BIMA, KS,- Utang program fisik pemerintah NTB yang belum terbayarkan kepada rekanan atau kontraktor sampai November sebesar Rp 118,6 miliar....
BIMA, KS,- Utang program fisik pemerintah NTB yang belum terbayarkan kepada rekanan atau kontraktor sampai November sebesar Rp 118,6 miliar. Terbesar program fisik yang merupakan aspirasi 65 anggota DPRD NTB alias Pokir. Senin kemarin Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) NTB dipanggil Komisi IV DPRD NTB untuk memperjas pembayaran tersebut.
Kepala Dinas Perkim NTB, Jamaludin menjelaskan rata-rata fisik tersebut yaitu Penunjukkan Langsung (PL) yang nilainya Rp 200 juta per paket. Terdiri dari Paket Pokir sebanyak 641 paket dan reguler yang merupakan direktif gubernur wakil gubernur NTB dan Sekda NTB sebanyak 229 paket. Semuanya masuk dalam program APBD Murni 2021.
“Totalnya 870 paket. Semuanya totalnya Rp 118 miliar yang belum terbayar,” ungkap Jamal ditemui usai rapat dengan Komisi IV.
Jamal menjelaskan realisasi pekerjaan fisik mencapai 97 persen sementara realisasi pembayaran baru diangka 56.
“Ini memang timpang sekali. Makanya itu tadi yang ditanyakan anggota bisa nggak terbayar sampai akhir tahun ini,” katanya.
Dijelaskannya mengenai pembayaran semuanya merupakan kewenangan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Dalam hal ini pihaknya sebagi OPD teknis hanya bertugas membuat kontrak, melaksanan tugas dilapangan, memastikan kualitas pekerjaan bagus dan selesai 100 persen dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan dimata hukum.
“Tapi masalah pembayaran bukan jadi ranah Perkim tapi BPKAD,” terangnya.
Birokrat kelahiran Sumbawa itu menyinggung pertanyaan anggota dewan, apakah bisa selesai dibayar semuanya sampai akhir tahun lagi- lagi itu merupakan ranah BPKAD. Tetapi untuk mencetak Surat Pemintaan Membayar (SPM) pihaknya sanggup asal BPKAD telah menerbitkan Surat Penyediaan Dana terlebih dahulu.
“Tadi informasi dari BPKAD SPD yang keluar Rp 8 miliar. Kami juga siap menerbitkan SPM. Sesuai mekanisme BPKAD Rp 7 miliar untuk Pokir sisanya untuk reguler. Karena kasian juga kalau direktif tidak dibayarkan karena sama-sama dikerjakan oleh rekanan,” paparnya.
Pihaknya memastikan jika ada SPD yang keluar pembayarannya akan lebih dialokasikan untuk Pokir mengingat yang paling banyak jumlahnya adalah aspirasi wakil rakyat. Jamal mengatakan kondisi lambannya pembayaran itu dikarenakan kondisi keuangan daerah akibat Covid-19 yang seringkali terjadi refokusing. Dirinya juga tidak punya wewenang menjawab belum lama ini Pemprov berhutang ke Menteri Keuangan sebesar Rp 750 miliar salah satu tujuannya untuk menyehatkan BPKAD.
“Nah soal itu, itu jadi ranah BPKAD menjelaskan. (Apakah berpotensi dihutang?) nah itu yang tahu hanya BPKAD,” urainya.
Sekretaris Komisi IV DPRD NTB, Asaat Abdullah nampak geram. Kondisi tersebut menurutnya akibat lemahnya perencanaan pendapatan daerah yang dilakukan oleh
Bappenda tidak maksimal. Dampaknya PAD daerah rendah yang menyebabkan tidak bisa cepat terbayarkan program fisik ke rekanan.
Politisi Nasdem itu mendorong supaya Kepala Bappenda NTB dievaluasi kinerjanya oleh gubernur.
“Kita minta agar dievalusi. Perencanaan pendapatannya lemah,” tegas Asaat.
Asaat tidak ingin melihat pengalaman yang sama masih saja terjadi. Tahun 2020 pokir dewan di hutang sehingga jangan sampai tahun ini lagi dihutang Pemprov.
Asaat menegaskan Pemprov harus membayar semua program yang sudah tuntas itu.”Prinsipisnya kita mendesak harus dibayarkan,” pintanya.
Bagaimanapun, lanjut Asaat prinsip kontrak itu berkeadilan. Rekanan tidak boleh dirugikan dari sisi pembayaran. Disatu sisi kalau pekerjaan lambat rekanan dikenakan denda.
“Ini kalau eksekuif terlambat harus juga didenda,” sentilnya.
Asaat justru mendorong ada terobosan baru yang dilakukan rekanan. Kalau bisa mereka harus berani mensomasi Pemprov supaya kasus seperti ini tidak berkelanjutan.
“Dan Bappenda harus dievaluasi,” pintanya. (KS Tim)
COMMENTS