Oleh: ERHAM., S.H., M.H Kandidat Doktor (S3) Ilmu Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Oleh: ERHAM., S.H., M.H
Kandidat Doktor (S3) Ilmu Hukum
Jurusan Hukum Tata Negara
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Akhir-akhir ini pemberitaan terkait persoalan korupsi baik yang ada diwilayah hukum Kota Bima maupun Kabupaten Bima nyaris dipolemikkan secara meluas oleh sejumlah kalangan akibatnya korupsi menjadi sebuah pertanyaan publik. Tidak terbilang banyaknya pandangan berbeda soal tindak pidana korupsi khususnya yang ada di Pemda Kota Bima, saya hanya bisa memberikan masukan, meluruskan proses penegakan hukum bahkan sekaligus otokritik tentunya karena begitu massifnya praktik-praktik korupsi dinegeri ini melalui tulisan sederhana ini. Bagi saya yang concen melihat dari perspektif keilmuan hukum, kondisi yang demikian itu sangat tidak biasa, dan berdasarkan keilmuan saya hal itu penting dicermati tentu terkait dengan masalah dugaan adanya tindak pidana korupsi yang terkait dengan pengadaan Tanah Pemerintah Kota Bima. Dalam perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara pengadaan Tanah Pemda Kota Bima yang berujung penetapan tersangka H. Syahrullah SH MH dalam kasus pengadaan tanah Pemkot Bima terletak dilokasi persawahan Kelurahan Penaraga Kecamatan Raba Kota Bima. Akan tetapi disisi lain saya melihat dalam perspektif yang berbeda yakni dalam perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sesungguhnya kasus Pengadaan Tanah Pemkot Bima tidak saja dilihat dari aspek tindak pidana atau dalam disiplin llmu hukum pidana ansich. Namun menurut hemat saya juga dipandang perlu memahaminya dalam perspektif dan disiplin ilmu hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara dan sinilah urgensinya mengapa kemudian hal tersebut memantik dan menggelitik saya guna untuk ikut dalam menganalisis atau “memperdebatkan”-nya. Sejak awal saya menduga konstruksi hukum yang dibangun dalam persoalan ini menyisakan persoalan hukum yang serius yakni adanya keterlibatan Walikota Bima secara administrasi (baca: Hukum Administrasi Negara) dimana Walikota Bima mengeluarkan Surat Keputusan Pengadaan Tanah Pemkot Bima berikut dengan penunjukkan Plt Kabag Tatapem Setda Kota Bima H. Syahrullah SH MH. Sementara itu, kualitas, posisi, atau kedudukan H. Syahrullah SH MH, dalam hal melakukan kegiatan Pengadaan Tanah Pemkot Bima ialah berdasarkan penunjukkan yang dituangkan dalam instrument yakni berdasarkan Keputusan Walikota Bima dalam kedudukan dan kapasitas H. Syahrullah SH MH sebagai Pelaksana Tugas atau selanjutnya disingkat Plt Kabag Tatapem Setda Kota Bima. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan yang bersangkutan H. Syahrullah SH MH juga berada pada posisi jabatan definitif yang diemban adalah jabatan sebagai Asisten I Setda Kota Bima. Dengan demikian apabila dilihat dari kedudukan dan kapasitas sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kabag Tatapem Setda Kota Bima maka kapasitas dan kedudukannya sebagai Pelaksana Tugas (Plt) sebagaimana Surat Keputusan Walikota Bima tidak seharusnya atau idealnya tidak bisa memuat substansi atau konten Keputusan tersebut menginstruksikan yakni Plt Kabag Tatapem Setda Kota Bima H. Syahrullah SH MH melakukan dan/atau mengambil kebijakan yang strategis guna untuk melakukan kegiatan pengadaan Tanah Pemkot Bima. Maka dalam konteks ini Walikota Bima dalam rangka mengeluarkan Surat Keputusan telah menimbulkan permasalahan hukum tersendiri yakni Walikota Bima sejak dari awal telah “mengetahui” atau “patut menduga” konseksuensi atau akibat hukum yang ditimbulkan akibat dari pada penunjukkan H. Syahrullah SH MH dalam rangka melaksanakan Pengadaan Tanah Pemkot Bima dalam kapasitasnya sebagai Plt Kabag Tatapem Setda Kota Bima berikut dengan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Padahal, mengingat kebijakan Pengadaan Tanah Pemkot Bima merupakan kebijakan yang diikuti dengan kinerja keuangan atau kebijakan tersebut atau segala yang timbul akibat dari pada kebijakan tersebut dibebankan kepada keuangan Negara/daerah yakni pelaksanaan Keputusan Walikota Bima guna dalam rangka Pengadaan Tanah Pemkot Bima yang seharusnya dilaksanakan oleh pejabat definitif karena pertanggung jawaban keuangan Negara akan dihubungkan dengan mekanisme sebagaimana diatur oleh Perpres tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang menggunakan system pertanggungjawaban jabatan mutatis mutandis (otomatis) melekat yakni Penguasa Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Hal ini sekaligus memperjelas posisi masing-masing pihak guna untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawaban mengingat dalam hal apabila terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subyek hukum yang berkedudukan sebagai PNS atau penyelenggara negara maka pertanggungjawaban itu berdasarkan atau dimintakan pertanggungjawabannya terhadap jabatan definitif. Nah, lantas pertanyaannya apakah Plt merupakan nama jabatan atau tidak, tentu tidak. Sementara dalam hal ini jabatan definitif itu ada pada jabatan Walikota Bima sehingga konsekuesinya Walikota Bima harus dimintakan pertanggungjawaban atau dikenal dalam istilah ilmu hukum pidana menurut Muladi & Dwidja Priyatno, mengemukakan bahwa dengan prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability” atau “strict liability”. Dengan prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan pada kenyataan ada atau tidak. (Muladi & Dwidja Priyatno, 2010:107). Dalam teori hukum pidana, Walikota Bima dikualifikasi telah melakukan pembiaran tergolong delicta ommissionis. Delik omisi atau delicta ommissionis" memiliki arti kata "suatu perbuatan melanggar hukum atau pelanggaran yang dilakukan terhadap suatu keharusan (gebod) menurut Undang-undang" misalnya Walikota Bima harusnya tidak menunjuk Plt guna untuk melaksanakan kegiatan Pengadaan Tanah Pemkot Bima. Bentuk murni delik semacam ini selalu dirumuskan secara formil (delict formil). Delik tersebut terwujud karena perbuatan pasif atau negatif dari pelaku.
Rumusan secara formil (delik formil) memang terlihat dalam unsur-unsur Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1991 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan. Di mana yang dilarang dalam delik ini adalah perbuatan menyalahgunakan wewenang. Artinya tindakan pasif Walikota Bima dengan tidak memperhatikan dengan sunguh-sungguh penujukkan Plt Kabag Tatapem Setda Kota Bima guna untuk melaksanakan Pengadaan Tanah Pemkot Bima. Padahal, diketahui sejak awal langkah tersebut sangat tidak tepat dan cenderung akan bermasalah dikemudian hari serta tidak pada prosedur hukum yang berlaku (inkonstitusional). Dan oleh sebab itu merupakan wujud dari pembiaran kepada H. Syahrullah SH MH guna untuk menggunakan kewenangannya yakni kewenangan Walikota Bima. Sekali lagi perbuatan tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan.
Disamping itu. dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak mengenal adanya subyek hukum Plt sebagai unsur sangkaan “barangsiapa” melainkan subyek hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 3 ayat (1) “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling singkat 1 (Satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000., (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah)”. Sehingga dengan demikian dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 3 ayat (1) unsur/elemen yang paling utama adalah perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sebagai elemen inti delik (bestanddel delict).
Jadi, dengan demikian pertanyaannya adalah apakah H. Syahrullah SH MH bertanggung jawab secara administrasi dalam hal telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, serta dalam hal ini dikualifikasi adanya dugaan tindak pidana korupsi atau memang pertanggungjawaban tersebut itu ada pada Walikota Bima? Nah, dalam hal ini pihak penyidik dan jaksa penuntut umum saya rasa harusnya menggali soal legalitas dan mempertanyakan Surat Keputusan Walikota Bima yang menunjuk Plt Tatapem Setda Kota Bima guna untuk melaksanakan kegiatan Pengadaan Tanah Pemkot Bima. Pelaksana Tugas disingkat Plt. (bahasa Inggris: acting) dalam administrasi negara (Indonesia) adalah pejabat yang menempati posisi jabatan yang bersifat sementara karena pejabat yang menempati posisi itu sebelumnya berhalangan atau terkena peraturan hukum sehingga tidak menempati posisi tersebut. Pelaksana Tugas ditunjuk oleh pejabat pada tingkat di atasnya dan umumnya menempati jabatan struktural dalam administrasi Negara. Berdasarkan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-20/V.24-25/99 tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas, Pelaksana Tugas diangkat dengan ketentuan sebagai berikut:1) Pelaksana Tugas tidak perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan Pengangkatan Dalam Jabatan, melainkan cukup dengan Surat Perintah dari Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang ditunjuk; 2) Pelaksana Tugas tidak perlu dilantik dan diambil sumpahnya.; 3) Pelaksana Tugas tidak mendapat tunjangan struktural jabatan yang Plt-kan; 4) PNS atau pejabat yang menjadi Pelaksana Tugas tidak bebas dari jabatan definitifnya. Akibatnya tunjangan jabatan yang diberikan adalah tunjangan sesuai jabatan definitifnya.; 5) PNS atau pejabat yang menduduki jabatan struktural hanya dapat diangkat sebagai Pelaksana Tugas dalam jabatan struktural yang eselonnya sama atau setingkat lebih tinggi di lingkungan kerjanya; dan 5) Khusus untuk PNS yang tidak menduduki jabatan struktural, dia hanya dapat menjadi Plt dalam jabatan struktural Eselon IV. Oleh Karena sifatnya yang hanya sebagai sementara, otomatis Plt tidak memiliki kewenangan yang sama layaknya pejabat definitif. Plt atau Pelaksana Tugas tidak berwenang untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat keluar atau yang ditujukkan atau adresaatnorm-nya kepada khalayak umum kerena kebijakan tersebut guna dalam rangka pengadaan tanah Pemkot Bima untuk kepentingan umum.
Jadi dengan demikian menurut hemat saya dan dalam batas penalaran yang wajar Plt bukan merupakan nama jabatan. Sementara subyek hukum tindak pidana korupsi adalah seseorang yang berkedudukan sebagai PNS atau penyelenggara Negara. Maka sumber “kewenangan”-nya yang dimiliki oleh Plt Kabag Tatapem Setda Kota Bima H. Syahrullah SH MH berdasarkan Keputusan Walikota Bima. Oleh karena sumber kewenangan yang dimiliki oleh H. Syahrullah SH MH dalam kedudukannya sebagai Plt Kabag Tatapem Setda Kota Bima berdasarkan SK Walikota Bima merupakan kewenangan mandate sehingga yang dimintai pertanggungjawaban ialah terletak pada pemberi mandate dalam hal ini ialah Walikota Bima. Keputusan Walikota Bima tersebut merupakan pelimpahan kewenangan mandat yang pada umumnya dalam hubungan antara seorang bawahan dengan atasan dimana tanggung gugatnya atau tanggung jawabnya terletak pada pemberi mandat (mandans) dalam hal ini Walikota Bima. Dan apabila perintah ini menimbulkan pertanggungjawaban pidana sebagai akibat dari pada terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penerima mandate maka pertanggungjawaban pidana tersebut diletakkan kepada pemberi mandate mengingat perintah yang dberikan oleh pemberi mandate kepada penerima mandate merupakan kewenangan atau ciri mandat yang konsekwensinya adalah terhadap beban tanggung jawabnya berada pada pemberi mandat atau pemberi perintah dan penerima mandat atau penerima perintah tidak dapat dikenai pertanggung jawaban pidana.
Jadi oleh karena, dalam hal ini SK Walikota Bima merupakan sebuah mandate maka dengan sendirinya menjadi hal yang tidak terpisahkan dari persoalan hukum yang menimpa Plt Kabag Tatapem Setda Kota Bima H. Syahrullah SH MH serta berikut membuktikan adanya dugaan keterlibatan Wali Kota Bima. Hal ini sejalan dengan doktrin strict liability (pertanggungan yang ketat), seseorang sudah dapat dipetanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat strict liability diartikan sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).(Barda Nawawi Arief: 1984: 68). Menurut L.B. Curson, doktrin stric liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: (i) adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial; (ii) pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial; dan (iii) tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang besangkutan. (Muladi & Dwidja Priyatno, 2010:108).
Sedangkan penerapan doktrin Vicarious Liability tepat digunakan untuk mengadili sebuah kebijakan mengingat kebijakan itu dikeluarkan karena jabatan atau kualitas seseorang yang memiliki kedudukan sehingga tepatlah kemudian yang dimaksud oleh doktrin Vicarious Liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu menurut hukum pidana inggris, vicarious liability hanya berlaku terhadap: (i) delik-delik yang mensyaratkan kualitas; (ii) delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan. (Muladi & Dwidja Priyatno, 2010:110).
COMMENTS