Penolakan terhadap keberadaan Pura Agung Udaya Parwata di Tambora (sebelumnya disebut Pura Jagad Agung Tambora) belakangan mulai gencar diserukan beberapa Ormas Islam di Bima dan Dompu
Penolakan terhadap keberadaan Pura Agung Udaya Parwata di Tambora (sebelumnya disebut Pura Jagad Agung Tambora) belakangan mulai gencar diserukan beberapa Ormas Islam di Bima dan Dompu, tak terkecuali Majelis Ulama Indonesia dua wilayah. Namun, Camat Tambora Kabupaten Bima, Drs. Mahmud membantah jika warganya dikabarkan menolak keberadaan rumah ibadah umat Hindu itu.
Menurut Camat, warga keberadaan Pura itu sama sekali tidak mendapat penolakan dari warga Desa Oi Bura Kecamatan Tambora. Hanya saja, yang dipermasalahka wargan keberadaan bak yang dibangun diatas mata air. “Siapa yang bilang ada warga menolak keberadaan Pura, Pemkab Bima juga tidak ada masalah, kan sudah ada rekomendasi dari Bupati Zainul Arifin,” kata Camat, Senin (20/10) kemarin di Tambora.
Diakuinya, keberadaan bak air yang ditolak warga itu sudah disepakati untuk dibongkar. Sebab dikuatirkan tidak lagi bisa dimanfaatkan lagi oleh warga untuk berbagai kebutuhan. “Disekitar Pura tersebut ada dua bak besar, dibangun sejak zaman Belanda dan digunakan oleh warga Dusun Pancasila, Desa Tambora Kabupaten Dompu dan sekitarnya,” jelasnya.
Namun sambungnya, dua bak air besar itu berbeda tempatnya dengan bak air yang dianggap suci oleh umat Hindu disekitar Pura. Dirinya juga meminta kepada MUI dan organisasi Islam yang menolak keberadaan Pura, untuk turun langsung ke Desa Oi Bura dan melihat kondisinya. “MUI turun langsunglah, biar melihat apa yang sebenarnya ada di Pura itu,” sarannya.
Sementara itu, warga Dusun Pancasila Desa Tambora, Nurwahidah dan Siti Hawa juga mengakui jika menolak keberadaan bangunan diatas mata air tersebut. “Ada bangunan diatas mata air, dibangun tanpa memberitahu Kepala Desa Tambora,” katanya. Mereka khawatir air yang sudah digunakan atau sisa pakai umat Hindu, kemudian dipakai oleh masyarakat setempat. “Tapi bangunan itu sudah dibongkar,” ujarnya.
Tak hanya itu, Pura yang sebelumnya dikabarkan terbesar se-Asia Tenggara itu ternyata tidak seluas seperti informasi yang beredar. Bangunan Pura itu lebarnya hanya 38 meter dan panjang 74 meter. Hal itu diungkapkan Pamangku Pura Agung Udaya Parwata, Jero Mangku Gede Tambora. “Luas bangunan Pura ini hanya lebar 38 meter dan panjang 74 meter. Saya tidak tahu kalau Pura ini yang terbesar. Tapi anda bisa lihat sendiri, apakah ini Pura terbesar se Asia Tenggara atau tidak. Sementara masih banyak Pura lain di Indonesia yang lebih besar dari ini,” ujar Jero kepada sejumlah wartawan, Senin (20/10) kemarin.
Pamangku Pura sejak Tahun 2005 itu menceritakan, awalnya rumah ibadah itu dibangun untuk ibadah karyawan Perusahaan PT. Banyu Aji, sekitar Tahun 1980-an silam. Karyawan yang beragama Islam dan Kristen juga diberikan hak sama, untuk membangun tempat ibadah. “Sebelum anda tiba di Pura ini, melewati jalur jalan yang sama, pasti melihat Masjid dan Gereja dari kayu yang juga dibangun untuk karyawan PT. Banyu Aji. Karyawan beribadah dengan damai dan saling menghormati,” jelasnya.
Sementara untuk karyawan umat Hindu lanjutnya, juga meminta lahan yang sama untuk membangun tempat ibadah. Dan pada tahun 1984 silam, Pura di Desa Oi Bura Kecamatan Tambora Kabupaten Bima pertama kali didirikan. Kemudian direnovasi, setelah ada izin pemugaran dari mantan Bupati Bima Tahun 2004 lalu. “Renovasinya juga diberitahu kepada Kepala Desa dan Camat setempat. Bahkan saat itu Peletakan batu pertama dilakukan mantan Bupati Dompu, Ompu Beko, dan dihadiri oleh pejabat. Waktu itu, ramai pejabat yang datang,” katanya.
Diakuinya, luas lahan Pura memang awalnya tidak besar. Sewaktu pemugaran, luas lahan menjadi dua Hektar. “Jadi setahu saya, hanya lahannya yang mungkin luas, bukan pura,” terangnya. Mengenai dinamika penolakan warga tentang keberadaan Pura tersebut, pria berusia 68 Tahun itu mengakui tidak tahu. “Saya disini hanya beribadah dan membersihkan Pura. Saya tidak tahu masalah penolakan warga,” kata pria yang mulai datang ke Bima tahun 1985 ini.
Ditanya jumlah umat Hindu di Desa Oi Bura, pria yang pernah tinggal di Desa Tente itu mengakui jumlahnya sekitar 180 orang. Sementara yang sering datang untuk beribadah di Pura tersebut yakni masyarakat dari Bima, Dompu dan Sumbawa. Jero menambahkan, pada tanggal 9 September Tahun 2014, kegiatan yang ramai didatangi oleh umat Hindu itu, merupakan ulang Tahun Pura yang ke 30, bukan peresmian. (KS-13)
Menurut Camat, warga keberadaan Pura itu sama sekali tidak mendapat penolakan dari warga Desa Oi Bura Kecamatan Tambora. Hanya saja, yang dipermasalahka wargan keberadaan bak yang dibangun diatas mata air. “Siapa yang bilang ada warga menolak keberadaan Pura, Pemkab Bima juga tidak ada masalah, kan sudah ada rekomendasi dari Bupati Zainul Arifin,” kata Camat, Senin (20/10) kemarin di Tambora.
Diakuinya, keberadaan bak air yang ditolak warga itu sudah disepakati untuk dibongkar. Sebab dikuatirkan tidak lagi bisa dimanfaatkan lagi oleh warga untuk berbagai kebutuhan. “Disekitar Pura tersebut ada dua bak besar, dibangun sejak zaman Belanda dan digunakan oleh warga Dusun Pancasila, Desa Tambora Kabupaten Dompu dan sekitarnya,” jelasnya.
Namun sambungnya, dua bak air besar itu berbeda tempatnya dengan bak air yang dianggap suci oleh umat Hindu disekitar Pura. Dirinya juga meminta kepada MUI dan organisasi Islam yang menolak keberadaan Pura, untuk turun langsung ke Desa Oi Bura dan melihat kondisinya. “MUI turun langsunglah, biar melihat apa yang sebenarnya ada di Pura itu,” sarannya.
Sementara itu, warga Dusun Pancasila Desa Tambora, Nurwahidah dan Siti Hawa juga mengakui jika menolak keberadaan bangunan diatas mata air tersebut. “Ada bangunan diatas mata air, dibangun tanpa memberitahu Kepala Desa Tambora,” katanya. Mereka khawatir air yang sudah digunakan atau sisa pakai umat Hindu, kemudian dipakai oleh masyarakat setempat. “Tapi bangunan itu sudah dibongkar,” ujarnya.
Tak hanya itu, Pura yang sebelumnya dikabarkan terbesar se-Asia Tenggara itu ternyata tidak seluas seperti informasi yang beredar. Bangunan Pura itu lebarnya hanya 38 meter dan panjang 74 meter. Hal itu diungkapkan Pamangku Pura Agung Udaya Parwata, Jero Mangku Gede Tambora. “Luas bangunan Pura ini hanya lebar 38 meter dan panjang 74 meter. Saya tidak tahu kalau Pura ini yang terbesar. Tapi anda bisa lihat sendiri, apakah ini Pura terbesar se Asia Tenggara atau tidak. Sementara masih banyak Pura lain di Indonesia yang lebih besar dari ini,” ujar Jero kepada sejumlah wartawan, Senin (20/10) kemarin.
Pamangku Pura sejak Tahun 2005 itu menceritakan, awalnya rumah ibadah itu dibangun untuk ibadah karyawan Perusahaan PT. Banyu Aji, sekitar Tahun 1980-an silam. Karyawan yang beragama Islam dan Kristen juga diberikan hak sama, untuk membangun tempat ibadah. “Sebelum anda tiba di Pura ini, melewati jalur jalan yang sama, pasti melihat Masjid dan Gereja dari kayu yang juga dibangun untuk karyawan PT. Banyu Aji. Karyawan beribadah dengan damai dan saling menghormati,” jelasnya.
Sementara untuk karyawan umat Hindu lanjutnya, juga meminta lahan yang sama untuk membangun tempat ibadah. Dan pada tahun 1984 silam, Pura di Desa Oi Bura Kecamatan Tambora Kabupaten Bima pertama kali didirikan. Kemudian direnovasi, setelah ada izin pemugaran dari mantan Bupati Bima Tahun 2004 lalu. “Renovasinya juga diberitahu kepada Kepala Desa dan Camat setempat. Bahkan saat itu Peletakan batu pertama dilakukan mantan Bupati Dompu, Ompu Beko, dan dihadiri oleh pejabat. Waktu itu, ramai pejabat yang datang,” katanya.
Diakuinya, luas lahan Pura memang awalnya tidak besar. Sewaktu pemugaran, luas lahan menjadi dua Hektar. “Jadi setahu saya, hanya lahannya yang mungkin luas, bukan pura,” terangnya. Mengenai dinamika penolakan warga tentang keberadaan Pura tersebut, pria berusia 68 Tahun itu mengakui tidak tahu. “Saya disini hanya beribadah dan membersihkan Pura. Saya tidak tahu masalah penolakan warga,” kata pria yang mulai datang ke Bima tahun 1985 ini.
Ditanya jumlah umat Hindu di Desa Oi Bura, pria yang pernah tinggal di Desa Tente itu mengakui jumlahnya sekitar 180 orang. Sementara yang sering datang untuk beribadah di Pura tersebut yakni masyarakat dari Bima, Dompu dan Sumbawa. Jero menambahkan, pada tanggal 9 September Tahun 2014, kegiatan yang ramai didatangi oleh umat Hindu itu, merupakan ulang Tahun Pura yang ke 30, bukan peresmian. (KS-13)
COMMENTS