bisa dipertahankan melalui Regulasi menjadi PERDA jika hal ini menjadi bentuk kebutuhan dan kesadaran masyarakat Kota Bima untuk menjaga keamanan, ketertiban dimasing-masing wilayah demi Kota Bima Maju Religius,”harap Ketua IKADIN Kota Bima ini.
Ia juga menarasikan, sehubungan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020. "Bahwa kegiatan keagamaan sifatnya masif seperti shalat berjemaah di masjid atau shalat Id di lapangan itu termasuk kegiatan yang dilarang oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020. Akan tetapi acuan pada Pasal 10 Dalam hal kondisi suatu daerah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri dapat mencabut penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Diujung pernyataanya, Fatmatul menyarankan pada Pemerintah Pascah Lebaran Idul Fitri dapat mengevaluasi kembali ketentuan dalam Pasal 2 PMKES No.9/2020 tersebut agar bersesuaian dengan Kondisi wilayah Daerah khususnya berkaitan dengan Pelaksanaan Ibadah Keagamaan. Agar tidak menimbulkan anti-pati atas kelonggaran disektor Pusat Perbelanjaan dan sejenisnya. Hal mana dapat dipandang dipandang dari sudut Sosial Yuridis dengan prinsip tetap mengedepankan protokuler kesehatan.(RED)
Jika sebelumnya pegiat Solud NTB, mengeritik kebijakan Perwali tentang PSBK itu, kini mencul pendapat dengan narasi aturan hukum yang mengupas secara mendalam terkait physical distancing dan social distancing.
Adalah Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Ikatan Advokat Indoensia (IKADIN) Kota Bima, melelai Ketuanya, Fatmatul Fitriah, bahwa secara sosial yuridis, penerapan physical distancing dan social distancing semula diterapkan menjadi pandangan yang menarik perbincangan masyarakat sebagai upaya pencegahan beredarnya pandemic Virus Covid 19.
Hal mana sebut mantan komisioner KPU Kota Bima ini, dipandang akan merubah pola kebiasaan interaksi sosial masyarakat Indonesia yang selalu cenderung punya aktivitas untuk berkumpul dalam berbagai aktivitas seperti kegiatan kegiatan runitas social budaya, keagamaan dan ekonomi kemasyarakatan, banyak kalangan berpandangan karena kebiasaan dalam kebersamaan, kerja sama, solidaritas, dan sejenisnya sebagai bentuk dari interaksi masyarakat umumnya di Indonesia.
Kata srikandi hebat ini, ada hal yang menarik dan uplus terhadap peran serta masyarakat Kota Bima pasca penerapan physical distancing dan social distancing dimana dapat lihat di semua Kelurahan menerapkan Portal dengan secara tidak langsung juga terjadi kesadaran masyarakat dalam menerapkan Jam malam untuk berkunjung dari satu kelurahan ke kelurahan lainnya.
“Penerapan physical distancing dan social distancing dapat dipandang secara teori kontrak sosial, dimana untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama,”urainya, Sabtu (30/5).
Berdasarkan logika itulah sambung Fatmatul, dibuat perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya.
Perjanjian tersebut lanjutnya, diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara.
“Dari konteks teori contrak social, penerapan Portal dimasing masing kelurahan bisa dipertahankan melalui Regulasi menjadi PERDA jika hal ini menjadi bentuk kebutuhan dan kesadaran masyarakat Kota Bima untuk menjaga keamanan, ketertiban dimasing-masing wilayah demi Kota Bima Maju Religius,”harap Ketua IKADIN Kota Bima ini.
Ia juga menarasikan, sehubungan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020. "Bahwa kegiatan keagamaan sifatnya masif seperti shalat berjemaah di masjid atau shalat Id di lapangan itu termasuk kegiatan yang dilarang oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020. Akan tetapi acuan pada Pasal 10 Dalam hal kondisi suatu daerah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri dapat mencabut penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Diujung pernyataanya, Fatmatul menyarankan pada Pemerintah Pascah Lebaran Idul Fitri dapat mengevaluasi kembali ketentuan dalam Pasal 2 PMKES No.9/2020 tersebut agar bersesuaian dengan Kondisi wilayah Daerah khususnya berkaitan dengan Pelaksanaan Ibadah Keagamaan. Agar tidak menimbulkan anti-pati atas kelonggaran disektor Pusat Perbelanjaan dan sejenisnya. Hal mana dapat dipandang dipandang dari sudut Sosial Yuridis dengan prinsip tetap mengedepankan protokuler kesehatan.(RED)
COMMENTS