Polemik kehadiran PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP) yang berujung pada proses sengketa lahan dengan Pemerintah Desa dan warga di Desa Oi Katupa sejak dua tahun terakhir ini
Bima, KS.- Polemik kehadiran PT. Sanggar Agro Karya Persada (SAKP) yang berujung pada proses sengketa lahan dengan Pemerintah Desa dan warga di Desa Oi Katupa sejak dua tahun terakhir ini, menurut Kepala Dinas (Kadis) Perkebunan, Syaifuddin mengatakan bahwa yang paling tepat menjadi sumber berita tentang PT. SAKP adalah badan pertanahan dan pihak perusahaan sendiri.
Menurut dia, dasar Pemerintah Daerah adalah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Diakuinya, pihak Pemkab Bima dalam hal ini Dinas Perkebunan berperan jika pada proses investasi pihak perusahaan sudah pada masa produksi nanti.,
“Kami di Dinas Perkebunan akan berperan sebagai pendamping saat proses produksi nanti,” ujar Syaifuddin, via Massenger Facebook kepada Wartawan Koran Stabilitas, Selasa (6/9) kemarin.
Sementara itu, saat pertemuan Tim Investigasi membahas hasil kunjungan lapangan di Desa Oi Katupa, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bima Said Asa yang hadir pada rapat tersebut menjelaskan, pada tahun 1992 lalu, komoditi pertama yang akan dikerjakan oleh PT. SAKP adalah Kelapa Hibrida dan investasi pada bidang peternakan. Saat itu, diterbitkan dua sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Diakuinya, 598,8 hektar untuk usaha peternakan di terbitkan Serifikat HGU nomor 60/HGU/BPN/1996. Usia HGU yang diberikan kepada PT. SAKP sampai dengan tahun 2022.
Setelah itu, sambungnya, terbit sertifikat HGU ke dua (HGU nomoi 1 tahun 1999) dengan bentuk usaha Jambu Mete seluas 3.963 Hektar, yang akan berakhir sampai dengan tahun 2034.
“Berdasarkan data tersebut, ternyata PT. Sanggar Agro tidak melakukan usaha sebagaimana mestinya. Sehingga diberikan peringatan pertama berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010, tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar,” ujarnya, Kamis (1/9) pekan lalu.
Setelah diberikan peringatan, kata Said, PT. Sanggar Agro telah melakukan upaya untuk merubah usaha yang gagal terlaksana itu dengan usaha Kayu Putih, yang sekarang tengah berjalan. Dengan melaporkan permohonan izin kepada Pemerintah Kabupaten Bima, dengan IUP (Ijin Usaha Produksi) yang baru.
“Atas dasar itu, maka BPN Kabupaten Bima melakukan laporan pembuatan izin peralihan penggunaan komoditi dari Jambu Mente ke Kayu Putih pada Desember Tahun 2015,” sebutnya.
Pada intinya, menurut Said, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, maka pihaknya dari BPN masih menyatakan secara hukum Hak Guna Usaha Nomor 60 tahun 1996 maupun nomor 1 tahun 1999 itu secara formal dimiliki oleh PT. SAKP.
Kemudian berdasarkan musyawarah karena adanya penuntutan hak masyarakat di atas lokasi tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Bima dan PT. SAKP telah memberikan lokasi kepada masyarakat di Desa Kawinda Toi atau sekarang telah dimekarkan menjadi Desa Oi Katupa. Permintaan oleh Pemkab Bima seluas 125 Ha untuk lahan pemukiman, 100 Ha untuk lahan pertanian, yang disetujui oleh PT. SAKP adalah 50 Ha untuk lahan pemukiman dan 150 Ha untuk lahan pertanian masyarakat.
“Melihat dari konflik dan sengketa lahan yang terjadi, maka saran kami dari BPN harus ada langkah musyawarah duduk bersama. Sikap dan kebijakannya pun harus hati-hati. Intinya, musyawarah yang difasilitasi oleh Pemrintah antara PT. SAKP dan masyarakat penting harus dilakukan untuk melahirkan solusi yang baik,” tandasnya.
Di sisi lainnya, pihak PT. SAKP melalui bagian humasnya Edy mengatakan, soal legalitas dan izin silahkan bagi pihak yang merasa ada permasalahan hukumnya terkait keberadaan PT. SAKP silahkan melaporkan ke pihak yang berwajib.
“Kami tidak mungkin datang jauh-jauh membuang uang dan berinvestasi di Bima, jika izin dan pegangangan kami tidak kuat. Dan soal lahan untuk masyarakat Desa Oi Katupa sudah kami berikan,” tandas Edy via handphonenya belum lama ini. (KS-08)
Menurut dia, dasar Pemerintah Daerah adalah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Diakuinya, pihak Pemkab Bima dalam hal ini Dinas Perkebunan berperan jika pada proses investasi pihak perusahaan sudah pada masa produksi nanti.,
“Kami di Dinas Perkebunan akan berperan sebagai pendamping saat proses produksi nanti,” ujar Syaifuddin, via Massenger Facebook kepada Wartawan Koran Stabilitas, Selasa (6/9) kemarin.
Sementara itu, saat pertemuan Tim Investigasi membahas hasil kunjungan lapangan di Desa Oi Katupa, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bima Said Asa yang hadir pada rapat tersebut menjelaskan, pada tahun 1992 lalu, komoditi pertama yang akan dikerjakan oleh PT. SAKP adalah Kelapa Hibrida dan investasi pada bidang peternakan. Saat itu, diterbitkan dua sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Diakuinya, 598,8 hektar untuk usaha peternakan di terbitkan Serifikat HGU nomor 60/HGU/BPN/1996. Usia HGU yang diberikan kepada PT. SAKP sampai dengan tahun 2022.
Setelah itu, sambungnya, terbit sertifikat HGU ke dua (HGU nomoi 1 tahun 1999) dengan bentuk usaha Jambu Mete seluas 3.963 Hektar, yang akan berakhir sampai dengan tahun 2034.
“Berdasarkan data tersebut, ternyata PT. Sanggar Agro tidak melakukan usaha sebagaimana mestinya. Sehingga diberikan peringatan pertama berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010, tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar,” ujarnya, Kamis (1/9) pekan lalu.
Setelah diberikan peringatan, kata Said, PT. Sanggar Agro telah melakukan upaya untuk merubah usaha yang gagal terlaksana itu dengan usaha Kayu Putih, yang sekarang tengah berjalan. Dengan melaporkan permohonan izin kepada Pemerintah Kabupaten Bima, dengan IUP (Ijin Usaha Produksi) yang baru.
“Atas dasar itu, maka BPN Kabupaten Bima melakukan laporan pembuatan izin peralihan penggunaan komoditi dari Jambu Mente ke Kayu Putih pada Desember Tahun 2015,” sebutnya.
Pada intinya, menurut Said, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, maka pihaknya dari BPN masih menyatakan secara hukum Hak Guna Usaha Nomor 60 tahun 1996 maupun nomor 1 tahun 1999 itu secara formal dimiliki oleh PT. SAKP.
Kemudian berdasarkan musyawarah karena adanya penuntutan hak masyarakat di atas lokasi tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Bima dan PT. SAKP telah memberikan lokasi kepada masyarakat di Desa Kawinda Toi atau sekarang telah dimekarkan menjadi Desa Oi Katupa. Permintaan oleh Pemkab Bima seluas 125 Ha untuk lahan pemukiman, 100 Ha untuk lahan pertanian, yang disetujui oleh PT. SAKP adalah 50 Ha untuk lahan pemukiman dan 150 Ha untuk lahan pertanian masyarakat.
“Melihat dari konflik dan sengketa lahan yang terjadi, maka saran kami dari BPN harus ada langkah musyawarah duduk bersama. Sikap dan kebijakannya pun harus hati-hati. Intinya, musyawarah yang difasilitasi oleh Pemrintah antara PT. SAKP dan masyarakat penting harus dilakukan untuk melahirkan solusi yang baik,” tandasnya.
Di sisi lainnya, pihak PT. SAKP melalui bagian humasnya Edy mengatakan, soal legalitas dan izin silahkan bagi pihak yang merasa ada permasalahan hukumnya terkait keberadaan PT. SAKP silahkan melaporkan ke pihak yang berwajib.
“Kami tidak mungkin datang jauh-jauh membuang uang dan berinvestasi di Bima, jika izin dan pegangangan kami tidak kuat. Dan soal lahan untuk masyarakat Desa Oi Katupa sudah kami berikan,” tandas Edy via handphonenya belum lama ini. (KS-08)
COMMENTS