Kondisi bangunan Masjid Al Muwahiddin, Kota Bima yang berlokasi di Jalan Gajah Mada selama hampir 13 Tahun tidak pernah mengalami perubahan.
Kota Bima, KS.– Kondisi bangunan Masjid Al Muwahiddin, Kota Bima yang berlokasi di Jalan Gajah Mada selama hampir 13 Tahun tidak pernah mengalami perubahan. Justru, bangunan yang direhab sejak Tahun 2003 hingga awal tahun 2016 ini semakin memprihatinkan. Padahal, Pemerintah Kota (Pemkot) Bima setiap tahun mengalokasikan APBD Miliaran Rupiah untuk masjid raya tersebut, belum lagi sumbangan dari para darmawan.Praktis, banyak kalangan baik putra asli Bima maupun pribumi kelahiran Ambon Manise yang merasa prihatin. Bahkan, merasa miris dengan kondisi sarana ibadah bagi umat islam tersebut. Apalagi, masjid itu merupakan ikon, cerminan bagi seluruh rakyat bima. Lantas bagaimana dengan pribumi bima, apakah memiliki kepedulian dan kesadaran ataukah justru hanya menjadikan bangunan megah itu sebagai tontonan?
Lukas kepada Koran Stabilitas mengatakan, meskipun dirinya bukan putra asli bima. Tapi sesungguhnya ia sangat prihatin dan miris dengan kondisi masjid itu. Mirisnya, karena keadaan salah satu Sarana Ibadah kebanggaan bagi Umat Islam kota itu seolah tak terurus dan terkesan luput dari perhatian semua pihak.” Seingat saya, kondisi memperihatinkan untuk masjid itu sudah berlangsung lama, dari sejak tahun 2003 saya berada di daerah ini. Terbukti, dalam rentang waktu belasan tahun, tak terlihat tanda-tanda perubahan di masjid dimaksud, ” ujar putra kelahiran Waihaong, ambon Maluku tersebut.
Menurutnya, kondisi yang sudah lama dialami masjid yang berada di depan Kantor Kecamatan Rasana,e Barat itu seolah membuktikan betapa minimnya tingkat kepedulian dan kesadaran rakyat kota Tepian Air. Terlebih, daerah ini dikenal masih sangat kental dengan nuansa agamaisnya. Namun, stempel itu seolah berbanding terbalik dengan kenyataan sesungguhnya, fakta jika selama belasan tahun masjid itu teramat menyedihkan. Artinya, rakyat daerah ini hampir tak memiliki kepedulian, kesadaranya masih sangat minim. Buktinya, masjid itu seolah dibiarkan dengan kondisi seperti itu. “Saya berani katakan soal ini karena faktanya memang demikian, kita orang timur tak bisa mengada-ngada, apa yang terlihat itulah yang disampaikan. Kenyataan yang terlihat selama 13 tahun, masjid itu tak terurus dan memperihatinkan, itu bukti tak terbantahkan,” tandasnya.
Ia membandingkan, perhatian dan kepedulian serta kesadaran rakyat di daerah lain teramat jauh berbeda ketimbang rakyat Kota Berteman ini. Indikatornya, dapat dilihat dari kondisi bangunan masjid yang ada, di Lombok misalnya hampir tidak ada sarana ibadah seperti di bima. Begitupun, dengan didaerah lain termasuk di Maluku tanah kelahirannya. Sementara, di daerah Maja Labo Dahu, kental dengan nuansa agamais justru sebaliknya.”Di sini, jangankan untuk yang baru, membangun seribu masjid seperti di lombok, kesadaran memperbaiki dan memelihara masjid yang sudah ada saja hampir nggak ada. Buktinya, kondisi masjid raya hanya seperti itu-itu saja,tak ada perubahan, malah kian memprihatinkan,” tuturnya.
Diakuinya, yang paling memalukan saat tamu penting yang berkunjung ke bima ngotot melaksanakan ibadah Sholat di masjid tersebut. Sehingga, mau tidak mau permintaan dalam kaitan itu harus dipenuhi. Meski, ujung-ujungnya harus tebal telinga mendengar komentar para tamu saat melihat kondisi masjid tersebut.”Walaupun bernada prihatin, tapi saya merasa malu mendengar komentar para tamu. Saya malu meski bukan putra asli bima, malu dengan kondisi bangunan itu. Cuman, apa iya pribumi asli bima juga merasa malu,” cetusnya bertanya.
Entah apa penyebabnya, masih menjadi tanda tanya besar, apakah terkendala anggaran ataukah terdapat faktor lain hingga memperhambat proses keberlanjutan pembangunan masjid itu. Tapi sepengetahuanya, pemerintah terus mengalokasikan anggaran untuk masjid dimaksud. Jadi sangat mustahil, pembangunan masjid itu tidak dapat dituntaskan, kalau saja anggaran tersebut dimanfaatkan sesuai aturan yang telah ditentukan. Idealnya, tuntas atau tidaknya pekerjaan tergantung ketersediaan anggaran. Berbeda imbuhnya, kalau seandainya pemerintah sama sekali tidak mengalokasikan anggaran.”Contoh nyata, pembangunan Kantor Walikota Bima, megah dan dirancang sedemikian rupa bak disulap. Sedangkan, masjidnya yang terlihat berubah hanya bagian Kubahnya,” terangnya.
Namun untuk mewujudkan hal itu, bukan saja dukungan dana. Tapi dibutuhkan kepedulian lebih-lebih kesadaran semua pihak, termasuk rakyat juga panitia pembangunan masjid yang telah terbentuk.”Kesadaran itu penting, menyadari betapa pentingnya menyelesaikan tempat ibadah itu. Saat ini, yang terpenting adalah bagaimana caranya mencarikan solusi terbaik untuk masjid tersebut,” pungkasnya. (KS-03)
Lukas kepada Koran Stabilitas mengatakan, meskipun dirinya bukan putra asli bima. Tapi sesungguhnya ia sangat prihatin dan miris dengan kondisi masjid itu. Mirisnya, karena keadaan salah satu Sarana Ibadah kebanggaan bagi Umat Islam kota itu seolah tak terurus dan terkesan luput dari perhatian semua pihak.” Seingat saya, kondisi memperihatinkan untuk masjid itu sudah berlangsung lama, dari sejak tahun 2003 saya berada di daerah ini. Terbukti, dalam rentang waktu belasan tahun, tak terlihat tanda-tanda perubahan di masjid dimaksud, ” ujar putra kelahiran Waihaong, ambon Maluku tersebut.
Menurutnya, kondisi yang sudah lama dialami masjid yang berada di depan Kantor Kecamatan Rasana,e Barat itu seolah membuktikan betapa minimnya tingkat kepedulian dan kesadaran rakyat kota Tepian Air. Terlebih, daerah ini dikenal masih sangat kental dengan nuansa agamaisnya. Namun, stempel itu seolah berbanding terbalik dengan kenyataan sesungguhnya, fakta jika selama belasan tahun masjid itu teramat menyedihkan. Artinya, rakyat daerah ini hampir tak memiliki kepedulian, kesadaranya masih sangat minim. Buktinya, masjid itu seolah dibiarkan dengan kondisi seperti itu. “Saya berani katakan soal ini karena faktanya memang demikian, kita orang timur tak bisa mengada-ngada, apa yang terlihat itulah yang disampaikan. Kenyataan yang terlihat selama 13 tahun, masjid itu tak terurus dan memperihatinkan, itu bukti tak terbantahkan,” tandasnya.
Ia membandingkan, perhatian dan kepedulian serta kesadaran rakyat di daerah lain teramat jauh berbeda ketimbang rakyat Kota Berteman ini. Indikatornya, dapat dilihat dari kondisi bangunan masjid yang ada, di Lombok misalnya hampir tidak ada sarana ibadah seperti di bima. Begitupun, dengan didaerah lain termasuk di Maluku tanah kelahirannya. Sementara, di daerah Maja Labo Dahu, kental dengan nuansa agamais justru sebaliknya.”Di sini, jangankan untuk yang baru, membangun seribu masjid seperti di lombok, kesadaran memperbaiki dan memelihara masjid yang sudah ada saja hampir nggak ada. Buktinya, kondisi masjid raya hanya seperti itu-itu saja,tak ada perubahan, malah kian memprihatinkan,” tuturnya.
Diakuinya, yang paling memalukan saat tamu penting yang berkunjung ke bima ngotot melaksanakan ibadah Sholat di masjid tersebut. Sehingga, mau tidak mau permintaan dalam kaitan itu harus dipenuhi. Meski, ujung-ujungnya harus tebal telinga mendengar komentar para tamu saat melihat kondisi masjid tersebut.”Walaupun bernada prihatin, tapi saya merasa malu mendengar komentar para tamu. Saya malu meski bukan putra asli bima, malu dengan kondisi bangunan itu. Cuman, apa iya pribumi asli bima juga merasa malu,” cetusnya bertanya.
Entah apa penyebabnya, masih menjadi tanda tanya besar, apakah terkendala anggaran ataukah terdapat faktor lain hingga memperhambat proses keberlanjutan pembangunan masjid itu. Tapi sepengetahuanya, pemerintah terus mengalokasikan anggaran untuk masjid dimaksud. Jadi sangat mustahil, pembangunan masjid itu tidak dapat dituntaskan, kalau saja anggaran tersebut dimanfaatkan sesuai aturan yang telah ditentukan. Idealnya, tuntas atau tidaknya pekerjaan tergantung ketersediaan anggaran. Berbeda imbuhnya, kalau seandainya pemerintah sama sekali tidak mengalokasikan anggaran.”Contoh nyata, pembangunan Kantor Walikota Bima, megah dan dirancang sedemikian rupa bak disulap. Sedangkan, masjidnya yang terlihat berubah hanya bagian Kubahnya,” terangnya.
Namun untuk mewujudkan hal itu, bukan saja dukungan dana. Tapi dibutuhkan kepedulian lebih-lebih kesadaran semua pihak, termasuk rakyat juga panitia pembangunan masjid yang telah terbentuk.”Kesadaran itu penting, menyadari betapa pentingnya menyelesaikan tempat ibadah itu. Saat ini, yang terpenting adalah bagaimana caranya mencarikan solusi terbaik untuk masjid tersebut,” pungkasnya. (KS-03)
COMMENTS