Temuan penyimpangan lewat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bima (Pemkab) Bima tersebut, diungkap Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Pulau Sumbawa (LBH-RPS)
Bima, KS.– Tak dapat dipungkiri, hampir setiap Tahun Institusi Penegak Hukum berhasil mengungkap sederet praktek dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau sejenisnya. Bahkan, sudah banyak pelaku baik dari lingkup birokrasi maupun oknum pengusaha swasta. Meski demikian, namun praktek yang terindikasi merugikan Negara dan Rakyat itu bukan semakin berkurang. Justru, berkembang bak jamur dimusim hujan, hilang satu tumbuh seribu. Bentuknya pun beragam, berfariasi, dan terjadi secara sistimatis. Fatalnya, dugaan itu lebih dominan terdapat pada kebijakan pemerintah.
Temuan penyimpangan lewat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bima (Pemkab) Bima tersebut, diungkap Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Pulau Sumbawa (LBH-RPS) kepada Koran Stabilitas Kamis (28/01). Hasil temuan LBH tersebut, terdapat sejumlah indikasi penyimpangan berbau pelanggaran hukum yang terjadi di Pemkab. Bahkan, hampir terjadi setiap tahun.”Sesuai data temuan kami di lapangan, dalam satu tahun terdapat puluhan dugaan penyimpangan berbau pelanggaran hukum. Itu temuan lewat kebijakan saja, belum mengarah pada item lain,” ungkap, Furkan, MH Ketua LBH RPS.
Furkan membeberkan, salah satu bukti dugaan penyimpangan dalam kaitan itu terjadi saat proses seleksi Sekretaris Desa (Sekdes) tahun 2016 ini. Menurutnya, kebijakan Pemda dalam hal itu sama sekali tidak berpedeoman pada aturan yang telah ditentukan. Salah satu contoh nyata, kebijakan menyangkut pembuatan soal untuk ribuan peserta tes dimaksud. Masalahnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) tidak ada kewenangan BPMDes untuk membuat soal tes tersebut. ”Itu merupakan salah satu kebijakan yang salah, bahkan teramat fatal. Terlebih dalam PP, tidak ada kewenangan BPMDes membuat soal,” bebernya.
Kondisi rakyat dan daerah yang terjadi karena indikasi pelanggaran dalam pengambilan kebijakan diakuinya, sangat memprihatinkan. Sebab, aturan yang menjadi pedoman dalam setiap pengambilan kebijakan seolah tak lagi berfungsi. Faktanya, seperti yang terjadi saat seleksi sekdes belum lama ini, aturan yang teruang jelas dalam PP mengenai kewenangan dalam pembuatan soal seolah sengaja dilabrak.”Aturan itu jelas, toh tetap dilanggar. Apa itu bukan pelanggaran, keadaan seperti ini sangat memperihatinkan. Bagaimana masa depan daerah kita 10 tahun mendatang, maju atau justru semakin terpuruk,” tanyanya.
Hal itu sebutnya, semakin diperparah lagi dengan masalah penegakan supremasi hukum. Alasanya, hukum seolah tak lagi ditakuti. Indikatornya, kejahatan terjadi dimana-mana, indikasi kejahatan korupsi dan atau sejenisnya makin merajalela. Hal itu, sesungguhnya bukan karena kesalahan lembaga penegak hukum. Tapi, karena diduga banyak oknum berkepentingan yang bermain dalam penanganan kasus kejahatan di institusi hukum tersebut.”Jangankan PP atau peraturan lain yang berlaku di pemerintahan, aturan hukum berikut sanksinya pun sudah tidak lagi ditakuti. Karena bagi pelaku kejahatan, uang adalah segala-galanya, ada fulus urusan berjalan mulus. Apalagi kalau dilakukan secara berjamaah, hasil kejahatan pun dinikmati secara bersama-sama,” duganya.
Pada kesempatan itu, Furkan juga menyinggung, soal kebijakan pemerintah yang cenderung berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Bahkan, hampir sebagian besar karena kepentingan politik. Hal itu terlihat, bukan saja kebijakan terkait Mutasi, Rotasi dan Promosi Jabatan. Melainkan, menyangkut pembagian jatah kegiatan proyek disejumlah instansi yang ada. Padahal, sesungguhnya itu juga bagian dari penyimpangan. ”Itu juga penyimpangan, bagian daripada Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Sebab, kebijakan bukan berdasarkan aturan yang ditentukan, tapi lebih karena tekanan dan kepentingan kelompok tertentu,” pungkasnya seraya menghimbau kepada wartawan, aktivis, LSM dan seluruh element yang ada agar bersama-sama memerangi segala macam bentuk kejahatan yang terjadi. (KS-03)
Temuan penyimpangan lewat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bima (Pemkab) Bima tersebut, diungkap Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Pulau Sumbawa (LBH-RPS) kepada Koran Stabilitas Kamis (28/01). Hasil temuan LBH tersebut, terdapat sejumlah indikasi penyimpangan berbau pelanggaran hukum yang terjadi di Pemkab. Bahkan, hampir terjadi setiap tahun.”Sesuai data temuan kami di lapangan, dalam satu tahun terdapat puluhan dugaan penyimpangan berbau pelanggaran hukum. Itu temuan lewat kebijakan saja, belum mengarah pada item lain,” ungkap, Furkan, MH Ketua LBH RPS.
Furkan membeberkan, salah satu bukti dugaan penyimpangan dalam kaitan itu terjadi saat proses seleksi Sekretaris Desa (Sekdes) tahun 2016 ini. Menurutnya, kebijakan Pemda dalam hal itu sama sekali tidak berpedeoman pada aturan yang telah ditentukan. Salah satu contoh nyata, kebijakan menyangkut pembuatan soal untuk ribuan peserta tes dimaksud. Masalahnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) tidak ada kewenangan BPMDes untuk membuat soal tes tersebut. ”Itu merupakan salah satu kebijakan yang salah, bahkan teramat fatal. Terlebih dalam PP, tidak ada kewenangan BPMDes membuat soal,” bebernya.
Kondisi rakyat dan daerah yang terjadi karena indikasi pelanggaran dalam pengambilan kebijakan diakuinya, sangat memprihatinkan. Sebab, aturan yang menjadi pedoman dalam setiap pengambilan kebijakan seolah tak lagi berfungsi. Faktanya, seperti yang terjadi saat seleksi sekdes belum lama ini, aturan yang teruang jelas dalam PP mengenai kewenangan dalam pembuatan soal seolah sengaja dilabrak.”Aturan itu jelas, toh tetap dilanggar. Apa itu bukan pelanggaran, keadaan seperti ini sangat memperihatinkan. Bagaimana masa depan daerah kita 10 tahun mendatang, maju atau justru semakin terpuruk,” tanyanya.
Hal itu sebutnya, semakin diperparah lagi dengan masalah penegakan supremasi hukum. Alasanya, hukum seolah tak lagi ditakuti. Indikatornya, kejahatan terjadi dimana-mana, indikasi kejahatan korupsi dan atau sejenisnya makin merajalela. Hal itu, sesungguhnya bukan karena kesalahan lembaga penegak hukum. Tapi, karena diduga banyak oknum berkepentingan yang bermain dalam penanganan kasus kejahatan di institusi hukum tersebut.”Jangankan PP atau peraturan lain yang berlaku di pemerintahan, aturan hukum berikut sanksinya pun sudah tidak lagi ditakuti. Karena bagi pelaku kejahatan, uang adalah segala-galanya, ada fulus urusan berjalan mulus. Apalagi kalau dilakukan secara berjamaah, hasil kejahatan pun dinikmati secara bersama-sama,” duganya.
Pada kesempatan itu, Furkan juga menyinggung, soal kebijakan pemerintah yang cenderung berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Bahkan, hampir sebagian besar karena kepentingan politik. Hal itu terlihat, bukan saja kebijakan terkait Mutasi, Rotasi dan Promosi Jabatan. Melainkan, menyangkut pembagian jatah kegiatan proyek disejumlah instansi yang ada. Padahal, sesungguhnya itu juga bagian dari penyimpangan. ”Itu juga penyimpangan, bagian daripada Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Sebab, kebijakan bukan berdasarkan aturan yang ditentukan, tapi lebih karena tekanan dan kepentingan kelompok tertentu,” pungkasnya seraya menghimbau kepada wartawan, aktivis, LSM dan seluruh element yang ada agar bersama-sama memerangi segala macam bentuk kejahatan yang terjadi. (KS-03)
COMMENTS