Oleh: Andi Mapperumah MS (Direktur Eksekutif The Fatwa Center. Bakal Caleg DPR RI Dapil Pulau Sumbawa) Andi Mapperumah MS "Jalan pemimp...
Oleh: Andi Mapperumah MS
(Direktur Eksekutif The Fatwa Center. Bakal Caleg DPR RI Dapil Pulau Sumbawa)
Andi Mapperumah MS |
"Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita (Leiden is Lidjen).
Itulah kredo yang menyejarah dari seorang Haji Agus Salim, tokoh pejuang kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Ia tidak hanya bernarasi. Ia buktikan dalam perilaku kehidupan sebagai tokoh pergerakan, cendekiawan, politisi, dan diplomat yang selama hayatnya memilih hidup sederhana.
Haji Agus Salim pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Empat kali menjadi menteri luar negeri. Tiga kali pada kabinet Perdana Menteri. Sekali pada Kabinet Presidensial. Ia diplomat ulung yang berhasil merintis pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab. Ia berhasil meyakinkan negara-negara Arab seperti Mesir sehingga Indonesia yang baru berdiri merdeka (de facto) mendapat pengakuan kedaulatan internasional (de jure).
Jabatan yang ia sandang tidak lalu membuat kehidupan ekonominya berubah. Ia tetap tak punya apa-apa hingga akhir hayatnya. Willem Schermerhorn, lawan politiknya, mengakui hanya satu kelemahan Haji Agus Salim, yaitu “selama hidupnya selalu melarat dan miskin”. Deliar Noer, sejarawan Indonesia, mengatakan sampai akhir hayatnya, Agus Salim tak pernah hidup mewah, tidak mengeluh dengan keadaan dan tanpa mengurangi gairah perjuangan.
Sampai akhir hayatnya, ia tak memiliki rumah tinggal yang tetap. Tanpa lelah dan keluh kesah, ia, istri, dan ketujuh anaknya berkali-kali pindah rumah kontrakan, sempat ia hanya mampu mengontrak satu kamar saja. Saat anaknya meninggal, ia bahkan tak memiliki uang guna membeli kafan. Ia cuci taplak meja dan kelambu untuk mengkafani anaknya. "Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru, untuk orang yang mati, cukuplah kain itu," kata Agus Salim. Sungguh tak terbayangkan kisah ini pernah ada.
Bagi Haji Agus Salim, memimpin adalah menderita. Menjadi seorang pemimpin haruslah siap menderita untuk kesungguhan cita-cita dan kesejahteraan bangsa dan umat yang dipimpinnya. Agus Salim membuktikan, betapa penderitaan ia panggul sampai paripurna, betapa kesederhanaan ia dekap hingga ajal tiba.
Haji Agus Salim seandainya mau bukan tak bisa punya uang. Pergaulan lintas pejabat, diplomat, dan peran kuncinya di berbagai peristiwa internasional menjadikan Agus Salim mudah untuk mengakses sumber uang. Ia dapat bergelimang harta, akses untuk mendapatkan energi dan uang dapat dengan mudah dibuka. Namun, ia menolak serakah dan kemaruk. Cukuplah kesederhanaan sebagai teman hidupnya. Ia sungguh meyakini bahwa arti penting Tuhan menghadiran kita di dunia ini agar memberi manfaat bagi kehidupan orang banyak.
Haji Agus Salim sosok yang jenius. Di usia yang masih muda telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing yakni Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Dalam perjuangan politiknya, Agus salim menggunakan cara-cara yang bermartabat. Tidak sebagaimana yang terjadi saat ini di tengah perilaku yang menghalakan segala cara. Ia menggunakan intelektualitas dan kecanggihan berdiplomasi. Sebagai pemimpin Sarekat Islam, ia menjadi bintang di zamannya --dalam percaturan politik Indonesia pada 1946 hingga 1950. Ia pun digelari The Grand Old Man (Orang Tua Besar).
Agus Salim yang dianugrahi kejeniusan dan hidup sebagai orang besar tidak lantas membuatnya tinggi hati. Kesederhanan Agus Salim juga terlihat pada saat dirinya menghadiri salah satu konferensi besar di mana saat itu dia makan dengan menggunakan tangannya sementara para peserta muktamar menggunakan sendok.
Ketika sebagian anggota muktamar mencemooh dengan mengatakan "Salim, sekarang tidak saatnya lagi makan dengan tangan, tapi dengan sendok," kemudian dia hanya menjawab "tangan yang selalu saya gunakan ini selalu saya cuci setiap kali akan makan, dan hanya saya yang memakai dan menjilatnya. Sementara sendok-sendok yang kalian gunakan sudah berapa mulut yang telah menjilatnya". Sontak hadirin pada saat itu malu dan langsung terdiam.
Dalam suatu rapat politik, Haji Agus Salim, berpidato memukau. Lawan politiknya datang mengganggu dengan meneriakkan suara kambing: embeeek… embeeek. Teriakan itu jelas untuk menghina. Janggut Agus Salim memang mirip janggut kambing. Rapat jadi gaduh. Caci-maki memenuhi ruangan.
Tapi Agus Salim tak terusik. Dengan tenang ia berbicara: “Maaf, ini rapat manusia. Mengapa ada suara kambing?” Rapat berlanjut, setelah gelak tawa meledak.
Politik adalah kecerdasan. Haji Agus Salim tak mengejek balik. Ia hanya memakai otaknya untuk membungkam lawan.
Begitu pula dengan Sutan Sjahrir yang lihai membekuk pikiran lawan debat. Pidato Sjahrir di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1947), ketika mempertahankan kemerdekaan, disebut oleh New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang paling menggetarkan. Jebakan diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk memilih: “Siapa yang Saudara percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti kami,” ditanggapi Sjahrir dengan enteng: “Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti, ketimbang membantah argumen saya.”
Mereka para tokoh pergerakan itu tumbuh dalam tradisi berpikir. Mereka memberi pelajaran bahwa politik adalah pikiran bukan makian apalagi hinaan. Hari ini kita menyaksikan sensasi dirayakan. Esensi diabaikan.
Kembali pada kredo Agus Salim bahwa menjadi pemimpin adalah menderita. Hari ini dan ke depan kita menyaksikan kontestasi politik Pilpres dan Pileg. Akan terlihat dalam gerak-gerik perilaku, siapa yang terpanggil, siapa yang ingin dan siapa yang ambisius.
Kita mendukung siapa yang tulus mengabdi. Kita kuliti track record jejak kehidupannya. Kepada yang menyimpan hasrat ingin memperkaya diri dan keluarganya, mencuri dengan cara korupsi, menjual aset negara dan memperjualbelikan jabatan, kita harus hadang dan halangi. Kita tidak ingin mengulang mengutuk sejarah dikemudian hari hanya karena salah memilih orang.
Haji Agus Salim adalah legenda yang menyejarah tentang kesederhanaan seorang pemimpin. Ia merupakan monumen intelektualitas dan kesederhanaan. Ia adalah contoh teladan politisi dan negarawan yang melayani bukan dilayani. Politikus hari ini perlu melakukan ziarah keteladanan.. menapaktilasi jejak kaki sejarah kehidupannya. Menemukan bongkahan hikmah pada keluhuran pribadinya.
Di ujung tulisan ini saya ingin mengutip pernyataan yang menginspirasi dari Leroy Eimes, seorang penulis dan pakar kepemimpinan. Bahwa seorang pemimpin adalah orang yang melihat lebih dari yang orang lain lihat. Yang melihat lebih jauh daripada yang orang lain lihat. Dan yang melihat sebelum orang lain melihat. ***
COMMENTS