Lantaran dianggap membela Ormas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bima dikritik warga Kelurahan Manggemaci dan beberapa peserta rapat
Lantaran dianggap membela Ormas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bima dikritik warga Kelurahan Manggemaci dan beberapa peserta rapat koordinasi yang diadakan Badan Kesbangpolinmas Kota Bima di Hotel Camelia, Jumat kemarin.
Dalam rapat dengan agenda membahas gangguan keamanan dan LDII di Kota Bima itu, Ketua MUI Kota Bima, Drs HM Saleh H. Abubakar mengaku pihaknya saat ini hanya akan memberikan pembinaan terhadap LDII dan belum akan membubarkannya. Dia beralasan karena LDII sudah bertobat dan menyatakan siap kembali ke ajaran Islam yang sebenarnya.
“Dalam hasil Munasnya, LDII telah menyampaikan ke MUI Pusat untuk menerapkan paradigma baru dengan delapan poin komitmen kembali ke ajaran Islam sebenarnya. Para petinggi mereka juga telah menyatakan bertobat sehingga kewajiban kita sekarang untuk membinanya,” jelasnya.
Soal rencana pembangunan Masjid Al Fattah milik LDII, menurutnya warga tidak harus menolak karena LDII telah berkomitmen untuk membuka diri dengan masyarakat. Masjid yang ada diakui tidak dikhususkan untuk jama’ah LDII saja tetapi terbuka untuk semua umat Islam. Permasalahan ada masjid lain disamping tidak menjadi masalah karena di daerah lain juga banyak yang seperti itu.
“Persoalan ibadah kan tidak bisa kita melarang orang, apalagi sholat jum’at. Hanya saja, keberadaan LDII tetap harus dikontrol dan mereka saat ini dibawah bimbingan MUI. Lagipula, kita hanya mengacu pada surat rekomendasi yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bima melalui instansi terkait,” imbuhnya.
Menyikapi pernyataan Ketua MUI Kota Bima, Tokoh Ormas Persis, Ustad H Ajrun Sulaiman menilai, MUI tidak konsisten dalam menjalankan aturan. Padahal, sejak dulu LDII telah difatwakan sesat dan dilarang untuk beraktivitas, baik di pusat maupun di daerah sehingga tidak perlu dibahas lagi. Bahkan, Bupati Bima Tahun 2000 lalu telah mengeluarkan surat penghentian aktivitas LDII di Bima. Persoalan LDII bertobat, menurutnya sudah banyak bukti bahwa mereka menghalalkan kebohongan karena dianggap sebagai kebaikan.
Itu terlihat sambungnya, dari beberapa kali penggantian nama LDII ternyata hanya luarnya saja yang berubah tetapi isinya tetap sesat. “Kami mempertanyakan acuan MUI ingin membina LDII, karena surat Bupati Bima sampai saat ini setahu kami belum dicabut dan masih berlaku,” ujarnya.
Tokoh Pemuda Manggemaci, Farhan juga mengkritik pernyataan Ketua MUI Kota Bima yang terkesan membela LDII. Menurutnya, pernyataan seperti itu akan membuat masyarakat bingung karena muncul kembali legitimasi dai MUI mengenai eksistensi LDII di Bima. Padahal, sudah jelas LDII dicap sesat oleh MUI sendiri ketika mencuat masalah yang sama di Bima dulu. Bahkan, atas dasar surat dari Bupati Bima masjid yang dibangun LDII disegel waktu itu.
“Sekarang kok LDII ingin diberikan tempat lagi, kami bingung dengan MUI. Apa bedanya MUI sekarang dengan dulu, ini hanya akan semakin membuat polemik di masyarakat. Dipaksakan seperti apapun kami tetap akan menolak, kecuali mereka mencari tempat lain selain di Manggemaci,” terangnya.
Kepala Badan Kesbangpolinmas, Ahmad Fachtoni juga ikut memberikan klarifikasi terkait pernyataan Ketua MUI soal rekomendasi dari Pemerintah Kota Bima. Diakuinya, rekomendasi yang dikeluarkan Badan Kesbangpolinmas bukan tentang aktivitas LDII tetapi rekomendasi terdaftar sebagai Ormas legal di Kota Bima. “Rekomendasi ini kan memang harus ada didiperbaharui setiap lima tahun sekali,” jelasnya.
Namun, anggapan berpihak kepada LDII dibantah Ketua MUI Kota Bima. Yasin menegaskan bahwa pihaknya ingin berperan sesuai dengan kapasitas dan kewenangan yang diemban MUI dan tak sedikitpun ingin membela LDII. “Karena mereka sudah menerapkan paradigma baru, kami berkewajiban untuk membinanya. Berdosa kalau ada yang su’udzon (prasangka buruk) kepada MUI,” ujarnya.
Rapat koordinasi yang dipandu Sekretaris FKUB Kota Bima, Eka Iskandar itu berakhir tanpa kesimpulan. Namun, untuk mempertemukan pendapat tersebut dan mengambil keputusan, forum menyepakati membentuk tim perumus sembilan orang. Mereka adalah dari unsur MUI, Kemenag, Tokoh Agama yang diwakili KH Said Amin, KH Gani Masykur, Kepolisian Resort Bima Kota, Bakesbangpolinmas, perwakilan warga Manggemaci dan Kelurahan Manggemaci.
“Kesimpulan untuk menyikapi LDII akan dirumuskan tim sembilan ini dan selanjutnya apapun hasil itu akan disampaikan kembali kepada pihak terkait dan masyarakat,” tandas Eka. (KS-13)
Dalam rapat dengan agenda membahas gangguan keamanan dan LDII di Kota Bima itu, Ketua MUI Kota Bima, Drs HM Saleh H. Abubakar mengaku pihaknya saat ini hanya akan memberikan pembinaan terhadap LDII dan belum akan membubarkannya. Dia beralasan karena LDII sudah bertobat dan menyatakan siap kembali ke ajaran Islam yang sebenarnya.
“Dalam hasil Munasnya, LDII telah menyampaikan ke MUI Pusat untuk menerapkan paradigma baru dengan delapan poin komitmen kembali ke ajaran Islam sebenarnya. Para petinggi mereka juga telah menyatakan bertobat sehingga kewajiban kita sekarang untuk membinanya,” jelasnya.
Soal rencana pembangunan Masjid Al Fattah milik LDII, menurutnya warga tidak harus menolak karena LDII telah berkomitmen untuk membuka diri dengan masyarakat. Masjid yang ada diakui tidak dikhususkan untuk jama’ah LDII saja tetapi terbuka untuk semua umat Islam. Permasalahan ada masjid lain disamping tidak menjadi masalah karena di daerah lain juga banyak yang seperti itu.
“Persoalan ibadah kan tidak bisa kita melarang orang, apalagi sholat jum’at. Hanya saja, keberadaan LDII tetap harus dikontrol dan mereka saat ini dibawah bimbingan MUI. Lagipula, kita hanya mengacu pada surat rekomendasi yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bima melalui instansi terkait,” imbuhnya.
Menyikapi pernyataan Ketua MUI Kota Bima, Tokoh Ormas Persis, Ustad H Ajrun Sulaiman menilai, MUI tidak konsisten dalam menjalankan aturan. Padahal, sejak dulu LDII telah difatwakan sesat dan dilarang untuk beraktivitas, baik di pusat maupun di daerah sehingga tidak perlu dibahas lagi. Bahkan, Bupati Bima Tahun 2000 lalu telah mengeluarkan surat penghentian aktivitas LDII di Bima. Persoalan LDII bertobat, menurutnya sudah banyak bukti bahwa mereka menghalalkan kebohongan karena dianggap sebagai kebaikan.
Itu terlihat sambungnya, dari beberapa kali penggantian nama LDII ternyata hanya luarnya saja yang berubah tetapi isinya tetap sesat. “Kami mempertanyakan acuan MUI ingin membina LDII, karena surat Bupati Bima sampai saat ini setahu kami belum dicabut dan masih berlaku,” ujarnya.
Tokoh Pemuda Manggemaci, Farhan juga mengkritik pernyataan Ketua MUI Kota Bima yang terkesan membela LDII. Menurutnya, pernyataan seperti itu akan membuat masyarakat bingung karena muncul kembali legitimasi dai MUI mengenai eksistensi LDII di Bima. Padahal, sudah jelas LDII dicap sesat oleh MUI sendiri ketika mencuat masalah yang sama di Bima dulu. Bahkan, atas dasar surat dari Bupati Bima masjid yang dibangun LDII disegel waktu itu.
“Sekarang kok LDII ingin diberikan tempat lagi, kami bingung dengan MUI. Apa bedanya MUI sekarang dengan dulu, ini hanya akan semakin membuat polemik di masyarakat. Dipaksakan seperti apapun kami tetap akan menolak, kecuali mereka mencari tempat lain selain di Manggemaci,” terangnya.
Kepala Badan Kesbangpolinmas, Ahmad Fachtoni juga ikut memberikan klarifikasi terkait pernyataan Ketua MUI soal rekomendasi dari Pemerintah Kota Bima. Diakuinya, rekomendasi yang dikeluarkan Badan Kesbangpolinmas bukan tentang aktivitas LDII tetapi rekomendasi terdaftar sebagai Ormas legal di Kota Bima. “Rekomendasi ini kan memang harus ada didiperbaharui setiap lima tahun sekali,” jelasnya.
Namun, anggapan berpihak kepada LDII dibantah Ketua MUI Kota Bima. Yasin menegaskan bahwa pihaknya ingin berperan sesuai dengan kapasitas dan kewenangan yang diemban MUI dan tak sedikitpun ingin membela LDII. “Karena mereka sudah menerapkan paradigma baru, kami berkewajiban untuk membinanya. Berdosa kalau ada yang su’udzon (prasangka buruk) kepada MUI,” ujarnya.
Rapat koordinasi yang dipandu Sekretaris FKUB Kota Bima, Eka Iskandar itu berakhir tanpa kesimpulan. Namun, untuk mempertemukan pendapat tersebut dan mengambil keputusan, forum menyepakati membentuk tim perumus sembilan orang. Mereka adalah dari unsur MUI, Kemenag, Tokoh Agama yang diwakili KH Said Amin, KH Gani Masykur, Kepolisian Resort Bima Kota, Bakesbangpolinmas, perwakilan warga Manggemaci dan Kelurahan Manggemaci.
“Kesimpulan untuk menyikapi LDII akan dirumuskan tim sembilan ini dan selanjutnya apapun hasil itu akan disampaikan kembali kepada pihak terkait dan masyarakat,” tandas Eka. (KS-13)
COMMENTS