Ketimpangan yang terjadi pada proyek pelebaran pelabuhan Bima tak hanya dugaan Mark-Up APBN di Tahun 2013 dan 2014.
Ketimpangan yang terjadi pada proyek pelebaran pelabuhan Bima tak hanya dugaan Mark-Up APBN di Tahun 2013 dan 2014. Melainkan juga soal dampak lingkungan, karena proyek yang menelan anggaran Negara bernilai Puluhan Milyar itu belum mengantongi Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) dari Kementerian Lingkungan Hidup di Pusat.
Prosedur perencanaan proyek seperti pelebaran pelabuhan mestinya lebih dulu memiliki Amdal, tapi bagi Syahbandar Bima tidak melewati persyaratan mutlak tersebut, padahal AMDAL dan UPL-UKL dari lingkungan hidup, mutlak dimiliki.“Aturanya jelas, proyek dengan panjang diatas 400 meter harus mengantongi AMDAL. Beda dengan proyek dibawah 400 meter yang hanya harus memiliki UPL-UKL,” kata Kabid Amdal dan Pelest BLH Kota Bima, Abdul Haris, SE,M.Si kepada Koran Stabilitas Senin (14/09) di Ruang kerjanya.
Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 lanjutnya, baik kegiatan kecil maupun besar yang belum mengantongi AMDAL dan UPL-UKL akan dikenakan sanksi Pidana dan Perdata. Sanksi pidana minimal satu tahun dan maksimal tiga tahun penjara, sedangkan secara perdata akan dikenakan denda minimal Rp.1 Milyar dan maksimal Rp.3 Milyar. “Siapapun yang menangani pekerjaan sebelum melengkapi documen lingkungan akan dikenakan sanksi pidana dan perdata. Jadi urusan seperti itu jangan dianggap enteng, karena selain berurusan dengan hukum. Tapi juga untuk mengetahui dampak lingkungan yang akan terjadi atas pekerjaan tersebut,” ujarnya.
Lantas siapa yang berhak menggiring persoalan itu kerana hukum, menanggapi hal itu Haris menyampaikan laporan bisa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan, aktivis, LSM, Mahasiswa dan elemen lain, termasuk masyarakat yang memiliki lahan disekitar lokasi proyek tersebut. Masalahnya, dikhawatirkan akan terjadi dampak lingkungan yang bakal merugikan masyarakat pemilik lahan sekitar proyek tersebut. Apalagi, jauh sebelum pekerjaan dimulai tidak dilakukan analisa dampak lingkungan. “Kalau ada pihak yang merasa dirugikan, laporkan saja persoalan itu ke aparat penegak hukum. Lagipula, aturan sebagai dasar laporan sudah jelas tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur soal AMDAL dan UPL-UKL,” saranya.
Sepertinya yang tidak melengkapi document lingkungan bukan hanya kegiatan pelebaran pelabuhan, melainkan hampir semua aktivitas yang ada di Pelabuhan setempat. Berbagai upaya agar documen dimaksud segera dilengkapi kerap kali dilakukan, hanya saja usaha itu praktis tak ditanggapi. “Semua kegiatan di Pelabuhan Bima baik dibawah pengawasan PT.Pelindo maupun Adpel Bima rata-rata belum mengantongi documen dalam kaitan itu. Lebih-lebih proyek itu (pelebaran pelabuhan Bima). Padahal, kami sering kali menegur dua instansi yang menaungi aktivitas di Pelabuhan tersebut,” terangnya.
Teguran agar sejumlah aktivitas disalah satu pelabuhan Indonesia Timur tersebut segera melengkapi document tersebut bukan hanya dilakukan BLH Kota Bima, tapi juga BLH Provinsi NTB dan juga Pusat. Bahkan, sudah melahirkan berita acara bersama. Namun teguran baik lisan maupun tertulis kembali tidak membuahkan hasil. Karenanya bukan sesuatu yang tidak mungkin apabila kegiatan yang belum memiliki documen lingkungan akan berurusan dengan hukum. “Pihak kami sudah sering kali menegur, tapi mereka masih bandel. Jadi jangan sampai ada pihak lain yang disalahkan, apabila pekerjaan yang belum mengantongi document itu berurusan dengan hukum, “ tegasnya.
Pada kesempatan itu, ia sempat menjelaskan soal biaya administrasi untuk mengurus document tersebut. Katanya, BLH tidak sepersenpun menarik biaya untuk itu, hanya saja pihak yang melengkapi document itu diharuskan membayar jasa konsultan. “Mereka cukup bayar konsultan sesuai kesepakatan. Tapi kalau mereka memiliki konsultan, ya tidak usah bayar jasa konsultan luar,” jelasnya. (KS-09)
Prosedur perencanaan proyek seperti pelebaran pelabuhan mestinya lebih dulu memiliki Amdal, tapi bagi Syahbandar Bima tidak melewati persyaratan mutlak tersebut, padahal AMDAL dan UPL-UKL dari lingkungan hidup, mutlak dimiliki.“Aturanya jelas, proyek dengan panjang diatas 400 meter harus mengantongi AMDAL. Beda dengan proyek dibawah 400 meter yang hanya harus memiliki UPL-UKL,” kata Kabid Amdal dan Pelest BLH Kota Bima, Abdul Haris, SE,M.Si kepada Koran Stabilitas Senin (14/09) di Ruang kerjanya.
Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 lanjutnya, baik kegiatan kecil maupun besar yang belum mengantongi AMDAL dan UPL-UKL akan dikenakan sanksi Pidana dan Perdata. Sanksi pidana minimal satu tahun dan maksimal tiga tahun penjara, sedangkan secara perdata akan dikenakan denda minimal Rp.1 Milyar dan maksimal Rp.3 Milyar. “Siapapun yang menangani pekerjaan sebelum melengkapi documen lingkungan akan dikenakan sanksi pidana dan perdata. Jadi urusan seperti itu jangan dianggap enteng, karena selain berurusan dengan hukum. Tapi juga untuk mengetahui dampak lingkungan yang akan terjadi atas pekerjaan tersebut,” ujarnya.
Lantas siapa yang berhak menggiring persoalan itu kerana hukum, menanggapi hal itu Haris menyampaikan laporan bisa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan, aktivis, LSM, Mahasiswa dan elemen lain, termasuk masyarakat yang memiliki lahan disekitar lokasi proyek tersebut. Masalahnya, dikhawatirkan akan terjadi dampak lingkungan yang bakal merugikan masyarakat pemilik lahan sekitar proyek tersebut. Apalagi, jauh sebelum pekerjaan dimulai tidak dilakukan analisa dampak lingkungan. “Kalau ada pihak yang merasa dirugikan, laporkan saja persoalan itu ke aparat penegak hukum. Lagipula, aturan sebagai dasar laporan sudah jelas tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur soal AMDAL dan UPL-UKL,” saranya.
Sepertinya yang tidak melengkapi document lingkungan bukan hanya kegiatan pelebaran pelabuhan, melainkan hampir semua aktivitas yang ada di Pelabuhan setempat. Berbagai upaya agar documen dimaksud segera dilengkapi kerap kali dilakukan, hanya saja usaha itu praktis tak ditanggapi. “Semua kegiatan di Pelabuhan Bima baik dibawah pengawasan PT.Pelindo maupun Adpel Bima rata-rata belum mengantongi documen dalam kaitan itu. Lebih-lebih proyek itu (pelebaran pelabuhan Bima). Padahal, kami sering kali menegur dua instansi yang menaungi aktivitas di Pelabuhan tersebut,” terangnya.
Teguran agar sejumlah aktivitas disalah satu pelabuhan Indonesia Timur tersebut segera melengkapi document tersebut bukan hanya dilakukan BLH Kota Bima, tapi juga BLH Provinsi NTB dan juga Pusat. Bahkan, sudah melahirkan berita acara bersama. Namun teguran baik lisan maupun tertulis kembali tidak membuahkan hasil. Karenanya bukan sesuatu yang tidak mungkin apabila kegiatan yang belum memiliki documen lingkungan akan berurusan dengan hukum. “Pihak kami sudah sering kali menegur, tapi mereka masih bandel. Jadi jangan sampai ada pihak lain yang disalahkan, apabila pekerjaan yang belum mengantongi document itu berurusan dengan hukum, “ tegasnya.
Pada kesempatan itu, ia sempat menjelaskan soal biaya administrasi untuk mengurus document tersebut. Katanya, BLH tidak sepersenpun menarik biaya untuk itu, hanya saja pihak yang melengkapi document itu diharuskan membayar jasa konsultan. “Mereka cukup bayar konsultan sesuai kesepakatan. Tapi kalau mereka memiliki konsultan, ya tidak usah bayar jasa konsultan luar,” jelasnya. (KS-09)
COMMENTS