PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Cabang KCP UMK Bima diduga kuat memeras salah seorang nasabah kredit berinisial S
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Cabang KCP UMK Bima yang berlokasi di Jalan Tongkol Nomor 7 C Lingkungan Paruga, tepatnya depan Hotel Lila Graha Kota Bima, diduga kuat memeras salah seorang nasabah kredit berinisial S. Modus operandi yang diduga dilakukan Bank tersebut, yakni dengan meminta kepada nasabah itu untuk membayar sisa angsuran sebesar Rp. 71,6 juta lebih, apabila ingin impas dan mengambil jaminan pada Bank tersebut. Padahal,sisa angsuran nasabah itu hanya tersisa lima bulan saja. Jadi bila diuangkan,nasabah itu hanya berkewajiban membayar sisa angsuran sebesar Rp. 50,9 Juta lebih. Karena, angsuran hanya sebesar Rp.10,3 juta lebih per-bulan dari total dana kredit Rp.325 juta dengan jangka kredit selama 48 Bulan.
Masalahnya, apabila nasabah itu membayar Rp.71, 6 juta sesuai permintaan oknum Pimpinan Bank tersebut, maka akan ada selisih dana sebesar Rp. 20 ,6 juta lebih dari angsuran senilai Rp.50,9 juta lebih sesuai sisa lima bulan angsuran yang belum dilunasi. “Saya telah melunasi sesuai permintaan Bank tersebut, hanya saja akan ada selisih sebesar Rp.20,6 juta lebih dari dana yang telah saya lunasi sesuai permintaanya , “ungkap S kepada Koran Stabilitas Senin (14/07) dikediamanya.
Semestinya lanjut S, yang harus dibayar untuk menutupi lima bulan sisa angsuran agar bisa mengambil kembali sertifikat hanya sebesar Rp. 50,9 juta lebih, bukan Rp.71,6 juta lebih seperti yang diminta Bank tersebut. Sebab, angsuran dari total dana kredit senilai Rp. 325 juta selama 48 Bulan tersebut, yakni Rp. 10,3 juta lebih per-bulan. “Tinggal dikalikan saja, total angsuran per-bulan dengan sisa waktu angsuran yang belum dilunasi (lima bulan). Artinya, yang harus saya bayar untuk menutupi lima bulan sisa angsuran hanya sebesar Rp. 50,9 juta lebih. Lantas darimana muncul angka hingga mencapai Rp.71,6 juta lebih, aturan Bank darimana yang memberlakukan agar saya harus membayar sebesar sisa angsuran sebesar itu. Massa besar dana penalty dua kali angsuran mencapai angka Rp. 20,6 juta lebih, “ujarnya dengan nada tanya.
S menduga, oknum Pimpinan Bank tersebut telah mencari keuntungan pribadi dengan cara memeras nasabah. Alasanya jelas, oknum itu tiba-tiba meminta kepada dirinya untuk membayar lunas sisa angsuran selama lima bulan, namun bukan dengan total sesuai yang disepakati yakni Rp.50,9 juta lebih. Melainkan, membengkak hingga mencapai angka Rp.71,6 juta lebih. “Oknum itu diduga kuat memanfaatkan celah, lantaran saya terdesak ingin mengambil kembali jaminan tersebut. Parahnya, saya malah diminta oleh oknum itu untuk melunasi sisa tunggakan dengan jumlah yang tidak sesuai dengan kesepakatan kredit. Saya terpaksa melunasi sesuai permintaan oknum itu. Meski permintaan itu menjadi beban bagi saya. Kalaupun ada dalam kesepakatan, saya hanya menandatangani tapi tidak disueuruh untuk membaca isi surat kesepakatan tersebut, itukan aneh, “tandasnya.
Konyolnya lagi lanjut S, ketika angsuran itu dilunasi seperti keinginan oknum itu, tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Yos Sudarso RT.08 RW.04, Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota Kota Bima Provinsi NTB dengan bukti hak berupa SHM Nomor 399, yang dijadikan agunan (jaminan) pinjaman kredit di Bank tersebut, justeru tidak ditemukan di BTPN. Karenanya, S memberi tenggang waktu untuk Bank mencari jaminan tersebut. “Setelah melunasi sisa angsuran yang ditentukan oknum itu, saya kemudian ingin mengambil jaminan tersebut. Namun, jaminan itu tidak berada di BTPN. Melainkan, sudah berpindah tempat ke Bank lain. Kesal atas hal itu, saya mengancam akan membawa persoalan itu ke jalur hukum, “terangnya.
Ia menegaskan, persoalan yang sudah menimpanya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab dikhawatirkan, akan terulang kembali pada nasabah lainya. Apalagi, sebagian besar nasabah belum begitu memahami aturan dalam kaitan itu. Ditambah lagi, nasabah yang sangat memerlukan dana untuk kebutuhan hidup dan biaya Pendidikan anak-anaknya serta kebutuhan lain yang mendesak. “Dugaan kejahatan yang terjadi di BTPN Bima, tidak bisa dibiarkan. Karena, peluang untuk memanfaatkan desakan kebutuhan nasabah,sangat berpotensi untuk dijadikan lahan untuk mencari keuntungan pribadi dan atau golongan tertentu. Sehingga, kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan,meski cara seperti itu terkesan membebani nasabah. Karenanya, harus mendapat perhatian serius dari Lembaga Hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan atas dugaan seperti yang terjadi di BTPN Bima, “tegasnya.
Bagaimana tanggapan, BTPN Cabang Bima atas persoalan tersebut, Pimpinan BTPN Bima, Putu yang dikonfirmasi Koran Stabilitas Selasa (15/07), secara tegas membantah dugaan pemerasan terhadap nasabah tersebut. Dalihnya, selisih Rp. 20, 6 juta lebih hingga pelunasan mencapai angka Rp.71,6 juta lebih itu merupakan dana penalty. Bahkan, hal itu sudah ada dalam kesepakatan yang ditandatangani oleh nasabah tersebut. “Itu bukan pemerasan, karena sudah ada dalam aturan BTPN. Lagipula, kesepakatan itu telah ditandatangani oleh yang bersangkutan. Soal dana penalty yang dianggap berbeda dengan Bank lain, saya rasa aturan setiap Bank berbeda-beda, “elaknya.
Terkait dengan sertifikat yang dijadikan agunan yang terselip di Bank lain, dirinya mengaku persoalan itu bukan kesalahan pihaknya. Melainkan, Akta Notaris. Tapi, . persoalan itu sudah diselesaikan. “Persoalan kami dengan nasabah itu sudah selesai, sertifikat yang dijadikan agunan sudah kami berikan kepada yang bersangkutan (nasabah red), “kilahnya. (KS-09)
Masalahnya, apabila nasabah itu membayar Rp.71, 6 juta sesuai permintaan oknum Pimpinan Bank tersebut, maka akan ada selisih dana sebesar Rp. 20 ,6 juta lebih dari angsuran senilai Rp.50,9 juta lebih sesuai sisa lima bulan angsuran yang belum dilunasi. “Saya telah melunasi sesuai permintaan Bank tersebut, hanya saja akan ada selisih sebesar Rp.20,6 juta lebih dari dana yang telah saya lunasi sesuai permintaanya , “ungkap S kepada Koran Stabilitas Senin (14/07) dikediamanya.
Semestinya lanjut S, yang harus dibayar untuk menutupi lima bulan sisa angsuran agar bisa mengambil kembali sertifikat hanya sebesar Rp. 50,9 juta lebih, bukan Rp.71,6 juta lebih seperti yang diminta Bank tersebut. Sebab, angsuran dari total dana kredit senilai Rp. 325 juta selama 48 Bulan tersebut, yakni Rp. 10,3 juta lebih per-bulan. “Tinggal dikalikan saja, total angsuran per-bulan dengan sisa waktu angsuran yang belum dilunasi (lima bulan). Artinya, yang harus saya bayar untuk menutupi lima bulan sisa angsuran hanya sebesar Rp. 50,9 juta lebih. Lantas darimana muncul angka hingga mencapai Rp.71,6 juta lebih, aturan Bank darimana yang memberlakukan agar saya harus membayar sebesar sisa angsuran sebesar itu. Massa besar dana penalty dua kali angsuran mencapai angka Rp. 20,6 juta lebih, “ujarnya dengan nada tanya.
S menduga, oknum Pimpinan Bank tersebut telah mencari keuntungan pribadi dengan cara memeras nasabah. Alasanya jelas, oknum itu tiba-tiba meminta kepada dirinya untuk membayar lunas sisa angsuran selama lima bulan, namun bukan dengan total sesuai yang disepakati yakni Rp.50,9 juta lebih. Melainkan, membengkak hingga mencapai angka Rp.71,6 juta lebih. “Oknum itu diduga kuat memanfaatkan celah, lantaran saya terdesak ingin mengambil kembali jaminan tersebut. Parahnya, saya malah diminta oleh oknum itu untuk melunasi sisa tunggakan dengan jumlah yang tidak sesuai dengan kesepakatan kredit. Saya terpaksa melunasi sesuai permintaan oknum itu. Meski permintaan itu menjadi beban bagi saya. Kalaupun ada dalam kesepakatan, saya hanya menandatangani tapi tidak disueuruh untuk membaca isi surat kesepakatan tersebut, itukan aneh, “tandasnya.
Konyolnya lagi lanjut S, ketika angsuran itu dilunasi seperti keinginan oknum itu, tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Yos Sudarso RT.08 RW.04, Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota Kota Bima Provinsi NTB dengan bukti hak berupa SHM Nomor 399, yang dijadikan agunan (jaminan) pinjaman kredit di Bank tersebut, justeru tidak ditemukan di BTPN. Karenanya, S memberi tenggang waktu untuk Bank mencari jaminan tersebut. “Setelah melunasi sisa angsuran yang ditentukan oknum itu, saya kemudian ingin mengambil jaminan tersebut. Namun, jaminan itu tidak berada di BTPN. Melainkan, sudah berpindah tempat ke Bank lain. Kesal atas hal itu, saya mengancam akan membawa persoalan itu ke jalur hukum, “terangnya.
Ia menegaskan, persoalan yang sudah menimpanya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab dikhawatirkan, akan terulang kembali pada nasabah lainya. Apalagi, sebagian besar nasabah belum begitu memahami aturan dalam kaitan itu. Ditambah lagi, nasabah yang sangat memerlukan dana untuk kebutuhan hidup dan biaya Pendidikan anak-anaknya serta kebutuhan lain yang mendesak. “Dugaan kejahatan yang terjadi di BTPN Bima, tidak bisa dibiarkan. Karena, peluang untuk memanfaatkan desakan kebutuhan nasabah,sangat berpotensi untuk dijadikan lahan untuk mencari keuntungan pribadi dan atau golongan tertentu. Sehingga, kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan,meski cara seperti itu terkesan membebani nasabah. Karenanya, harus mendapat perhatian serius dari Lembaga Hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan atas dugaan seperti yang terjadi di BTPN Bima, “tegasnya.
Bagaimana tanggapan, BTPN Cabang Bima atas persoalan tersebut, Pimpinan BTPN Bima, Putu yang dikonfirmasi Koran Stabilitas Selasa (15/07), secara tegas membantah dugaan pemerasan terhadap nasabah tersebut. Dalihnya, selisih Rp. 20, 6 juta lebih hingga pelunasan mencapai angka Rp.71,6 juta lebih itu merupakan dana penalty. Bahkan, hal itu sudah ada dalam kesepakatan yang ditandatangani oleh nasabah tersebut. “Itu bukan pemerasan, karena sudah ada dalam aturan BTPN. Lagipula, kesepakatan itu telah ditandatangani oleh yang bersangkutan. Soal dana penalty yang dianggap berbeda dengan Bank lain, saya rasa aturan setiap Bank berbeda-beda, “elaknya.
Terkait dengan sertifikat yang dijadikan agunan yang terselip di Bank lain, dirinya mengaku persoalan itu bukan kesalahan pihaknya. Melainkan, Akta Notaris. Tapi, . persoalan itu sudah diselesaikan. “Persoalan kami dengan nasabah itu sudah selesai, sertifikat yang dijadikan agunan sudah kami berikan kepada yang bersangkutan (nasabah red), “kilahnya. (KS-09)
Kami juga merasakan hal yang sama, setiap nasabah yang meminta informasi Penulasan saja, juga dipersulit... Dan mencari2 alasan utk menghambat nasabah.. Ini tidak bisa dibiarkan, harus diproses, OJK harus memberikan sanksi pd bank seperti ini
BalasHapus..