Kesepakatan dilanggar oleh Dewan, kunjungan tersebut yang tertuang dalam surat justeru membahas persoalan Hak Guna Usaha (HGU) PT. SAKP.
Bima, KS.- Setelah menggelar aksi long march (aksi jalan kaki) dari Kecamtan Tambora menuju kantor DPRD Kabupaten Bima selama tiga hari perjalanan. Ratusan masyarakat asal Desa Oi Katupa sempat beraudensi dengan Ketua DPRD Kabupaten Bima, Murni Suciyati, Kamis (25/8) pekan lalu. Keputusan pertemuan tersebut diantaranya akan menindaklanjuti sengketa agraria antara warga Desa Oi Katupa dengan PT. SAKP dengan mengunjungi langsung lahan sengketa di Kecamatan Tambora antara tim dari DPRD Kabupaten Bima dan perwakilan massa dari Desa Oi Katupa, Jumat (26/8) lalu.
DPRD Kabupaten Bima
“Kami akan mendatangi lokasi sengketa bersama anggota DPRD, untuk melihat dan mengevaluasi langsung kondisi wilayah yang bermasalah tersebut,” ungkap M. Amin alias Zhego, kordinator Humas kepada beberapa wartawan di gedung DPRD Kabupaten Bima, Kamis (25/8) pekan lalu.
Menurut Zhego, warga yang ikut meninjau lokasi lahan ke Kecamatan Tambora bersama anggota dewan hanya sebagian saja. “Sedangkan sebagian warga Desa Oi Katupa yang lainnya tetap berada di kantor Dewan, sembari menunggu hasil tinjauan lokasi di Desa Oi Katupa,” tandasnya.
Kesepakatan lain, sambung dia, Anggota DPRD Kabupaten Bima telah sepakat dalam menyelesaikan konflik agraria ini harus mengedepankan regulasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pemekaran 23 Desa se-Kabupaten Bima.
” Anggota dewan sepakat agar menyelesaikan persoalan ini harus berpedoman pada Perda tersebut,” ujarnya.
Dia menambahkan, saat ini warga Desa Oi Katupa yang berada di Kantor DPRD Kabupaten Bima tidak dizinkan untuk menginap di halaman kantor tersebut. Kendati demikian, pihaknya akan mencari lokasi lain untuk tempat tinggal sementara ini
“Perjuangan ini telah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan. Kami rakyat Desa Oi Katupa berkomitmen harus membawa pulang rekomendasi pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sanggar Agro Karya Persada sebagai tujuan akhir dari perjuangan panjang ini. Dan selama ini, kami lelah dieksploitasi dan dirampas tanah dan kehidupan kami dengan hadirnya PT. SAKP di Kecamatan Tambora,” tegasnya
Sementara itu, sepulang anggota DPRD dari Kecamatan Tambora, Kepala Desa Oi Katupa Muhidin menyesalkan sikap Pimpinan DPRD Kabupaten Bima yang melanggar kesepakatan saat turun ke meninjau lokasi lahan sengketa di Kecamatan Tambora.
“Kesepakatan dilanggar oleh Dewan, kunjungan tersebut yang tertuang dalam surat justeru membahas persoalan Hak Guna Usaha (HGU) PT. SAKP. Padahal, saat rapat bersama dengan Ibu Ketua DPRD Kabupaten Bima bersama perwakilan massa aksi, telah disepakati yang diangkat saat turun bersama yakni masalah penyelamatan Perda nomor 2 tahun 2012 tentang Pemekaran 23 Desa yang di dalamnya termasuk Desa Oi Katupa hasil Pemekaran
dari Desa Kawinda Toi,,” urainya saat diwawancara via handponenya, Selasa (30/8) kemarin.
Diakui Muhidin, kesepakatan yang telah dilanggar tersebut sangat melukai perasaan rakyat yang hadir berjalan kaki dan menggelar aksi di depan Kantor DPRD Kabupaten Bima. Sebab, yang menjadi masalah dasar, PT. SAKP telah melakukan aktifitas di wilayah hukum Desa Oi Katupa.
“Warga sudah lama merasa terusik dengan aktifitas PT. SAKP di Desa Oi Katupa. Sehingga menanyakan tentang legalitas desa yang diamanatkan oleh Perda,” ungkapnya.
Pada prinsipnya, sambung Muhidin, warga pihaknya mempersilahkan PT. SAKP beraktifitas. Tapi tidak di wilayah hukum Desa Oi Katupa. Karena, wilayah Desa Oi Katupa yang diambil oleh PT. SAKP sekitar 5.000 Ha. Sementara yang sudah digusur oleh PT. SAKP lebih kurang 3.000 Ha.
“Makanya kami tidak ingin meninjau bersama dewan, jika yang akan dibahas masalah HGU. Biarkan HGU itu menjadi urusan pemerintah. Kami ingin berdasarkan kesepakatan awal, meninjau untuk mempertahankan Perda,” tegasnya.
Menurutnya, hingga saat ini, hasil investigasi Wakil Rakyat tersebut belum disampaikan kembali kepada masyarakat yang sudah berhuni hampirt satu pekan di halaman kantor eks Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima.
“Kami masih menunggu konfirmasi dari anggota dewan terkait hasil kunjungan mereka di Kecamatan Tambora hari Jum’at (26/8) lalu. Semestinya, Ibu Ketua memanggil kami yang menunggu berhari-hari ini guna melanjutkan pembahasan guna mencari solusi dari permasalahan yang ada. Tampaknya, dari sikap dewan terhadap kami, sudah memandang sebelah mata. Dan membiarkan kami dalam ketidakpastian dan seolah kesalahan adalah mutlak berada di pihak kami saja,” cetusnya.
Ia menambahkan, sudah hampir seminggu rakyat Desa Oi Katupa menetap dan mengharapkan aspirasi dan permintaan rekomendasi penghapusan HGU PT. SAKP oleh DPRD Kabupaten Bima. Namun, Kata dia, keberadaan rakyat Desa Oi Katupa yang tak ubahnya sebagai pengungsi korban bencana alam ini tidak ada perhatian dari pemerintah.
“Walau mata hati pemerintah sudah tertutup atas pencitraan dan modal yang dimiliki PT. SAKP, intinya, kehadiran kami di kantor Wakil Rakyat ingin mendapatkan rekomendasi penghapusan HGU PT. SAKP dan menegakkan Perda,” tegas Muhidin.
Ditegaskannya, warga memiliki bukti soal penggusuran lahan warga Desa Oi Katupa. Diakuinya, tanah-tanah yang dikuasai oileh PT. SAKP, sejak tahun 2009 dokumen SPPT sudah tertuang nama para warga.
“Hal ini yang membuat masyarakat tetap bertahan memperjuangkan haknya. Pemerintah harus menegakkan Perda Pemekaran Desa. Dan lahan 5000 Ha harus dikembalikan kepada masyarakat, apalagi sejak tahun 2009 masyarakat sudah membayar pajak dan memiliki SPPT,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II Suryadin menjelaskan, pihaknya sudah mengajak warga, terutama Kepala Desa Oi Katupa untuk sama sama turun meninjau lokasi. Namun, Pak Kades membatalkan turun bersama ke lokasi.
“Mestinya, tanpa diajak Kepala Desa memiliki inisiatif untuk mengajak rakyatnya agar sama sama turun meninjau bersama kami, agar kami bisa mengetahui persis persoalan yang terjadi di Tambora atas keluh kesah dan aspirasi Kades Oi Katupa secara langsung,” paparnya.
Ia pun mengungkapkan ada perbedaan persepsi antara masyarakat dan PT. SAKP soal Perda dan Hak Guna Usaha (HGU). Diakuinya, keberadaan Perda tidak bisa mengusik keberadaan investasi walau dia berada di wilayah administrasi sebuah daerah.
“Pada prinsipnya, persoalan GHU sebagai lahan usaha dan Perda sebagai lahan pemukiman warga, jika dibicarakan baik-baik dan pihak pemerintah dan perusahaan memberikan sosialisasi dan pengertian yang intens kepada masyarakat. Masalah ini akan cepat mendapatkan solusinya,” ujar duta Partai Golkar itu, Selasa (30/8), di ruang Komisi II.
Lanjut Suryadin, karena tidak adanya sosialisasi yang masif dari PT. SAKP dan Pemerintah Daerah (Pemda) menyebabkan adanya pemahaman keliru dari sebagian rakyat desa setempat. Karena berdasarkan hasil investigasi tim ditemukan kenyataan ditemukan fakta lain yang tidak sesuai dengan tuntutan massa aksi.
“Seperti masalah kuburan yang disuarakan telah dibongkar, fakta lapangan justeru tidak terjadi. Kemudian air, hanya sebagian kecil dimanfaatkan PT Sanggar Agro. Namun kenyataannya, air tetap mengalir, kendati tidak sampai ke jalan karena musim kemarau. Dan harus dibedakan antara wilayah administrasi dan wilayah usaha. Karena bisa saja orang berusaha di wilayah adminitrasi manapun,” tandasnya.
DPRD Kabupaten Bima
“Kami akan mendatangi lokasi sengketa bersama anggota DPRD, untuk melihat dan mengevaluasi langsung kondisi wilayah yang bermasalah tersebut,” ungkap M. Amin alias Zhego, kordinator Humas kepada beberapa wartawan di gedung DPRD Kabupaten Bima, Kamis (25/8) pekan lalu.
Menurut Zhego, warga yang ikut meninjau lokasi lahan ke Kecamatan Tambora bersama anggota dewan hanya sebagian saja. “Sedangkan sebagian warga Desa Oi Katupa yang lainnya tetap berada di kantor Dewan, sembari menunggu hasil tinjauan lokasi di Desa Oi Katupa,” tandasnya.
Kesepakatan lain, sambung dia, Anggota DPRD Kabupaten Bima telah sepakat dalam menyelesaikan konflik agraria ini harus mengedepankan regulasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pemekaran 23 Desa se-Kabupaten Bima.
” Anggota dewan sepakat agar menyelesaikan persoalan ini harus berpedoman pada Perda tersebut,” ujarnya.
Dia menambahkan, saat ini warga Desa Oi Katupa yang berada di Kantor DPRD Kabupaten Bima tidak dizinkan untuk menginap di halaman kantor tersebut. Kendati demikian, pihaknya akan mencari lokasi lain untuk tempat tinggal sementara ini
“Perjuangan ini telah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan. Kami rakyat Desa Oi Katupa berkomitmen harus membawa pulang rekomendasi pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sanggar Agro Karya Persada sebagai tujuan akhir dari perjuangan panjang ini. Dan selama ini, kami lelah dieksploitasi dan dirampas tanah dan kehidupan kami dengan hadirnya PT. SAKP di Kecamatan Tambora,” tegasnya
Sementara itu, sepulang anggota DPRD dari Kecamatan Tambora, Kepala Desa Oi Katupa Muhidin menyesalkan sikap Pimpinan DPRD Kabupaten Bima yang melanggar kesepakatan saat turun ke meninjau lokasi lahan sengketa di Kecamatan Tambora.
“Kesepakatan dilanggar oleh Dewan, kunjungan tersebut yang tertuang dalam surat justeru membahas persoalan Hak Guna Usaha (HGU) PT. SAKP. Padahal, saat rapat bersama dengan Ibu Ketua DPRD Kabupaten Bima bersama perwakilan massa aksi, telah disepakati yang diangkat saat turun bersama yakni masalah penyelamatan Perda nomor 2 tahun 2012 tentang Pemekaran 23 Desa yang di dalamnya termasuk Desa Oi Katupa hasil Pemekaran
dari Desa Kawinda Toi,,” urainya saat diwawancara via handponenya, Selasa (30/8) kemarin.
Diakui Muhidin, kesepakatan yang telah dilanggar tersebut sangat melukai perasaan rakyat yang hadir berjalan kaki dan menggelar aksi di depan Kantor DPRD Kabupaten Bima. Sebab, yang menjadi masalah dasar, PT. SAKP telah melakukan aktifitas di wilayah hukum Desa Oi Katupa.
“Warga sudah lama merasa terusik dengan aktifitas PT. SAKP di Desa Oi Katupa. Sehingga menanyakan tentang legalitas desa yang diamanatkan oleh Perda,” ungkapnya.
Pada prinsipnya, sambung Muhidin, warga pihaknya mempersilahkan PT. SAKP beraktifitas. Tapi tidak di wilayah hukum Desa Oi Katupa. Karena, wilayah Desa Oi Katupa yang diambil oleh PT. SAKP sekitar 5.000 Ha. Sementara yang sudah digusur oleh PT. SAKP lebih kurang 3.000 Ha.
“Makanya kami tidak ingin meninjau bersama dewan, jika yang akan dibahas masalah HGU. Biarkan HGU itu menjadi urusan pemerintah. Kami ingin berdasarkan kesepakatan awal, meninjau untuk mempertahankan Perda,” tegasnya.
Menurutnya, hingga saat ini, hasil investigasi Wakil Rakyat tersebut belum disampaikan kembali kepada masyarakat yang sudah berhuni hampirt satu pekan di halaman kantor eks Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima.
“Kami masih menunggu konfirmasi dari anggota dewan terkait hasil kunjungan mereka di Kecamatan Tambora hari Jum’at (26/8) lalu. Semestinya, Ibu Ketua memanggil kami yang menunggu berhari-hari ini guna melanjutkan pembahasan guna mencari solusi dari permasalahan yang ada. Tampaknya, dari sikap dewan terhadap kami, sudah memandang sebelah mata. Dan membiarkan kami dalam ketidakpastian dan seolah kesalahan adalah mutlak berada di pihak kami saja,” cetusnya.
Ia menambahkan, sudah hampir seminggu rakyat Desa Oi Katupa menetap dan mengharapkan aspirasi dan permintaan rekomendasi penghapusan HGU PT. SAKP oleh DPRD Kabupaten Bima. Namun, Kata dia, keberadaan rakyat Desa Oi Katupa yang tak ubahnya sebagai pengungsi korban bencana alam ini tidak ada perhatian dari pemerintah.
“Walau mata hati pemerintah sudah tertutup atas pencitraan dan modal yang dimiliki PT. SAKP, intinya, kehadiran kami di kantor Wakil Rakyat ingin mendapatkan rekomendasi penghapusan HGU PT. SAKP dan menegakkan Perda,” tegas Muhidin.
Ditegaskannya, warga memiliki bukti soal penggusuran lahan warga Desa Oi Katupa. Diakuinya, tanah-tanah yang dikuasai oileh PT. SAKP, sejak tahun 2009 dokumen SPPT sudah tertuang nama para warga.
“Hal ini yang membuat masyarakat tetap bertahan memperjuangkan haknya. Pemerintah harus menegakkan Perda Pemekaran Desa. Dan lahan 5000 Ha harus dikembalikan kepada masyarakat, apalagi sejak tahun 2009 masyarakat sudah membayar pajak dan memiliki SPPT,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II Suryadin menjelaskan, pihaknya sudah mengajak warga, terutama Kepala Desa Oi Katupa untuk sama sama turun meninjau lokasi. Namun, Pak Kades membatalkan turun bersama ke lokasi.
“Mestinya, tanpa diajak Kepala Desa memiliki inisiatif untuk mengajak rakyatnya agar sama sama turun meninjau bersama kami, agar kami bisa mengetahui persis persoalan yang terjadi di Tambora atas keluh kesah dan aspirasi Kades Oi Katupa secara langsung,” paparnya.
Ia pun mengungkapkan ada perbedaan persepsi antara masyarakat dan PT. SAKP soal Perda dan Hak Guna Usaha (HGU). Diakuinya, keberadaan Perda tidak bisa mengusik keberadaan investasi walau dia berada di wilayah administrasi sebuah daerah.
“Pada prinsipnya, persoalan GHU sebagai lahan usaha dan Perda sebagai lahan pemukiman warga, jika dibicarakan baik-baik dan pihak pemerintah dan perusahaan memberikan sosialisasi dan pengertian yang intens kepada masyarakat. Masalah ini akan cepat mendapatkan solusinya,” ujar duta Partai Golkar itu, Selasa (30/8), di ruang Komisi II.
Lanjut Suryadin, karena tidak adanya sosialisasi yang masif dari PT. SAKP dan Pemerintah Daerah (Pemda) menyebabkan adanya pemahaman keliru dari sebagian rakyat desa setempat. Karena berdasarkan hasil investigasi tim ditemukan kenyataan ditemukan fakta lain yang tidak sesuai dengan tuntutan massa aksi.
“Seperti masalah kuburan yang disuarakan telah dibongkar, fakta lapangan justeru tidak terjadi. Kemudian air, hanya sebagian kecil dimanfaatkan PT Sanggar Agro. Namun kenyataannya, air tetap mengalir, kendati tidak sampai ke jalan karena musim kemarau. Dan harus dibedakan antara wilayah administrasi dan wilayah usaha. Karena bisa saja orang berusaha di wilayah adminitrasi manapun,” tandasnya.
COMMENTS