Yakni para bocah pencari "Hagala" yang tak henti menengadahkan tangan kepada setiap pembeli yang dilihat.
Oleh : Ady Supriadin (Wartawan Koran Stabilitas)
Setiap momen Bulan Ramadhan, Pasar Takjil di Amahami tak pernah sepi pengunjung. Semakin dekat jelang waktu berbuka puasa, antusias pengunjung pasar semakin meningkat. Pasar yang menyediakan aneka penganan dan menu berbuka itu memang memanjakan pengunjung. Asal ada isi kantong, menu berbuka sudah tersaji dan tinggal dipilih sesuai selera karena hampir semua tersedia.
Namun ditengah hiruk pikuk dan lalu lalang pengunjung yang berbelanja, terdapat pemandangan yang mengiris hati kita. Yakni para bocah pencari "Hagala" yang tak henti menengadahkan tangan kepada setiap pembeli yang dilihat.
Fenomena ini memang tak asing lagi bagi kita beberapa tahun terakhir pada momen Bulan Ramadhan. Entah siapa yang memulai dan menyuruh para bocah ini, yang pasti jumlah mereka kian bertebaran di tengah para pemburu takjil di Amahami.
Begitupun persisnya siapa yang mengenalkan istilah "Hagala,"tak diketahui pasti. Namun yang jelas, praktek yang lebih mirip mengemis dan meminta-minta ini sudah akrab ditelinga masyarakat Bima. Hanya saja uniknya, istilah Hagala lebih khusus dikenal pada Bulan Ramadhan.
Entah ini potret kemiskinan di Kota Bima atau hanya sekedar fenomena biasa setiap Bulan Ramadhan, tapi keberadaan mereka patut mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Bahwa, kesenjangan hidup ternyata masih terlihat mencolok ditengah-tengah kita.
Tak sekedar para bocah, bahkan para Pemburu Hagala kadang berkelompok dengan orang tua, "Bergerilya" dari kampung ke kampung untuk mengais rupiah. Menjelang Hari Raya Idul Fitri, jumlah mereka semakin banyak mengetuk rumah Para DERMAWAN.
Di Pasar Takjil sendiri, Pemburu Hagala lebih didominasi Para Bocah. Usia mereka berkisar 7 sampai 11 tahun. Persis usia adik saya yang masih kelas lima sekolah dasar. Mereka berjuang mengumpulkan recehan di keramaian pengunjung. Tak peduli harus berdesakan dengan orang dewasa, asal recehan didapat.
Seperti terlihat, Rabu (1/7) sore. Sejumlah bocah berpakaian lusuh tanpa alas kaki saling berkompetisi dengan pengunjung, mengejar waktu dan rupiah menjelang berbuka puasa. Para pengunjung asyik berburu takjil, mereka pun lalu lalang menyodorkan tangan meminta recehan.
Mereka tak peduli, seberapa yang dikasi. Tak peduli pengunjung memberi atau tidak. Hanya tau, semakin banyak pengunjung yang ditengadahkan tangan, peluang mendapat receh semakin banyak.
Tak sedikit, pengunjung yang iba memberikan mereka pecahan Rp.1 ribu dan Rp.2 ribu. Namun, tak sedikit pula yang tak peduli dan cuek meski para bocah ini beberapa kali mencolek pengunjung yang dituju.
Sesekali usai mendapatkan recehan, diantara para bocah itu menghitung kumpulan koin dan lembaran rupiah yang didapat. Hal itu mereka lakukan ditengah pengunjung, tanpa peduli dengan suasana keramaian.
Sesaat saya tertegun, membayangkan adik saya yang masih seusia mereka, harus berburu Hagala untuk membeli baju baru. Usia yang seharusnya belajar giat, menikmati masa sekolah agar semangat menjadi pengusaha dan orang sukses. Bukan sebaliknya, menjadi generasi dengan semangat "meminta".
Saya pun teringat sebuah dalil, "Meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu jauh lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan fakir, sehingga mereka meminta-minta kepada manusia." Wallahualam bis shawab.
COMMENTS